Mas Aron mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Rahangnya mengeras dengan gigi gemeretak."Kamu sudah sangat keterlaluan, Arum. Aku ini Masmu, bukan teman, sahabat atau pacarmu yang bisa seenak kau bentak-bentak! Sopan santun sedikit padaku!"Plak!Satu tamparan ia layangankan di pipi kananku, membuat pipi ini kemerahan dan menimbulkan rasa panas hingga perih.Aku tersenyum miris menatapnya. Mas Aron menatapku balik dengan sengit, napasnya memburu seperti hewan yang siap menerkam buruannya."Mana lagi yang ingin kau tampar, Mas. Ini, atau ini!"Aku menyodorkan wajahku pada Mas Aron seraya mendorong dorong tubuhnya."Selain kau gagal jadi anak Bapak dan Ibu! Kau pun gagal mendidik anakmu juga gagal jadi seorang Kakak!" bentakku."Apa kalian pikir nggak dosa buat orang tua sampai menangis begitu. Ingat, susahmu dulu sama siapa? Setelah sukses seperti kacang lupa kulitnya! Wong pada dableg kabeeeh!"Tutatap satu-satu wajahnya dengan penuh kesal dan juga amarah. Ingin rasanya kupuk*l kep
"Apa-apaan sih kamu, Rum. Kamu sudah benar-benar kurang ajar sama kita!" bentak Mas Aron."Si Arum kayanya sudah gila nih!" sahut Mbak Delia."Orang kampung, kelakuannya juga kampungan!" maki Mas Dion."Kutampar kamu, Rum, menyebalkan sekali!" Mbak Wisna menimpali.Masih banyak lagi umpatan serta caci maki dari mereka kepadaku. Kutatap mereka tanpa rasa takut apalagi merasa bersalah, karena memang aku tak bersalah."Nantangin kamu, Rum?" bentak Mbak Ayu.Aku masih diam tak merespon caci maki dari mereka. Dan itu membuat mereka semua semakin kesal padaku."Pantes, nggak ada cowok kaya yang mau sama kamu. Kelakuan kamu menyeramkan seperti ini, yang naksir paling mentok standar. Cuma punya motor!" sindir Mbak Delia."Mau pulang sendiri, atau aku usir?" tekanku pada mereka."Kamu ngusir kami?" tanya Mbak Ayu sengit."JAWAB! Mau pulang sendiri atau mau aku usir!"Aku berteriak sangat kencang membuat mereka semua kaget dan saling tatap satu sama lainnya."Demi Allah. Biar Allah miskinkan kal
"Mas ngomong kaya gitu seolah-olah tidak pernah buat kesalahan pada kami, terutama sama Bapak dan Ibu?""Ya Allah ... Mas benar-benar berubah setelah merantau. Mbak Ayu dan Mbak Wisna pun berubah setelah menikah. Apa kalian salah pergaulan dan lingkungan, Mas? Arumi kangen dengan kalian yang dulu."Kakiku lemas seperti tak bisa menopang tubuh ini. Tangisku pun pecah seketika teringat kebersamaan kami dahulu."Nggak ada yang berubah dari diriku. Kalian aja yang terlalu sensitif dan baperan, Rum," katanya dengan enteng."Jadi maksudnya Bapak, Ibu dan Arumi yang salah gitu, Mas, bukan kalian? Oh, ya, kalau begitu Arumi coba untuk nggak baperan dan sensitif seperti apa yang Mas bilang." Wajahnya berubah binar, Mas Aron tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pelan."Nah, gitu dong, Rum. Zaman sudah semakin modern. Jangan jadi orang yang kampungan lagi. Kalau bisa nanti kamu cari pasangan yang bisa naikkan derajatmu," katanya semringah.Tanpa peduli dengan omongannya aku segera kembali m
"Makasih, Dev. Padahal kita nggak punya hubungan darah, tapi kamu baik banget sama aku," kataku terharu."Jangan kaya gitulah, Rum. Kita ini saudara seiman dan setanah air," sahutnya tersenyum.Setelah menunggu beberapa menit makanan pun jadi satu per satu. Lalu Devi pun mengajakku untuk membeli minuman boba yang kekinian. Devi juga membelikan untuk Bapak dan ibuku."Arumi!" Seseorang memanggilku.Aku menoleh ke sumber suara tersebut dan mencari siapa orang yang memanggilku.Seorang pria menaiki motor sport memakai helm juga masker melambaikan tangannya padaku."Habis jajan, Rum?" tanyanya.Suaranya sangat familiar tapi aku belum tahu siapa lelaki dibalik masker itu. Ia lantas membuka helm serta maskernya."Refaldy," gumamku."Habis jajan apa?" tanyanya lagi."Ini beli martabak sama makanan yang lain."Pantas saja aku tidak mengenalinya, karena beberapa kali bertemu dan mengantarkan aku pulang ia menggunakan motor matic bukan motor sport."Ini yang mau ngajak kamu kerja, Rum?" tanya D
