Share

10. Bukan Malaikat

Leo mengamati kondisi Maya yang masih lemah pasca operasi dengan prihatin. Dia sangat bersyukur Maya selamat karena pertolongan anak-anak jalanan yang kemarin mereka temui. Benar-benar sebuah keajaiban.

Golongan darah Maya O negatif. Rumah sakit saat itu sedang kehabisan stok darah dengan golongan tersebut. Saat itulah Leo sangat menyesal mengapa tadi dia membanting ponsel hingga hancur. Tak mungkin dia bisa mengirim pesan kepada semua rekan kerja dan kenalan yang barangkali memiliki golongan darah yang sama.

Dia pun berlari keluar, menuliskan di selembar kertas bahwa dirinya membutuhkan golongan darah O negatif untuk teman yang kritis. Namun, tak satu pun donor didapatkan. Saat itulah, dia bertemu dengan anak-anak jalanan yang datang bersama Apollo. Mereka pun membantu aksi mencari donor dengan gigih. Setengah jam kemudian, mereka kembali membawa tiga orang pendonor. Sangat cukup untuk membantu menyuplai kebutuhan darah Maya saat ini.

"Leo! Kamu belum tidur dari semalam! Matamu berkantung dan menghitam ...." Maya terbangun dan menyadari keberadaan Leo di sampingnya. Dalam hati, Maya merasa sangat bersyukur, walaupun tak ada suaminya, Tuhan masih mengirimkan orang asing bernama Leo untuk menemaninya di rumah sakit. "Astaga! Bagaimana dengan pembayarannya nanti? Bisakah kau mengambil kartu kreditku yang tertinggal di kamar?"

"Tentu, Maya! Jangan khawatir!" jawab Leo menenangkan Maya. Dia merengkuh bahu Maya dan menidurkan wanita itu kembali ke ranjang rumah sakit yang tak senyaman ranjang hotel. 

Wajah Leo tak bisa tersenyum. Hati Leo menangis. Dia menjilat bibir untuk meredam semua rasa yang hinggap dan merajai hatinya saat ini. Sangat ingin dia membawa Maya pergi dari Adam dan Sabrina. Sangat ingin dia melindungi Maya agar tak satu orang pun bisa menyakitinya. Namun, siapakah dia? Dia tak tahu keinginan Maya yang sebenarnya.

"Maafkan aku! Kau harus terbaring di sini karena aku begitu bodoh," bisik Leo hampir tak terdengar. Keningnya berkerut, matanya berkaca-kaca, tampak sekali mendung sudah menghitam dan siap turun hujan.

"Yang penting kita selamat! Tak ada satu pun yang mati! Hanya itu yang kuinginkan!" jawab Maya dengan senyuman lemah. Dia meraih tangan Leo sebentar, lalu teringat dengan kunci kamarnya dan memberikannya ke Leo. "Celaka! Aku lupa nama hotel yang kusinggahi."

Leo tertawa sedikit. "Aku tahu! Kita satu hotel!" ujarnya lalu duduk kembali di kursi yang dekat dengan ranjang Maya.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Maya curiga.

Leo lupa. Dia kelepasan. Tak mungkin dia mengatakan bahwa dirinya mengenal Sabrina, wanita yang menjadi selingkuhan Adam selama bertahun-tahun. Untunglah, pria itu memiliki ide yang lebih baik. "Kita memiliki kunci yang sama!" ujarnya sambil memamerkan kartu dengan desain dan warna yang sama dengan Maya. Keduanya lalu tertawa bersamaan. 

"Hahahaha, ternyata kita satu hotel? Lalaborn Hotel? Terima kasih." Wajah Maya sudah tampak lebih cerah sekarang. Dia lalu memakan sarapan jatah dari rumah sakit, tentu setelah menolak tawaran Leo untuk menyuapinya. Dia hanya meminta Leo mengambil kartu kredit yang dia simpan di kamar.

Leo menurut. Dia kembali ke hotel sebentar untuk mandi, mengambil kartu kredit Maya serta pakaian ganti, lalu kembali ke rumah sakit. Hati Leo bergemuruh. Maya tak memintanya mengambil pakaian ganti. Namun, Leo tahu bahwa wanita itu membutuhkannya.

