Ratih menelan ludah. Hatinya pedih. Sikap Rizal yang hanya terdiam. Bahkan tanpa memberi penjelasan pada orang disekelilingnya sudah cukup memberi penjelasan pada Ratih, kalau masih ada hal yang disembunyikan darinya. Ratih merasa bodoh. Dia terlalu percaya begitu saja dengan orang-orang disekelilingnya yang mendukung keputusannya menerima pinangan Rizal. Padahal, yang menjalani kehidupan selanjutnya adalah dirinya. Bukan orang lain. Harusnya, dia mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk tahu lebih dalam tentang Rizal sebelum memutuskan menerima pinangan itu. Bukankah mempercayai begitu saja lelaki yang pernah melukainya sama saja mempercayai kenyataan yang terlalu bagus untuk dinilai benar? Akankah olok-olok yang pernah ditujukan padanya oleh teman SMA di grup chat akan terjadi lagi. Mereka mengolok-olok keputusan besarnya menerima Rizal setelah pernah ditolak sepuluh tahun lalu. Dan kini, tak hanya grup SMA, bahkan keluarga besar Rizal. Beginikah butanya cinta akan berakhir nela
" Zal, sarapan sudah siap. Ajak Mbak Ratih makan dulu." Suara Bude Titik membuat Ratih dan Rizal yang bersitegang agak mencair. "Yuk. Bapak dan Ibu pasti sudah menunggu," ajak Rizal. Ratih menatap Rizal. "Mas, aku belum tahu banyak hal tentangmu dan keluargamu. Kamu bisa pilih, aku mengetahuinya sendiri atau kamu yang akan memberitahuku," ancam Ratih tegas. Rizal menghela nafas. "Ratih, ijinkan aku memilah mana yang akan aku sampaikan padamu. Karena mengetahui semuanya, bukan hal yang baik. Kadang, justru akan menyakitkan. Namun, kalau memang itu maumu, secepatnya kamu akan tahu semuanya," janji Rizal. "Sekarang, kita makan dulu. Nggak enak sama bapak dan ibu. Pasti sudah menunggu menantu kesayangannya." Rizal menjawil dagu Ratih. Pria itu berusaha sedikit mencairkan suasana. Saat mereka keluar kamar, hanya disambut oleh keheningan. Rupanya Prita sudah tidak ada. "Mereka sudah pulang," ucap Bapak Rizal saat melihat Ratih menebarkan pandangan ke penjuru arah. Pria paruh baya itu
Rizal mengajak Ratih menghampiri tamunya. Mereka pasangan suami istri. “Ini Pakde Hadi sama Bude Rum. Kakaknya bapak,” ujar Rizal mengenalkan keduanya pada Ratih. “Lha berdua sudah rapi, mau kemana? Sasti di depan aku lihat malah main pasaran." Wanita yang dipanggil Bude Rum itu berkomentar. “Mereka berdua mau balik Jakarta. Rizal ada pekerjaan.” Bapak Rizal langsung menyela, sebelum Rizal menjawab. “Lho, anaknya ditinggal?” Ratih merasa ada intonasi tak suka dari wanita paruh baya itu. Ratih meremas tangan Rizal, memberi kode tentang ucapan budenya Rizal itu. Bapak dan Ibu Rizal asli dari kampung yang sama. Begitu juga sanak familinya. Namun, beberapa famili tinggal di luar desa, atau kecamatan lain karena mendapat pasangan bukan dari kampungnya. Tak heran, jika apa yang dialami Rizal pun sudah banyak diketahui saudara-saudaranya. Termasuk perceraian Rizal dan menikahnya untuk yang kedua kali. “Makanya saya lebih setuju Rizal balik sama Desti. Jangan sampai Sasti diurus sama
Mata Sasti memerah. Ratih tak tega melihatnya. "Itu nggak benar kan, Bun?" tanya Sasti. Ratih memandangi satu persatu anak-anak itu. Dia yang tak terbiasa dengan anak-anak, kebingungan, bagaimana harus menjelaskan."Mainnya sudah dulu, yuk. Kita cari papa," ujar Ratih sambil membantu mengemasi mainan Sasti. Anak-anak teman main Sasti menatap Ratih dengan pandangan tak suka. Namun, Ratih berusaha tak menghiraukannya. "Lho, kok mainnya udah bubar?" Seorang ibu lewat di depan pagar, berbarengan dengan teman-teman Sasti yang menghambur ke luar pagar. "Nggak boleh sama ibu tirinya Sasti," adu salah seorang di antaranya. "Eh... enggak kok." Ratih buru-buru meralat. "Saya hanya mau ajak Sasti mencari papanya," jelas Ratih. Namun sang ibu muda malah menatap Ratih dengan sinis. "Kalau anak nggak dididik ibu kandung, ya gitu. Nanti nggak ada yang mau main sama dia." Ibu itu masih melanjutkan ucapannya, sambil beranjak. Ingin Ratih berargumen. Namun, posisinya sebagai orang baru, membuatn
