Dengan wajah kusut, Sandra masuk ke ruangan Frans. Pusing rasanya memikirkan tempat untuk praktek kerja lapangan. Pasalnya semester ini ia harus PKL di perusahaan selama dua bulan. Sebenarnya dia bisa saja PKL di kantor Frans, tapi menurutnya akan beda rasanya bila bekerja di perusahaan orang.
“Apa Sandra praktek kerja di tempat Kak Vanya aja ya, Ma? Siapa tahu nanti bisa kerja di sana,” ucap Sandra yang di iyakan oleh Frans. "Ma, nanti suruh Kak Vanya ke rumah ya,” pinta Sandra. "Iya, ini Mama coba telepon,” kata Erin mengambil handphone dan menghubungi Vanya. *** Jam setengah enam sore, Vanya sampai di rumah Charles, tepat saat Erin sedang menyuapi Charlo makan. "Masuk sini, Van," sapa Erin saat melihat Vanya membuka pagar. Ia kemudian berteriak kecil memanggil Sandra. "Hai Kak Vanya," sapa Sandra sambil melepas earphone dari kupingnya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan mengobrol di ruang tamu. "Kayaknya bisa aja kalau kamu mau PKL di tempat Kakak, nanti Kak Vanya bantu ajuin suratnya,” ucap Vanya. "Yang bener, Kak?" Vanya mengangguk. “Suratnya sudah ada sih, Kak. Besok Sandra antar ke kantor ya,” kata Sandra. "Oke, nanti chat atau telepon aja Kakak," ucap Vanya sembari tersenyum manis. Erin kemudian masuk sambil menggendong Charlos, diikuti Charles yang membawa masuk kursi tinggi bayi. "Gimana sudah fix di tempah Vanya?" tanya Erin sambil mendudukkan Charlos di sampingnya. "Iya nanti dibantuin sama Kak Vanya, Ma." Sandra kemudian asyik dengan handphone saat Erin dan Vanya mulai mengobrol. "Aduh, Sena malah di kantor pajak, jadi pengen ikut juga," sergah Sandra. Sebenarnya bukan Sena, tapi perkataan Sena yang bilang kalau Brian gebetan Sandra juga mengajukan praktek kerja di kantor pajak. "Gimana sih kamu, kan sudah fix di tempat Kak Vanya?" tanya Erin. "Iya tapi kan di sana," ucap Sandra sambil memelankan nada suaranya. Wajahnya sedikit murung. "Gak apa-apa, Tante. Kalau Sandra mau nyoba di kantor pajak, nanti Vanya bantuin. Kebetulan Vanya punya teman di sana. Namanya Tristan." "Gak usah! Sandra di tempat kamu aja." Charles tiba-tiba datang. Dia sebenarnya sudah mau pamit keluar lagi, tapi saat melintas di ruang tamu dan mendengar Vanya menyebut nama Tristan, spontan langkahnya terhenti. "Ih, kenapa yang nentuin? Kak Vanya mau bantuin kok.” "Ngapain juga kamu harus PKL di tempat lain, kalau kamu sudah pasti bisa PKL di tempat dia?" Charles melirik ke arah Vanya. Sandra terdiam. Tidak ada gunanya juga berdebat dengan Charles sekarang. "Ma, aku jalan dulu ya," pamitnya sambil mencium pipi Erin dan Charlos bergantian. Kemudian melayangkan tatapan tajam pada Vanya. "Ngeselin banget, Bang Charles." Sandra melengos kesal. Karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Vanya pamit pulang. *** Barusan Vanya menghubungi Tristan menanyakan perihal surat pengajuan praktek kerja Sandra. Harapannya sih pesannya dibalas, tapi nyatanya Tristan malah menelpon. Lama Vanya membiarkan handphonenya bergetar, sampai akhirnya panggilan itu berakhir sendiri. "Kenapa gak balas lewat chat aja sih," rutuk Vanya saat handphonenya bergetar lagi. "Halo, Vanya sibuk ya?" tanya Tristan begitu panggilannya telah tersambung. "Lagi di belakang tadi, Bang," jawabnya bohong. "Gimana, Bang Tristan bisa bantuin kan?" "Bisa aja, Dek. Kebetulan di kantor lagi banyak kerjaan, mahasiswa kayak mereka biasanya langsung diterima," ucap Tristan. "Makasih sudah dibantuin, ya Bang. Vanya tutup dulu ya telponnya, dipanggil sama Mama soalnya." Tanpa basa basi Vanya mematikan telponnya. Sebuah pesan masuk. Charles Kamu online sama siapa? "Ealah, baru juga di baca, udah nelpon aja nih orang," gumamnya sebelum mengangkat telepon Charles. Ternyata pria itu menanyakan mengenai tempat praktek kerja Sandra. “Kan kemarin aku sudah bilang, kalau dia praktek kerja di tempat kamu aja, kenapa jadi ke tempat lain?" tanya Charles dengan nada keras. "Apa masalahnya sih? Dimanapun Sandra praktek kerja, kan gak ganggu kamu? Lagian aku siapa, ngelarang-larang Sandra?” Vanya tak kalah sewot. Charles terdiam kemudian mematikan telponnya. Vanya memandang bingung pada handphonenya. Dia bersandar pada tempat tidur dan membuka foto profil Charles di aplikasi w******p. “Apa benar yang aku lakukan ini, menerima tawaran Tante Erin buat jadi ibu sambung Charlos,” batinnya. "Apa aku siap menghadapi sikap Charles yang seperti ini bila nanti kami menikah? Apa aku siap bila nanti bisa saja dia malah mengacuhkanku karena menganggap aku cuma sebagai pengasuh anaknya? Apa