Mungkin Maya tak ingin Leo menyentuh barang pribadi miliknya. Terbukti Maya benar. Perasaan Leo bergetar saat mengambil pakaian dan perlengkapan pribadi Maya. Padahal, dia tak biasanya seperti ini. Dia telah menghabiskan malam dengan banyak wanita, mengapa kelakuannya kini seperti remaja pria yang baru saja melihat semuanya untuk pertama kali?

"Kau tak boleh percaya pada setiap orang yang kau temui," nasihat Leo kepada Maya saat dia tiba di kamar rawat inap VVIP tempat wanita baik hati itu beristirahat. Tangan kekarnya mengulurkan kantong berisi semua item yang telah dia ambil dari kamar.

"Benar! Aku memintamu mengambil kartu kredit, tapi justru kau ambil yang lain!" ujar Maya sedikit memprotes kelakuan Leo yang mengambil pakaian ganti untuknya. Wajah Maya tampak merah merona. Dia kurang suka ada pria selain suaminya melihat benda pribadi miliknya. Walaupun, dia akui, saat ini dirinya sangat membutuhkan. "Tapi terima kasih. Aku bisa berganti pakaian dengan yang lebih nyaman."

Leo tersenyum simpul. Dia menatap Maya geli, kemudian berkata, "Jangan malu begitu! Kita sama-sama orang dewasa. Aku bukan–ehm–remaja pria. Hal seperti itu tak akan mengganggu pikiranku."

Entahlah, mengapa Leo tak mau mengakui kalau dirinya bukan seorang perjaka. Rasanya, dia tak ingin membuat Maya merasa tak nyaman bila mengetahui kebiasaannya? Ataukah dia sedang berpura-pura baik di hadapan Maya? Dia belum pernah melakukan hal seperti ini kepada wanita mana pun yang dia kencani.

Pasti karena Maya bukan teman kencannya! Begitulah kesimpulan Leo. Dia jadi merasa tak bersalah bila harus menutupi kepribadian aslinya. Mereka berdua hanyalah orang asing yang kebetulan saling bertemu di kondisi yang tak wajar. Hanya itu. Tidak lebih.

Maya tersenyum kemudian mengucapkan terima kasih kepada Leo yang telah banyak membantunya. Tentu saja, Leo menyanggah hal itu. Maya justru yang lebih banyak berjasa bagi Leo.

"Aku ingin menanyakan sesuatu ...," ujar Leo ragu-ragu. "Mengapa kau merelakan nyawamu untuk melindungi orang asing sepertiku?" tanya Leo dengan tatapan datar. Bagaimanapun, perasaan bersalah masih melekat erat dalam hati pria bertubuh kekar itu.

"Hmmmm?" Dahi Maya mengerut. Matanya menatap Leo tanpa berkedip. "Apa kau perlu alasan untuk menolong orang lain?"

Leo hendak membuka mulut. Merasa sangat tersindir dengan perkataan Maya. Dia ingin menolong Maya dari tipu muslihat Adam dan Sabrina dengan segala cara. Namun, entah mengapa dia merasa butuh alasan untuk melakukan itu semua. Mungkin, karena konteks yang mereka tinjau berbeda. Untuk perkara hidup dan mati, kita tak perlu alasan, tetapi untuk perkara lain, memang harus punya alasan kuat.

Leo memandang wajah Maya lagi dengan senyuman penuh maklum. Kemudian dia berkata lagi, "Waktu kecil, ibuku bilang, banyak malaikat dari langit yang diturunkan ke muka bumi. Apakah kau salah satunya?"

Maya tertawa terbahak-bahak. "Mana mungkin ada malaikat yang suka marah-marah sepertiku?"

Leo pun ikut tertawa. Kemudian menimpali, "Manusia memang bisa memilih untuk menjadi seperti malaikat atau iblís! Semua tergantung hati mereka."

"Dan kau memilih untuk menjadi malaikat ketika menolongku dari para penjahat itu. Terima kasih, Leo!" Maya menatap Leo dengan muka berseri dan mata berbinar. Hal ini membuat Leo tak berani melakukan hal serupa sebagai balasan.

Pria tampan berambut pirang itu lalu menggeleng. Dia menelan ludah. Bila Maya tahu siapa dirinya yang sebenarnya, apakah wanita lugu itu masih akan menyebutnya malaikat?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status