Share

MARAHNYA SI BUNGSU part 8

"Sudah jangan berdebat, semuanya duduk dan makan bersama!" bentak Bapak.

Mbak Delia menghentakkan kakinya seperti anak kecil, lalu menatapku dengan tatapan tak suka. Cih, peduli amat.

Kami semua duduk lesehan di lantai, makanan sudah terhidang di sini. Ibu mulai mengambilkan nasi beserta lauknya untuk Bapak.

"Sini biar Ibu ambilkan nasi untukmu, Nak."

Ibu mengulurkan tangannya namun Mas Aron malah memutar bola mata. Ingin rasanya aku colok kedua matanya itu. Tidak sopan banget seperti itu pada Ibu.

"Nggak selera, Bu. Biasanya aku di Jakarta makan makanan yang enak," dalihnya.

"Iya, benar. Kami semua biasanya makan enak. Lah, ini, apaan, Bu. Cuma ayam, sayur bening dan tahu tempe beserta sambal dan lalapannya," sambung Mbak Wisna yang dianggukin oleh suaminya.

"Makan aja apa yang sudah tersedia di sini. Masih bisa makan aja sudah bersyukur. Memangnya dulu kalian makan apa waktu kecil?!" ketus Bapak.

Mas Aron, Mbak Ayu dan Mbak Wisna terdiam dengan ucapan Bapak yang menohok.

Bapak menarik napas lalu mengembuskan kasar. Setelahnya makan tanpa bicara lagi.

"Cici sama Dimas mau ayam goreng?"

Aku menawarkan ayam goreng pada anaknya Mbak Wisna dan Mas Aron. Namun mereka menggelengkan kepala seraya menutup mulutnya tanda tak mau.

"Mau pizza sama spageti, Tante."

Bocah itu berseru dan meloncat-loncat tak bisa diam sampai akhirnya tak sengaja menendang sayur dan juga ayam goreng.

Kutahan napas, lalu mengembuskan kasar. Inikah didikan dari Mbak dan masku kepada anak-anaknya.

Mereka tidak bisa memberikan contoh yang baik. Ingin marah tapi mereka hanya anak kecil, jika didik dengan benar pasti tak akan seperti ini perilakunya. Lingkungan pun memengaruhi perilaku.

"Nenek sama Kakek nggak ada uang, ya, jadinya nggak bisa belikan kami makanan yang enak?" tanya anak Mas Aron yang berumur lima tahun, namun sudah pintar berbicara.

"Uang sudah habis, Nduk," kata Bapak.

"Memangnya tidak dikasih sama Papa? Papa uangnya banyak lho, Kek."

Mas Aron melirik Mbak Delia--istrinya, sementara sang istri terlihat cuek dengan celotehan anaknya.

"Papa nggak ngasih uang tuh ke Kakek dan Nenek," kataku seraya tersenyum sambil melirik orang tuanya.

"Kemarin Oma dan Opa dikasih uang sama Mama dan Papa. Uangnya banyak sekaaliii."

Bocah itu berkata dengan antusias sekali sembari menggerak-gerakan tangannya.

"Oh ... Oma dan Opa habis dikasih uang ya?" tanya Bapak.

Cici menganggukkan kepala tanda mengiyakan pertanyaan Bapak.

Setelahnya semua diam membisu--sibuk dengan pikiran masing-masing. Mungkin ada rasa sedih pada hati kedua orang tuaku. Entah bagaimana dengan perasaan Mas Aron saat ini. Ia memandangi wajah kedua orang tua kami dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

Ibu berkali-kali terdengar menghela napas dan mengusap matanya.

"Bapak sudah selesai makan. Arum, kalau sudah nggak ada yang mau makan sebaiknya kamu taruh di dapur aja makanan itu," kata Bapak dengan datar.

"Iya, Pak," sahutku.

"Habiskan, Bu, makanannya. Nanti biar Arumi yang bereskan ini semua," kataku.

Ibu mengangguk lalu melanjutkan makannya. Sementara saudaraku yang lainnya tak jadi makan, mereka malah sibuk memainkan ponselnya.

Lalu, untuk apa mereka ke sini jika hanya untuk menyakiti perasaan orang tua dan mertua.

"Ibu sudah selesai, Nduk, makannya."

Ibu menaruh piring yang masih menyisakan makanan. Setelahnya Ibu berlalu dari hadapan kami semua.

"Pulang kampung cuma mau nyakitin hati orang tuaku? Mending nggak usah pulang sekalian!" ketusku sambil membenahi piring-piring kotor.

"Ini rumah orang tuaku juga, Rum. Jadi aku berhak mau ke sini kapan aja!" bentak Mbak Ayu.

"Masih menganggap mereka orang tuamu setelah berkali-kali kamu memberikan makanan yang tak layak?" tanyaku sengit.

"Aku nggak sengaja dan nggak tau jika makanan itu sudah basi, Rum! Jangan terlalu dipermasalahkan, kamu kenapa jadi sensi sekali sama kami. Kenapa? Karena sekarang hidup kami sudah enak?" katanya dengan menyilangkan tangan di dada.

"Nggak sengaja, gundulmu!" ucapku kesal.

"Mana sopan santunmu, Rum, terhadap kami Mbak dan masmu!" bentak Mas Aron.

"Manusia kurang ajar kaya kalian masih mau minta diperlakukan dengan sopan, Mas? Jangan mimpi! Biar aku yang lebih muda namun aku berhak bicara tegas dan mengingatkan saudaraku jika berada di jalan yang salah!" tegasku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marhaeni Aenhy
......... lanjut kk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status