Leo mengamati kondisi Maya yang masih lemah pasca operasi dengan prihatin. Dia sangat bersyukur Maya selamat karena pertolongan anak-anak jalanan yang kemarin mereka temui. Benar-benar sebuah keajaiban.
Golongan darah Maya O negatif. Rumah sakit saat itu sedang kehabisan stok darah dengan golongan tersebut. Saat itulah Leo sangat menyesal mengapa tadi dia membanting ponsel hingga hancur. Tak mungkin dia bisa mengirim pesan kepada semua rekan kerja dan kenalan yang barangkali memiliki golongan darah yang sama.
Dia pun berlari keluar, menuliskan di selembar kertas bahwa dirinya membutuhkan golongan darah O negatif untuk teman yang kritis. Namun, tak satu pun donor didapatkan. Saat itulah, dia bertemu dengan anak-anak jalanan yang datang bersama Apollo. Mereka pun membantu aksi mencari donor dengan gigih. Setengah jam kemudian, mereka kembali membawa tiga orang pendonor. Sangat cukup untuk membantu menyuplai kebutuhan darah Maya saat ini.
"Leo! Kamu belum tidur dari semalam! Matamu berkantung dan menghitam ...." Maya terbangun dan menyadari keberadaan Leo di sampingnya. Dalam hati, Maya merasa sangat bersyukur, walaupun tak ada suaminya, Tuhan masih mengirimkan orang asing bernama Leo untuk menemaninya di rumah sakit. "Astaga! Bagaimana dengan pembayarannya nanti? Bisakah kau mengambil kartu kreditku yang tertinggal di kamar?"
"Tentu, Maya! Jangan khawatir!" jawab Leo menenangkan Maya. Dia merengkuh bahu Maya dan menidurkan wanita itu kembali ke ranjang rumah sakit yang tak senyaman ranjang hotel.
Wajah Leo tak bisa tersenyum. Hati Leo menangis. Dia menjilat bibir untuk meredam semua rasa yang hinggap dan merajai hatinya saat ini. Sangat ingin dia membawa Maya pergi dari Adam dan Sabrina. Sangat ingin dia melindungi Maya agar tak satu orang pun bisa menyakitinya. Namun, siapakah dia? Dia tak tahu keinginan Maya yang sebenarnya.
"Maafkan aku! Kau harus terbaring di sini karena aku begitu bodoh," bisik Leo hampir tak terdengar. Keningnya berkerut, matanya berkaca-kaca, tampak sekali mendung sudah menghitam dan siap turun hujan.
"Yang penting kita selamat! Tak ada satu pun yang mati! Hanya itu yang kuinginkan!" jawab Maya dengan senyuman lemah. Dia meraih tangan Leo sebentar, lalu teringat dengan kunci kamarnya dan memberikannya ke Leo. "Celaka! Aku lupa nama hotel yang kusinggahi."
Leo tertawa sedikit. "Aku tahu! Kita satu hotel!" ujarnya lalu duduk kembali di kursi yang dekat dengan ranjang Maya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Maya curiga.
Leo lupa. Dia kelepasan. Tak mungkin dia mengatakan bahwa dirinya mengenal Sabrina, wanita yang menjadi selingkuhan Adam selama bertahun-tahun. Untunglah, pria itu memiliki ide yang lebih baik. "Kita memiliki kunci yang sama!" ujarnya sambil memamerkan kartu dengan desain dan warna yang sama dengan Maya. Keduanya lalu tertawa bersamaan.
"Hahahaha, ternyata kita satu hotel? Lalaborn Hotel? Terima kasih." Wajah Maya sudah tampak lebih cerah sekarang. Dia lalu memakan sarapan jatah dari rumah sakit, tentu setelah menolak tawaran Leo untuk menyuapinya. Dia hanya meminta Leo mengambil kartu kredit yang dia simpan di kamar.
Leo menurut. Dia kembali ke hotel sebentar untuk mandi, mengambil kartu kredit Maya serta pakaian ganti, lalu kembali ke rumah sakit. Hati Leo bergemuruh. Maya tak memintanya mengambil pakaian ganti. Namun, Leo tahu bahwa wanita itu membutuhkannya.
Mungkin Maya tak ingin Leo menyentuh barang pribadi miliknya. Terbukti Maya benar. Perasaan Leo bergetar saat mengambil pakaian dan perlengkapan pribadi Maya. Padahal, dia tak biasanya seperti ini. Dia telah menghabiskan malam dengan banyak wanita, mengapa kelakuannya kini seperti remaja pria yang baru saja melihat semuanya untuk pertama kali?