Senin pagi, hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Aku sudah mempersiapkan semuanya semalam sebelum tidur untuk melamar pekerjaan dengan Refaldy juga Ratna.Refaldy bilang tak usah pakai atasan kemeja putih serta bawahan hitam seperti pada umumnya orang melamar pekerjaan. Ia hanya menyuruhku untuk berpakaian rapih serta sopan.Syukurlah Refaldy berkata seperti itu. Jadi Bapak dan Ibu tak akan curiga padaku jika aku sudah tak kerja lagi di toko roti.Nanti aku akan bilang jika memang sudah mendapatkan pekerjaan yang baru. Semoga saja aku diterima pekerjaan di sana."Sudah mau berangkat, Nduk?" tanya Bapak ketika aku sedang bersiap-siap."Nanti jangan lupa sarapan dulu, Nduk." Ibu mengingatkan."Iya, Pak, Bu. Doain biar semuanya lancar hari ini," kataku."Aamiin. Ibu sama Bapak selalu mendoakan kamu serta anak-anak kami yang lain."****Sebuah mobil Toyota Alphard berwarna hitam berjalan ke arah rumah orang tuaku. Aku tidak tahu siapa itu yang datang, mungkin saja teman atau kerabatnya k
"Dinner berdua?" tanyaku lagi untuk memastikan ucapan Refaldy. Apakah ia serius atau bercanda saja.Tapi mimik wajahnya memang terlihat serius, tak ada raut bercanda atau hanya sekedar basa-basi saja."Iya berdua," ucapnya meyakinkan."Bagaimana?" tanyanya lagi meminta jawaban."Aku belum pernah dinner berdua dengan lelaki.""Kalau begitu, ajak kedua orang tuamu," katanya sambil tersenyum."Hah?"Aku bingung harus menjawab apa lagi. Ingin menolak tetapi aku tidak enak, apalagi Refaldy sudah sangat baik kepadaku.Tapi ....Untuk dinner berdua pun aku merasa canggung karena sebelumnya aku memang tidak pernah dinner dengan lelaki berduaan. Apalagi yang bukan mahramku.Lalu ... bagaimana ini."Kamu sedang tidak menolakku secara halus 'kan?" tanyanya dengan wajah penuh harapan."Ma--mau kapan dinnernya?" ucapku gugup."Nanti malam, Rum, siap kan?" Refaldy sangat antusias sekali, sementara dari tadi Ratna terus mengulum senyum mendengarkan obrolan kami."Eheeem." Ratna berdehem.Refaldy me
"Kamu itu memang harus ditampar, Rum, biar nggak kurang ajar!" bela Mas Aron pada istrinya."Sudah cukup! Jika kamu ingin pergi ke Jakarta sekarang silakan pergi! Kalian semua juga pergi saja dari rumah Bapak!" Bapak menantap nyalang pada anak-anaknya."Bapak ngusir kami?" tanya Mbak Wisna."Iya, daripada setiap hari buat keributan aja di sini!" tegasnya."Anak bungsu Bapak yang selalu nyari perkara!" tukas Mbak Ayu menunjuk wajahku geram.Di rumah Bapak hanya tinggal Mbak Wisna, Mbak Ayu, Mas Aron dan juga istrinya. Sementara yang lain sudah pamit pergi karena katanya ada urusan pekerjaan.Sebenarnya rumah Mbak Ayu masih satu kota dengan Bapak hanya beda desa saja, sementara Mbak Wisna dan Mas Aron memang sudah jauh dengan Bapak dan Ibu.Tanpa banyak omong lagi Mas Aron segera menarik tangan istrinya untuk membereskan barang-barang mereka dan segera pergi dari sini.Aku diam saja tak membantu begitupun dengan Bapak dan Ibu.Mas Aron membereskan barangnya dengan tergesa karena keadaan
Aku meminta tolong pada dua orang lelaki itu untuk membawakan kulkasnya ke dapur saja.Selesai menaruh kulkas mereka pun berpamitan pergi, namun sebelum pergi aku memberikan uang tip untuk mereka membeli rokok."Rum, ini kulkas mahal banget lho. Dijual berapa sama temanmu?" tanya Pakde Nirwan."Dia jual ke aku cuma satu juta setengah, Pakde."Pakde Nirwan dan istrinya melongo setelah mengetahui harga jual kulkas itu."Masya Allah, temanmu pasti orang kaya, Rum. Sekalian sedekah itu dia, wong Bu Haji tempo hari beli kulkas dua pintu kaya gitu harganya sampai sepuluh juta."Sekarang giliran aku yang terpengarah mendengar jawaban Pakde."Rejekimu bagus, Rum," imbuh Bude Win."Alhamdulillah, Bude," sahutku.Selesai aku belanja dan mereka sudah melihat kulkas baruku. Bude dan Pakde pun berpamitan pergi untuk berkeliling kembali.Aku dan Ibu segera masuk ke dalam membawa barang belanjaan yang tadi kami beli.Setruman kulkas tadi sudah dicolok oleh dua lelaki yang membawa kulkas. Aku dan Ibu