"Ini mobil kamu?" Ratih ragu bertanya. Dia ingat, mobil kali itu yang pernah dilihatnya berbeda dengan mobil yang dikemudikan Rizal. "Aku pinjam sama teman. Kan belum sempat ambil ke rumah." "Kenapa kita nggak langsung ke rumahmu?" Ratih serba salah. Apa Rizal menyembunyikan sesuatu di rumahnya, sehingga ia harus menginap di hotel? Bukankah justru lebih simple kalau langsung ke rumah? Toh, Sasti dan Mbak Siti masih di rumah orang tua Rizal. "Karena aku mau nunjukin ke kamu sesuatu." Mobil Rizal berbelok ke sebuah kompleks perumahan. Masih baru. Masih banyak kavling yang belum dibangun. Hanya beberapa rumah yang sudah berdiri. "Apa ini? Proyek pekerjaanmu?" tanya Ratih. Seingatnya, Rizal kerja di bidang properti. Tapi, tepatnya dimana dan seperti apa, dia tak paham. "Bukan. Ayo turun." Rizal memarkir mobilnya tepat di depan salah satu rumah yang sudah siap huni. Desainnya minimalis. Ada dua lantai. Tapi tanahnya tidak terlalu luas. Malah bisa dibilang ukuran yang minimalis
“Oh…jadi wanita ini yang membuatmu meninggalkan adikku?” Pria itu melirik ke Ratih dengan tatapan sinis. Dahi Ratih berkerut. "Adiknya? Apa yang dimaksud Desti?" pikir Ratih. Ratih memandangi Pria yang berdiri tak jauh dari Rizal itu. Tangannya berkacak di pinggang. Pria itu berperawakan tinggi atletis. Terlihat bahwa ia rajin berolahraga. Wajahnya pun terlihat cukup tampan. Sama seperti Desti, terlihat berasal dari keluarga yang terpandang Ratih menggeser tubuhnya. Dia memilih berdiri di belakang Rizal. “Dia yang meninggalkanku. Bukan Aku,” jawab Rizal datar. Ratih mengerutkan keningnya. Dia menangkap, Rizal seolah ingin mengabaikan pria itu. “Rizal! Kamu tak ada apa-apanya tanpa adikku. Beraninya kamu menolak adikku? Ha!” Lelaki itu mendekat, lalu ia menarik kerah baju Rizal hingga wajah Rizal mendekat ke wajahnya. Suara yang keras membuat perhatian pengunjung toko. Salah seseorang memanggil security yang sedari tadi ada di luar toko. "Pak...Pak...." Security datang be
"Maafkan aku, Dik, banyak hal yang belum aku katakan padamu sebelum kita menikah. Bukan aku menyembunyikan semuanya. Tapi, karena aku yakin, kamu akan menerimaku sebagaimana apa adanya." Ratih menghela nafas. "Tapi, akan lebih baik kalau kamu mengatakannya. Tentu saja, apapun kondisimu, aku menerima. Namun, jika aku tahu lebih awal, aku tentu akan menyiapkan diri," ujar Ratih. "Makasih, ya, Dik atas kepercayaanmu." "Kepercayaan itu mahal. Aku harap, kamu juga tak akan menyia-nyiakannya," ucap Ratih. Dia tak mau begitu saja menerima Rizal, seolah dia tak punya posisi tawar. Namun, Ratih bukanlah wanita yang ingin mempersulit sesuatu yang mudah. Mobil yang dikemudikan Rizal tak kembali ke hotel atau rumah baru mereka. Namun, justru belok ke sebuah kompleks perumahan yang terlihat cukup elit. Rumah-rumah terlihat besar dan mewah. “Ini rumahku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Nanti aku mau suruh orang buat packing barang Sasti dan Mbak Siti. Ada barang-barangku juga yang akan
Rizal dan Ratih tiba di rumah barunya bersamaan dengan mobil box yang membawa barang-barang mereka. Setelah minta bantuan untuk menurunkan, Ratih dan Rizal segera menata rumah baru mereka. Selain barang dari rumah lama, juga beberapa barang yang mereka barusan beli. Bahkan, tak lama, barang yang di antar juga datang. "Malam ini, kita kembali ke hotel dulu. Kamu pasti lelah. Rumah ini masih perlu dibersihkan lagi," ujar Rizal saat mereka berdua istirahat. Sebagian besar barang sudah ditata. Hanya barang Mbak Siti yang masih dalam dus. "Biar Mbak Siti yang taruh barangnya," ujar Rizal saat meletakkan dus ke dalam calon kamar Siti. "Iya. Tapi, besok kita sudah bisa tinggal di sini, Mas. Biar aku bisa bersih-bersih. Kita juga perlu belanja." "Belanja? Belanja apalagi?" Rizal mengerutkan keningnya. Bukankah tadi mereka habis belanja? "Kulkas kan kosong. Emang kamu mau puasa?" tanya Ratih. Rizal menaikkan alisnya. "Emang kamu bisa masak?" Rizal merasa aneh. Bertahun menikah den