"Kau tak boleh percaya pada setiap orang yang kau temui," nasihat Leo kepada Maya saat dia tiba di kamar rawat inap VVIP tempat wanita baik hati itu beristirahat. Tangan kekarnya mengulurkan kantong berisi semua item yang telah dia ambil dari kamar.
"Benar! Aku memintamu mengambil kartu kredit, tapi justru kau ambil yang lain!" ujar Maya sedikit memprotes kelakuan Leo yang mengambil pakaian ganti untuknya. Wajah Maya tampak merah merona. Dia kurang suka ada pria selain suaminya melihat benda pribadi miliknya. Walaupun, dia akui, saat ini dirinya sangat membutuhkan. "Tapi terima kasih. Aku bisa berganti pakaian dengan yang lebih nyaman."
Leo tersenyum simpul. Dia menatap Maya geli, kemudian berkata, "Jangan malu begitu! Kita sama-sama orang dewasa. Aku bukan–ehm–remaja pria. Hal seperti itu tak akan mengganggu pikiranku."
Entahlah, mengapa Leo tak mau mengakui kalau dirinya bukan seorang perjaka. Rasanya, dia tak ingin membuat Maya merasa tak nyaman bila mengetahui kebiasaannya? Ataukah dia sedang berpura-pura baik di hadapan Maya? Dia belum pernah melakukan hal seperti ini kepada wanita mana pun yang dia kencani.
Pasti karena Maya bukan teman kencannya! Begitulah kesimpulan Leo. Dia jadi merasa tak bersalah bila harus menutupi kepribadian aslinya. Mereka berdua hanyalah orang asing yang kebetulan saling bertemu di kondisi yang tak wajar. Hanya itu. Tidak lebih.
Maya tersenyum kemudian mengucapkan terima kasih kepada Leo yang telah banyak membantunya. Tentu saja, Leo menyanggah hal itu. Maya justru yang lebih banyak berjasa bagi Leo.
"Aku ingin menanyakan sesuatu ...," ujar Leo ragu-ragu. "Mengapa kau merelakan nyawamu untuk melindungi orang asing sepertiku?" tanya Leo dengan tatapan datar. Bagaimanapun, perasaan bersalah masih melekat erat dalam hati pria bertubuh kekar itu.
"Hmmmm?" Dahi Maya mengerut. Matanya menatap Leo tanpa berkedip. "Apa kau perlu alasan untuk menolong orang lain?"
Leo hendak membuka mulut. Merasa sangat tersindir dengan perkataan Maya. Dia ingin menolong Maya dari tipu muslihat Adam dan Sabrina dengan segala cara. Namun, entah mengapa dia merasa butuh alasan untuk melakukan itu semua. Mungkin, karena konteks yang mereka tinjau berbeda. Untuk perkara hidup dan mati, kita tak perlu alasan, tetapi untuk perkara lain, memang harus punya alasan kuat.
Leo memandang wajah Maya lagi dengan senyuman penuh maklum. Kemudian dia berkata lagi, "Waktu kecil, ibuku bilang, banyak malaikat dari langit yang diturunkan ke muka bumi. Apakah kau salah satunya?"
Maya tertawa terbahak-bahak. "Mana mungkin ada malaikat yang suka marah-marah sepertiku?"
Leo pun ikut tertawa. Kemudian menimpali, "Manusia memang bisa memilih untuk menjadi seperti malaikat atau iblís! Semua tergantung hati mereka."
"Dan kau memilih untuk menjadi malaikat ketika menolongku dari para penjahat itu. Terima kasih, Leo!" Maya menatap Leo dengan muka berseri dan mata berbinar. Hal ini membuat Leo tak berani melakukan hal serupa sebagai balasan.
Pria tampan berambut pirang itu lalu menggeleng. Dia menelan ludah. Bila Maya tahu siapa dirinya yang sebenarnya, apakah wanita lugu itu masih akan menyebutnya malaikat?
