Memarkir mobilnya, Vanya kemudian masuk ke dalam cafe yang sudah beberapa kali ia kunjungi. Ia memilih untuk bersantai sendirian di cafe sebelum pulang ke rumah. Menghilang rasa penat dengan kerjaan serta Charles yang belakangan ini suka gak jelas.
Sambil membaca salah satu buku, Vanya menikmati segelas coklat hangat. Begitu serius sehingga ia tidak menyadari kalau sedari tadi Charles meneleponnya. Vanya memang sering menonaktifkan nada dering handphonenya. Tepat pukul setengah sembilan, Vanya meninggalkan tempat itu setelah selesai membayar pesanannya. Sebelum tidur, Vanya mengecek handphonenya. Ia cukup kaget melihat banyaknya panggilan tak terjawab dari Charles. "Ngapain sampai video call segala?” tanya Vanya heran sambil membaca pesan yang Charles kirimkan. Rupanya ada seseorang yang sengaja mengikutinya, karena dalam pesan yang dikirimkan Charles, pria itu juga mengirimkan foto saat ia sedang di cafe sendirian. Charles yang memang tengah menunggu balasan pesan dari Vanya, tanpa aba-aba langsung menghubunginya saat melihat status Vanya yang sedang online. "Segitu gak mau diganggunya kamu sama aku? Sampai telpon aku gak diangkat!" Charles setengah berteriak. Vanya menarik nafas dalam-dalam mencoba tenang karena tak ingin ikut emosi. Dia sebenarnya kesal dengan Charles mengenai foto itu. Apalah Charles menyuruh orang untuk mengikutinya atau ada orang yang tidak suka dengannya. "Aku gak tahu kalau kamu telepon. Handphonenya aku silent,” kata Vanya dengan sedikit penekanan. "Silent? Supaya kamu gak bisa diganggu?” Mendengar pertanyaan Charles yang seperti itu, rasanya pengen memukul kepala pria itu kalau bertemu. "Handphone aku memang biasa di silent. Lagian siapa sih yang setor-setor foto sama kamu? Kamu nyuruh orang buat ngikutin aku?" "Ngapain aku nyuruh orang buat ngikutin kamu? Itu Tere yang ngirim," ucap Charles. "Tere? Polwan temen kamu yang jutek itu? Oh, dia kan memang gak suka sama aku.” "Kamu gak usah mengalihkan pembicaraan, kamu ngapain disana? Janjian sama orang kan? Sama Tristan?" "Ya ampun kenapa sih pikiran kamu selalu jelek tentang aku? Kamu gak lihat aku sendiri di sana? Kalau kamu gak percaya, kamu tanya aja sama Tere atau kamu cek cctv di sana. Suka banget marah-marah! Aku matikan teleponnya, aku mau tidur." Vanya langsung menekan tanda merah dan meletakkan handphonenya di meja samping tempat tidurnya. Memandang langit-langit kamarnya, gadis itu memikirkan kembali keputusan yang diambilnya apakah sudah benar atau tidak. *** Charles baru saja selesai menelpon Erin, menyampaikan mengenai rencana di hari Sabtu ini, yang akan berkunjung ke rumah Vanya guna membicarakan niat baiknya untuk melamar Vanya. Rencana anaknya disambut bahagia oleh Erin. Ia sungguh tak sabar menunggu hari itu datang. Ditemani oleh Sandra, Erin memesan beberapa makanan serta kue dari toko langganannya. Tak lupa ia membelikan sebuah kalung untuk Vanya. Aura bahagia dapat Sandra lihat dari wajah Erin, seolah yang hendak dilamar itu adalah dirinya. "Akhirnya Abang kamu mau juga ngikutin pilihan Mama," jawab Erin sambil memandangi kalung yang akan diberikan kepada Vanya nanti. Teringat saat pernikahan Charles dengan mendiang istrinya, dimana ia tidak diperbolehkan menyumbangkan ide atau masukan untuk acara pernikahan mereka. Ditambah lagi setelah mereka resmi menikah, mendiang menantunya itu seperti menjaga jarak dengannya. Padahal ia tidak ada masalah dengannya. "Nanti kalo Bang Charles sudah menikah, Charlos gimana, Ma? Kan Kak Vanya juga kerja.” “Mama bisa bantu jaga,” jawab Erin