“Akhrgg ... .”
Helaan napas panjang keluar dari mulut Derryl berbarengan dengan erangan. Pria tampan berwajah oriental itu teringat akan ucapan Priska sore tadi. Sepertinya dia memang harus memikirkan cara untuk menyelesaikan satu persatu masalah yang siap menghampirinya.
Cepat atau lambat semua juga akan tahu tentang hubungannya dengan Ratih. Derryl harus bergerak cepat untuk mengatasi semua. Dia tidak mau kalau pada akhirnya Ratih yang tersakiti. Sebuah bunyi bip membuyarkan lamunan Derryl. Ia segera meraih ponsel dan melihat ada pesan masuk di sana. Tak lain dan tak bukan Ratih-lah pengirimnya.
“Kamu sudah selesai? Aku mau pulang,” gumam Derryl. Sebuah senyuman tergambar di wajahnya.
Masih dengan tersenyum, Derryl menjawab pesan itu. “Iya, Sayang. Aku udah selesai, tungguin bentar lagi aku keluar.”
Derryl tersenyum usai mengeja pesan itu berulang. Dia bergegas bangkit dan membereskan semua berkas sebelum menin
“Siapa yang datang?” tanya Derryl sambil berjalan mendekat.Ratih bergeming di posisinya sambil berulang menggigit bibirnya.“Mawar. Mawar tadi telepon kalau sudah berada di depan pintu. Dia ... dia yang membunyikan bel.”Sontak Derryl terperangah kaget.“Terus ... terus kamu bilang apa? Kamu bilang kalau aku di sini?”Ratih menggeleng dengan cepat. “Enggak. Hanya saja dia masih menunggu di depan. Masa aku tidak membukakan pintunya.”Derryl tampak panik, berjalan mondar mandir sambil menepuk keningnya berulang. Kemudian tak lama ia berhenti sambil berdiri sejajar di depan Ratih.“Ya udah bukain saja,” putus Derryl.“Terus Abang gimana? Mau sembunyi?” Derryl terdiam sesaat, lagi-lagi warna merah merambah wajah putihnya saat Ratih memanggilnya ‘abang’.“Eng ... iya. Aku ... aku sembunyi saja kalau gitu.”Ratih mengangguk
“Duh, kok kamu segitu kagetnya sih. Kayak ketahuan maling aja,” ujar Mawar berkomentar.Ratih hanya diam sambil berulang melirik ke arah pintu kamarnya. Kalau tujuan Mawar ke sini untuk menginap itu artinya dia tidak akan pulang. Lalu bagaimana dengan Derryl? Masa iya, dia harus sembunyi di kamar semalaman.“Eng ... kok kamu dadakan, gak ngasih tahu. Kamarku berantakan dan aku belum merapikannya.”“Gampang. Aku bantuin merapikan, yuk! Kita langsung ke kamarmu saja.” Mawar berdiri dan langsung menarik tangan Ratih.Ratih bergegas menahannya dan meminta Mawar duduk lagi. “Eng ... gak usah. Kamu tamu, gak usak repot-repot. Tunggu di sini aku rapikan dulu!”Mawar mengangguk dan kini malah mengambil remote TV. Ia sudah menyalakan TV dan langsung asyik menonton tayangan drama di salah satu chanel. Sementara Ratih bergegas masuk setelah sebelumnya dibukakan kunci oleh Derryl.Ratih tampak terkejut saa
“Kok malah ngumpat? Kamu marah ke siapa, Tih?” tanya Mawar.Ratih terdiam, dadanya kembang kempis sibuk mengatur udara sementara matanya tampak menyalang marah. Ratih sudah tidak melihat Derryl, karena dia baru saja pergi mengendarai mobil dengan wanita seksi itu di dalamnya.“Sama kamu-lah. Ngapain juga kamu ngajak berangkat duluan tadi,” rutuk Ratih.Mawar tampak bingung. Padahal jelas-jelas yang ngajak berangkat duluan tadi Ratih. Dengan bersungut-sungut, Ratih masuk mobil lalu menstater dengan menginjak gas penuh sehingga menimbulkan bunyi menderu.Mawar menoleh ke arah Ratih. Entah mengapa Ratih tampak marah kali ini. Apa dia marah saat melihat Pak Derryl tadi? Atau jangan-jangan memang ada sesuatu di antara Pak Derryl dan Ratih? Mawar hanya sibuk menerka tanpa tahu jawaban yang pasti.“Pakai seat beltmu!! Karena aku bakalan ngebut kali ini!!” pinta Ratih.Mawar hanya diam dan bergegas menganggukkan k
“Abang?” seru salah seorang karyawan yang berdiri di belakang Ratih.Memang saat ini di dalam lift tidak hanya ada mereka bertiga saja, tapi beberapa karyawan yang lain. Ratih hanya diam tidak menjawab saat ditanya seperti itu. Derryl merasa kasihan melihatnya.“Liftnya gak papa, mungkin hanya bergoyang sedikit saja,” sahut Derryl. Ia berkata seperti itu untuk menenangkan Ratih.Sepertinya ucapan Derryl berhasil. Tak lama lift berjalan lagi dan langsung bergerak turun ke lobby. Ratih bergegas keluar lebih dulu dan helaan napas panjang keluar spontan dari mulutnya.“Are you okay, Bu Ratih?” tanya Alice penuh perhatian.“Iya. Saya baik-baik saja. Saya punya sedikit trauma dengan lift yang berhenti mendadak.”Alice hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Ratih.“Terus tadi Bu Ratih manggil ‘Abang’ saat lift sempat berhenti. Memang siapa dia? Saudara Bu Ratih?”