Ini adalah hari ketiga Maya di rumah sakit. Maya meminta Leo untuk tidak menemaninya sepanjang hari. Dia menyuruh Leo untuk kembali ke hotel dan mengurus dirinya dengan baik.Maya sangat merasa bersalah. Liburan Leo rusak karena peristiwa yang dia alami. Andai saja saat itu dia tidak ceroboh, pastilah tak akan bertemu dengan para penjahat.Hari ini, Maya harus kembali ke hotel. Sebentar lagi suaminya akan pulang dari pertemuan bisnisnya dan ponselnya yang mati, tentu tak akan membantu menjelaskan apa pun tentang keberadaannya di rumah sakit.Karena itulah, Maya segera mengganti pakaian dan keluar dari kamar. Dia merasa kondisinya sudah baik. Maya akan meminta keluar hari ini dan mengurus semua keperluan administrasi."Maaf, tapi di rumah sakit kami tak mungkin dilakukan perawatan sebelum ada jaminan pembayaran. Jadi, biaya perawatan Anda sudah ditanggung. Anda tak perlu membayar lagi." Petugas administrasi menjelaskan kepada Maya dengan singkat tanp
"Ponsel kamu hancur?" tanya Adam kepada Maya setelah mereka sampai di apartemen yang akan mereka tinggali. Pria berambut hitam yang selalu disisir rapi itu terkejut akan kebetulan yang menimpa mereka."Iya. Maaf! Apa kau kerepotan menghubungiku?" tanya Maya dengan sandiwara sempurna. Wajahnya terlihat baik-baik saja. Seolah tak terjadi apa pun padanya."Eh, kebetulan. Ponselku juga hancur tertindih kursi!" jawab Adam dengan santai."Tertindih kursi? Kamu menindih ponsel dengan kursi?" tanya Maya mulai merasa ada kejanggalan dalam penjelasan Adam.Adam berjengit, menutup mulutnya dengan refleks. Dia kelepasan. Skenario yang sebenarnya ponselnya terjatuh oleh Sabrina. Namun, Adam tahu dari kerusakan yang terjadi bahwa ponselnya tidak terjatuh, melainkan ditindih kaki kursi yang runcing dan kuat.Dengan gugup, Adam meralat penjelasannya. "Iya, jatuh, saat ada orang mengangkat kursi! Kemudian tertindih dan layarnya rusak!" Hati Adam berdebar-deba
Keberadaan Sabrina di kantor setiap hari sangat menggangu konsentrasi Adam. Karena itulah, selama ini, Adam tak pernah sekali pun menginginkan Sabrina menjadi sekretarisnya. Apalagi, Sabrina tak sebagus Maya dalam bekerja. Adam harus bekerja keras bahkan untuk menyusun file dan mengatur semua jadwal meeting yang kadang tumpang tindih. Sesuatu yang tak perlu dia lakukan bila Maya yang menjadi sekretarisnya. Namun, Adam bertekad untuk menjalani semua ini demi keberhasilan dalam cinta dan tahta. Bukankah untuk meraih suatu tujuan memang diperlukan kerja lebih keras? "Astaga! Lagi-lagi ada dua meeting dalam satu waktu," gumam Adam kebingungan. Namun, kesalahan seperti ini tak bisa membuatnya memarahi Sabrina. Dia harus memperlakukan Sabrina dengan kesabaran tingkat tinggi agar wanita itu tak kabur dari pelukannya. "Sayang, kamu bisa beresin jadwal yang dobel ini?" pinta Adam dengan halus agar Sabrina tidak tersinggung. Sabrina yang sudah merasa bekerja de
Sudah satu bulan lamanya sejak Sabrina menggantikan Maya menjadi sekretaris. Selama satu bulan tersebut, Adam bekerja sangat keras. Namun, pekerjaan banyak yang tak terselesaikan dengan baik, tak peduli bagaimanapun juga Adam telah berusaha dengan sangat gigih membanting tulang.Di depan Adam, kini sang ayah memasang wajah seram seolah akan memakan anak semata wayangnya hidup-hidup. Beliau terlihat sama sekali tak puas dengan kinerja sang anak."Apa saja yang kamu lakukan di kantor? Aku tanya ke Maya, kamu bahkan sering lembur. Mengapa aku menerima laporan kinerja yang begitu buruk darimu?" ujar Tuan Paul dengan nada tinggi. Beliau duduk di kursi kerja Adam dengan menyilangkan kaki, membiarkan putranya berdiri mematung dan menunduk karena merasa bersalah dan tak bisa memberikan pembelaan diri yang memadai."Kudengar, kamu sering sekali membatalkan janji dengan klien secara mendadak. Tiga orang investor bahkan membatalkan niat kerja samanya dengan perusahaan kita