yang kemudian berlalu hendak menidurkan Charlos. *** Bangun sedikit lebih pagi, Vanya sibuk membersihkan rumah serta merapikan peralatan makan. Ia sama sekali tidak curiga karena mengira Mama akan masak besar karena Yuda, Nadia, dan si kembar akan datang. "Vanya ...." panggil seseorang dari depan. Dari suaranya sudah jelas itu suara Yuda. Selang beberapa menit, si kembar masuk dan berlarian di sekitar ruang tamu. "Kamu gak siap-siap?" tanya Mama saat melihat Vanya yang hanya mengenakan celana pendek serta baju kaos. "Iya nih, calon manten kok gak dandan?" timpal Nadia. Mendengar hal itu Vanya jadi bertanya-tanya. Pintu rumah diketuk. "Oh, iya Mas, langsung masuk aja," ucap Mama berjalan menuju dapur, di ikuti oleh beberapa orang berbaju seragam ketring yang membawa beberapa jenis makanan. "Memang ada acara apa sih?” Vanya menatap Yuda dan Nadia bergantian. “Gak usah pura-pura. Sayang, kamu bantu Vanya siap-siap ya,” ucap Yuda meminta Nadia membantu adiknya itu berbenah. Vanya yang masih bingung, hanya bisa mengikuti Nadia. Namun begitu sampai di kamar, Vanya langsung minta penjelasan pada kakak iparnya. Bukan main kagetnya Vanya mendengar ucapan Nadia. "Kok kaget? Jangan bilang kamu gak tahu acara hari ini?” tanya Nadia sambil memilihkan pakaian yang cocok untuk Vanya. Rasa kesal perlahan menyelimuti hatinya. Bagaimana tidak, Charles tidak memberitahu soal ini padanya sama sekali. Ditambah kemarin pria itu baru saja memarahinya. Nadia kemudian meminta Vanya berganti pakaian agar ia bisa langsung mendandaninya. “Cantik banget calon manten,” puji Nadia melihat Vanya di cermin. Vanya hanya tersenyum kecil. Ia bingung harus bersikap bagaimana nanti. “Tapi dari yang Kak Nadia lihat, Charles itu orangnya baik, ngomongnya juga sopan santun. Semoga kamu selalu bahagia ya,” ucap Kak Nadia memandang Vanya. “Semua orang pada dasarnya juga baik. Apalagi kalau ada maunya,” gumam Vanya dalam hati. Tepat jam dua belas siang, Charles dan keluarga tiba di rumah. Vanya sedikit kaget melihat ada beberapa keluarganya juga turut hadir. Acara dimulai saat mereka selesai makan siang bersama. Vanya memilih untuk bermain bersama Charlos di teras samping sementara yang lain berbincang serius di ruang tengah. Toh iya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena Charles pasti sudah mengatur semuanya. Terdengar gelak tawa dari ruang tengah disertai suara Mama yang memanggil Vanya. Reflek ia bergegas menghampiri. Duduk berhadapan dengan Charles yang tampak tertawa bahagia, membuat rasa kesal Vanya semakin menjadi-jadi. Setelah kemarin marah-marah dan hari ini datang tanpa berita, Charles masih bisa memasang wajah polosnya. Sebelum pulang, Erin mendekati Vanya dan memberikannya sesuatu. “Semoga Vanya suka ya,” kata Erin meminta Vanya membuka kotak berwarna merah itu. “Ya ampun. Tante, kok repot-repot,” ucap Vanya kaget melihat kalung yang diberikan oleh Erin. “Cocok banget,” ucap Erin tersenyum selesai memasangkan kalung itu di leher Vanya. “Kalau begitu kami pamit dulu ya," ucap Frans sambil bangkit berdiri diikuti yang lain. "Tolong kamu jaga Vanya. Jangan buat dia menderita! Kalau sampai itu terjadi, aku orang pertama yang harus kamu hadapi," ucap Bang Yuda sambil menepuk pundak Charles. *** Vanya baru saja pergi dijemput oleh Nina, teman kuliahnya yang lagi main ke Jakarta, saat Charles hendak berhenti di depan rumahnya. Sebelum kehilangan jejak, Charles mengikuti Vanya pergi. Malam ini, Vanya, Nina, dan dua teman kuliahnya dulu janjian ketemu di salah satu kedai kopi. Jarang-jarang