“Sayang ... kamu di sini rupanya,” ujar Derryl.Ratih terkejut dan langsung menoleh. Hal yang sama juga dilakukan Fani. Derryl langsung tersenyum sambil menyapa Fani dengan anggukkan. Fani membalas dengan senyuman.“Eng ... Bu. Saya permisi dulu, ya. Terima kasih untuk traktirannya.” Fani bangkit dan langsung berpamitan undur diri.Ratih hanya mengangguk dan mengizinkan Fani berlalu pergi lebih dulu. Kini Ratih berganti melirik Derryl yang sudah duduk di depannya.“Sudah selesai pemotretannya?” Derryl mengangguk dan tersenyum. Ia langsung melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan minuman.“Terus ke mana mantan pacarmu itu?” Ratih bertanya dengan sinis.“Dia langsung pergi, ada janji pemotretan di tempat lain.”Ratih hanya manggut-manggut mendengarkan kemudian melirik sinis ke arah Derryl. “Aku berubah pikiran,” ucap Ratih kemudian.Derryl menge
Akhir pekan tiba, pagi itu dengan berat hati Ratih sudah tiba di kantor. Memang hari ini ada bus yang akan menjemput dia bersama dua rekan yang lain ke tempat gathering diadakan.“Wah!! Saya pikir Bu Ratih tidak akan ikut, ternyata ikut juga, toh,” ujar Pak Salim.Ratih hanya tersenyum meringis. Sebenarnya dia juga ingin mengundurkan diri sejak kemarin bahkan Derryl memintahnya seperti itu. Namun, sayangnya kandidat yang akan menggantikan Ratih tidak ada. Ada yang tugas luar kota, sakit dan lainnya tiba-tiba menghilang tidak ada jawaban. Daripada nama perusahaan yang jadi taruhannya, terpaksa Ratih ikut saja.“Semoga saja tim kita menang lagi, Bu!” sahut Pak Heri yang tiba-tiba berdiri di samping Ratih.Sekali lagi Ratih hanya mengangguk sambil meringis. Dua pria di sebelahnya ini memang hampir seumuran dengannya mungkin selisih 2 atau 1 tahun saja, tapi semangat mereka tidak kalah dengan yang muda.“Kita gak ada yang
“Saaayang?” tanya Pak Heri dan Pak Salim secara berbarengan.Sepertinya Derryl tahu kalau dia sudah keceplosan bicara bahkan semua mata yang berada di tempat itu melihat ke arahnya.“Eng ... maksud saya, sayang banget, kenapa kok bisa jatuh padahal tinggal satu sesi saja,” Derryl mati-matian meralat ucapannya. Sementara Ratih hanya mengulum senyum menahan tawa sambil melihat ke arah Derryl.Beruntungnya kerumunan yang berada di sana sudah berangsur pergi, hanya tinggal Ratih, Pak Heri, Pak Salim, Derryl serta dua orang panitia yang membantu.“Sepertinya kita harus bawa ke rumah sakit, Pak? Takut lukanya parah,” ucap salah satu panitia.“Ya udah. Biar saya bawa saja. Kalian pasti sibuk mengurusi acara selanjutnya, bukan?” Derryl menawarkan diri. Dua orang panitia itu hanya mengangguk dan tersenyum saat tahu Derryl mau berbaik hati membantunya.“Terus kami bagaimana, Pak?” Pak Heri be
Sudah hampir lima belas menit berlalu, baik Derryl dan Ratih hanya diam saling pandang satu sama lain. Mereka sudah berada di kamar yang baru saja mereka sewa untuk bermalam.“Eng ... kamu tidur di atas saja. Nanti aku bisa tidur di bawah,” ucap Derryl memecah keheningan.Ratih hanya manggut-manggut mendengarkan. Ya, mungkin itu satu-satunya pilihan mereka untuk beristirahat kali ini. Kamar ini memang cukup bersih dan luas, hanya saja fasilitas di kamar kurang memadai. Hanya ada sebuah kasur double bed dengan lemari kayu, meja nakas dan meja rias dengan dua kursi tanpa ada sofa yang biasanya ada.“Aku ke mobil bentar untuk ambil baju. Ini dingin sekali. Kalau kamu mau ganti, kamu bisa meminjam bajuku, Sayang.”Ratih mengangguk mengiyakan. Memang barang-barang Ratih masih tertinggal di tempat gathering dan mungkin saat ini sudah dibawa serta Pak Heri dan Pak Salim ke kantor. Derryl masih keluar kamar dan kini Ratih tampak gelisah be