Tak terasa, sudah sepuluh hari berlangsung misi Adam untuk mengatur kesibukannya di kantor dan di rumah. Sabrina tak terlihat marah karena Elena, sekretaris senior yang diperbantukan menghandle lebih banyak pekerjaan sekaligus memeriksa kembali pekerjaannya.Sedangkan Maya yang hanya memiliki pikiran positif kepada Adam, justru merasa prihatin dengan kondisi suaminya yang saat ini sedang tertidur pulas di sampingnya. Badan Adam akhir-akhir ini terlihat lebih kurus. Wajahnya tak terlihat segar."Apakah kamu terlalu sibuk dan tidak makan dengan baik?" bisik Maya pelan. Dia lalu mengecup kening suaminya dan memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan untuk membantu kesibukan Adam. "Ah, mungkin aku akan membuatkan bekal saja untuknya. Akhir-akhir ini dia berangkat terlalu pagi sebelum aku bangun dan tidak sarapan sampai di kantor!"Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Maya sengaja bangun lebih awal kali ini agar bisa menyapa Adam sekaligus membuatkannya sar
Sabrina tersenyum puas melihat Adam mendatanginya di restoran tanpa terlihat semburat kecewa di wajah. Dia tahu Adam membawa kotak makanan hari ini. Dia memang dengan sengaja meminta Adam untuk makan di luar bersamanya demi menguji Adam mengenai siapa yang dia prioritaskan saat ini.Bila Adam datang, Sabrina akan sangat senang karena dia masih diutamakan. Bila Adam memilih makan bekal yang dibuatkan Maya, tentu Sabrina akan merasa dirinya sudah tergeser oleh Maya. Sekretaris cantik itu sangat khawatir kalau-kalau Adam terpesona dengan kepribadian Maya. Karena itulah, dia tak boleh terang-terangan berlaku buruk di hadapan Adam.Sabrina menyambut Adam dengan senyuman sangat manis yang membuai hati Adam. Pria itu senang Sabrina sudah tak marah. Mereka berdua lalu memesan makanan dan membicarakan hal-hal ringan yang tidak berhubungan dengan pertengkaran mereka tadi pagi.Damai menyelimuti perasaan Adam. Kepuasan membuncah dalam hati Sabrina. Sangat berkebalikan deng
Maya sama sekali tak ingin percaya apa yang dia lihat saat ini adalah kenyataan. Tetapi semuanya begitu nyata. Suami yang selama ini sangat baik padanya, melakukan perbuatan yang tak seharusnya dia lakukan bersama wanita lain.Sesuatu yang hanya haknya, yang seharusnya hanya untuknya, kini Adam lakukan bersama wanita lain. Keduanya tampak begitu larut hingga tak mempedulikan sekitar, tak menyadari kehadiran orang lain yang menyaksikan perbuatan yang begitu menyakitkan bagi Maya."Adam ... I love–you!" seru wanita yang menguasai Adam tatkala punggungnya melengkung ke belakang."I love–you–more, Baby! Kamu satu-satunya ...." Adam membalas dengan suara berat tertahan sebelum bibirnya mengklaim bibir wanita yang sedang bersamanya. "Cuma kamu di hatiku, Sayang!"Tentu saja, kalimat terakhir Adam membuat dunia Maya hancur berkeping-keping. Ternyata, suami yang dia kira selama ini adalah pria yang ditakdirkan untuknya, ternyata mencintai wanita
Sabrina mengantar makanan ke ruangan Adam dengan perasaan yang tak menentu. Di satu sisi, dia senang karena Maya telah mengetahui apa yang selama ini tersembunyi. Di sisi lain, dia khawatir akan posisi Adam di mata ayahnya.Bagaimana bila Maya mengadu kepada mertuanya? Apakah Adam akan dihukum oleh ayahnya? Bila benar demikian, siapa yang akan Adam pilih?"Adam, kalau misalkan semua nggak berjalan seperti yang kamu mau ...." Sabrina berhenti sejenak, berusaha memilih kata-kata yang tidak merusak suasana. "Kalau misalkan kita ketahuan, kamu bakal pilih aku atau warisan ayah kamu?"Adam tertegun mendengar pertanyaan Sabrina yang bernada pesimis. Dia berhenti mengunyah burgernya sejenak dan berkata, "Aku bermain dengan bersih. Segalanya sudah kuperhitungkan dengan baik. Tak mungkin ketahuan!"Adam lalu melanjutkan makannya dengan cepat. Direguknya cola dari gelas langsung agar lebih puas minum. Dia tak ingin membuang waktu dengan pertanyaan Sabrina yang hany