mereka bisa ngumpul buat nongkrong berempat, apalagi sejak Nina pindah ke luar pulau karena ikut suaminya. Kebetulan Nina lagi di Jakarta, mereka langsung atur tempat buat meet up. Dua temannya sudah duduk manis di kedai kopi saat Vanya dan Nina datang. "Astaga, lama banget kita gak ngumpul kaya gini." Mereka saling berpelukan kemudian duduk. "Gimana kemarin acara di rumah Len, lancar aja kan? Kapan-kapan kita dikenalin dong sama duren yang beruntung dapetin kamu," goda Nina. Meski mereka jarang ketemu, tapi masih keep in touch lewat WAG. "Iya nanti pasti dikenalin," jawan Vanya. Charles mengamati Vanya dan teman-temannya dari parkiran mobil. Niatnya untuk turun dan menghampiri Vanya, sementara diurungkannya mengingat pesannya tadi pagi sampai sekarang belum dibalas, membuat Charles yakin bahwa Vanya sedang marah dengannya. Namun saat melihat seorang pria bergabung di meja Vanya, Charles tak tinggal diam. Ia segera turun dan menghampiri mereka. Vanya yang berada tepat di depan pintu masuk, kaget melihat Charles berjalan ke arahnya. "Siapa ya?" tanya Nina ramah. Charles melirik Vanya. "Eh, anu, ini kenalin Charles," ucap Vanya dengan senyum tertahan. "Oh, ini Charles," seru tiga teman Vanya bersamaan. Mereka kemudian saling berjabat tangan. "Akhirnya, aku ada temennya juga," ucap laki-laki tadi yang merupakan teman kuliah mereka sekaligus suami Nina. Charles duduk di samping Vanya. Vanya sudah takut dengan bergabungnya Charles di acara ini akan membuat suasana tidak enak, tapi nyatanya tidak. Charles dapat dengan mudah berbaur. Pria itu tampak ceria, jauh dari sikap yang ia tunjukkan pada Vanya. Begitu asyik hingga mereka tidak ingat waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Berpisah di parkiran, mau tak mau Vanya ikut mobil Charles. "Kenapa kamu gak langsung ke Bandung aja, malah ngikutin aku kesini?" tanya Vanya sambil memasang seatbeltnya. Charles memandang Vanya sejenak sebelum melajukan mobilnya. "Harusnya aku sudah di Bandung sekarang, kalau aja kamu langsung balas pesan aku tadi pagi." “Ngapain? Kamu juga gak ada bilang mengenai acara kemarin,” sahut Vanya judes. Sikap Charles yang sukar ditebak terkadang membuat gadis itu bingung harus bersikap bagaimana. Setibanya di depan rumah Vanya, Charles tidak langsung membiarkan gadis itu turun. Ia meraih tangan Vanya lalu menggenggamnya sejenak. “Masuklah,” ucap Charles melepaskan tangan Vanya. “Kamu hati-hati,” sahut Vanya seraya turun. Dari dalam mobil, Charles memandangi Vanya yang mulai menjauh dan hilang di balik pintu rumahnya. Ada rasa yang susah dijelaskan setiap kali dia tidak melihat Vanya.Setelah melalui perdebatan batin, Vanya mantap mengajukan surat resign nya. Beberapa temannya sangat menyayangkan keputusan resign Vanya, tapi tak sedikit yang ingin mengikuti jejak Vanya."Tapi nanti kalau sudah beneran resign, dana di tabungan jangan dipindah ya, kalau bisa sih ditambahin," ucap Bu Wiwi.Vanya hanya tersenyum.Beneran resign?Isi pesan Yuda. "Iya, Bang." Vanya langsung menghubungi Yuda. "Udah yakin?" tanya Yuda di seberang sana."Iya, Bang. Supaya fokus bisa urus Charlos. Kasihan dia, kalau Vanya kerja.""Kalau keputusan kamu seperti itu, Abang cuma bisa dukung aja. Semoga kedepannya kamu semakin bahagia dan ngasih Charlos, Rafa, dan Rafi teman main baru.""Apaan sih, Bang.""Kalian udah mau dua tahun lo," ucap Yuda. "Iya, iya, iya. Vanya tutup dulu ya. Dadah." Vanya mematikan sambungan teleponnya.***Vanya baru saja selesai membersihkan diri sepulang kerja. Ia menemui Erin juga Charles di ruang tengah.
Vanya menekan pesan suara yang dikirimkan Charles.Ayo pulang Aminya Charlos.Teman-temannya menoleh pada Vanya."Aku duluan pulang ya. Des, minta tolong matiin komputer aku ya," ucap Vanya. Ia mengambil handphonenya, cepat-cepat meninggalkan ruangan sebelum ditanya macam-macam sama mereka. Mereka pasti dengan jelas mendengar isi pesan suara yang dikirim Charles tadi. Menyebutkan nama Charlos. Karena ia sendiri pun baru tahu kalau Charlos memiliki rekening di bank tempatnya bekerja.“Siapa yang ngirim uang sebanyak itu ya? Cuma dua aja nih, kalau bukan Charles pasti Omanya nih” hatinya bertanya-tanya sepanjang jalan menuju mobil Charles.Begitu masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt ia langsung menanyakan perihal kiriman uang itu."1,5 M?" ulang Charles. Memastikan ia tidak salah dengar."Iya. Masuk di rekening tabungan Charlos," ucap Vanya."Kamukan sudah lihat saldo di rekening aku, belum nyampe
Vanya membawakan sekotak martabak ke rumah Mama sepulang kerja. Mama yang sedang santai menyiram tanaman di halaman, tersenyum senang saat melihat Vanya datang dan memeluknya."Baru pulang kerja?""Iya, Ma. Naik taksi online langsung ke sini." Vanya membawa masuk martabak yang dibelinya tadi."Mertua kamu apa kabar?" tanya Mama sembari duduk di ruang tamu."Baik, Ma." Vanya menatap Mama lekat, mengumpulkan keberanian untuk bertanya."Ma, rasanya gak kerja itu gimana sih? Seharian ngurus pekerjaan rumah," ujar Vanya. Tangannya mencomot, menikmati martabak yang dibawanya.Kening Mama berkerut."Tumben kamu nanya kaya gitu? Ada masalah di kerjaan atau masalah di rumah?" selidik Mama. Pertanyaan Vanya bertolak belakang dengan mantapnya hati Vanya yang akan tetap bekerja meskipun telah berkeluarga."Masalah sih gak ada, Ma. Cuma--" Vanya terdiam sejenak, memikirkan bagaimana reaksi Mama bila mendengar omongan Vanya. Kedua bola mata Mama menatap anak bungsu
Kalau saja bisa menolak, Vanya sudah menolak permintaan Bu Wiwi yang memintanya dan Desi untuk ke ikut dengan Pak Tri dan tim untuk follow up perjanjian kerjasama ke Pelayanan Pajak. Kantor siapa, kalau bukan kantornya Wisnu. Mau minta izin sama Charles untuk kesana kan gak mungkin, ini urusan pekerjaannya.Dengan diantar mobil kantor, mereka sampai di kantor itu. Bukan menuju aula, tapi menuju ruangan kepala kantor yang didalamnya telah lengkap dengan kepala bendahara dan juga Wisnu. Ia duduk agak jauh dari mereka. Berharap Wisnu tak menghampirinya.Kamu dimana? Makan siang aku jemput ya.Isi pesan Charles yang dibaca Vanya."Udah belum sih, Des?" bisik Vanya."Bentar, lagi tanda tangan tuh kayaknya," jawab Desi.Setelah selesai penandatangan kerjasama kedua belah pihak, mereka berfoto bersama untuk dokumentasi."Jadi nanti, kita bakal sering ketemu dong?" ucap Wisnu."Bisa iya bisa enggak, Bang. Kan bukan cuma Vanya staff di bagian ini. Mu
Sandra akhirnya resmi resign dari kantornya. Setelah menerima amplop gaji, ia langsung menyerahkan surat pengunduran dirinya. Saat ditanya HRD, alasan resignnya, ingin rasanya ia menjawab bahwa ia malas kerja dibawah pimpinan yang killer macam bosnya itu. Tapi demi menjaga silaturahmi, ia tak melakukan hal itu. Ia hanya menjawab ingin fokus pada keluarga."Onty Sandra datang," pekiknya sumringah."Cepet banget kamu pulang, baru juga jam berapa ini," ucap Erin.Sembari duduk di sofa dan melepas blazernya, Sandra meletakkan amplop putih di meja kerja Frans."Kan Sandra udah resign." Keluar dari tempat kerja itu membuat beban Sandra lepas. Kemarin-kemarin rasanya untuk berangkat kerja sangat berat buat Sandra, memikirkan bakal ketemu bos killer di kantor, terus ketemu satu karyawan nyebelin itu, membuatnya pusing. Tapi setelah resign dari tempat itu, rasanya plong, gak ada beban apapun."Gaji kamu?" tanya Erin yang dibalas dengan anggukan kepala Sandra."Simpan
Mobil kantor berhenti di depan salah satu deretan ruko tingkat dua. Bu Wiwi mengajak Vanya masuk ke dalam salah satu ruko yang bernuansa putih dengan banyak hiasan gula-gula dan kue yang menggantung di atasnya."Bikin ngiler ya, Bu," ucap Vanya saat melihat deretan kue yang terpajang di etalase."Iya. Kamu harus coba nanti kuenya," sahut Bu Wiwi.Mereka disambut oleh seorang wanita paruh baya seumuran Bu Wiwi dan di persilahkan duduk."Biasanya sama Desi atau gak Winda, Bu? Ucapnya saat Vanya dan Bu Wiwi duduk."Mereka lagi ke tempat nasabah yang lain, Bu. Biasa bagi tugas," jawab Bu Wiwi.Tak berapa lama, seseorang mengantarkan beberapa potong kue dan minuman kemudian menyajikannya di meja."Silahkan sambil di makan," ucap nasabah itu ramah."Enak, Bu," jawab Vanya saat ditanya soal rasa kue yang baru saja dimakannya.Vanya kemudian mengeluarkan beberapa berkas untuk perpanjangan deposito nasabah Bu Wi