aku siap dengan segala resiko itu?” Ucapnya menarik selimut dan menutupi dirinya.Hari keempat dengan kondisi yang masih sama, tangan yang belum bebas untuk digerakkan. Ia kembali duduk di ruang tengah setelah kepulangan Mama yang untuk kali kedua menjenguknya. Rasanya ingin ikut pulang saja dengan Mama, tak rela berpisah."Ami, bil ini bilnya," ucap Charlos sambil membawa mobil-mobilan dan ingin duduk dipangkuan Vanya."Maaf ya anak Ami sayang, Ami belum bisa gendong-gendong Charlos dulu. Kita main di bawah aja ya," ujar Vanya sambil beralih duduk dari atas kursi menjadi duduk di lantai bersama Charlos.Baru beberapa saat menemani Charlos bermain, handphone yang diletakkannya di atas meja berbunyi."Iya, Bang," sahut Vanya. "Kamu kenapa gak ngasih tahu Abang kalau lagi sakit?”"Vanya gak apa-apa, Bang.""Gapapa gimana, kalau tangan sampai di gips," ucap Yuda dibalik telepon dengan sedikit amarah."Kamu di KDRT sama Charles?" tanya Yuda lagi."Ih Abang mulutnya sembarangan deh. Vanya itu jatuh."Yuda menghela nafas sembari mendoakan agar adiknya itu cepat sembuh.
Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.Di kantor Vanya.Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos."Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah."Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi.Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni
"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu."Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri."Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi."Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet.Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya.Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan di
Ia tak bicara sama sekali saat Charles mengantarnya kerja. Memandangnya saja pun tidak. Rasa kesal dan sakit di hatinya teramat menumpuk. Ia turun dari mobil dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Charles hanya bisa menghela nafas melihat hal itu. Selesai morning briefing, Vanya dan yang lain kembali ke unit masing-masing. Ia duduk di kursinya dan mengambil handphonenya.'Pesan apa ini' tanyanya dalam hati melihat pesan yang dikirimkan Charles kemarin malam.'Besok, upacara kenaikan pangkat' gumamnya. Matanya membaca dengan teliti, mencari nama Charles diantara sekian nama yang ada di sana. Ia berdecak kagum melihat pangkat dan jabatan baru yang akan diemban Charles sekarang. Masih muda dan sangat berprestasi di pekerjaannya. ***Sebelum pulang, Vanya menemui Priska untuk minta izin masuk kerja agak siangan."Kenapa gak sekalian satu hari aja izinnya?""Gapapa, Mbak?” Vanya tak enak.“Gapapa, santai aja.”Di pos satpam, tampak Charles telah m
Sebelum akhir pekan benar-benar berakhir, hari Minggu ini Charles mengajak jalan-jalan keluarganya. Mereka telah siap di dalam mobil, hanya tinggal menunggu Charles yang katanya sakit perut."Vanya lihat dulu ke dalam ya Ma," ucap Vanya tak telah melihat yang lain telah menunggu. Vanya keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar. Berkali-kali diketuk tak ada sahutan dari dalam. Vanya memberanikan diri membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak di kunci."Loh, kosong? Dia dimana?" Vanya bingung mendapati kamar mandi yang kosong. Ia keluar kamar dan melihat Charles berjalan dari arah dapur."Kamu ngapain dari kamar?""Kamu yang ngapain dari dapur?" tanya Vanya sambil menutup pintu kamar."Dari kamar mandi belakang, sakit perut.""Kirain kamu di kamar. Ayo cepet, sudah ditunggu," ajak Vanya.Alhasil jam setengah sembilan pagi mereka baru mulai jalan. Berharap jalanan menuju kesana tidak macet dan antrian masuk ke Kebun Ray
Vanya mengirim screenshot percakapan grup kepada Charles. Percakapan grup istri-istri polisi yang tengah berencana untuk membentuk arisan di luar arisan yang setiap bulan rutin dilakukan, meskipun Vanya belum pernah sekalipun bergabung.Ikut aja, nanti tiap bulan aku yang transfer uang arisannya."Baik bener suami," bisiknya sambil membalas pesan Charles.Uang arisan sebanyak lima ratus ribu itu lumayan untuk Vanya, walau gajinya masih bisa menutupi tapi rasanya sedikit berat. Tapi kalau Charles sudah bilang bahwa dia yang akan membayarkannya, dengan senang hati diterimanya. Selama ini untuk masalah gaji Charles, Vanya tidak pernah mencampurinya. Ia juga tidak pernah meminta jatah pada Charles karena merasa gajinya lebih dari cukup. Sebagian gaji yang diterimanya, Vanya beri untuk Mama karena ia tahu, gaji pensiunan almarhum ayahnya hanya cukup untuk keperluan setiap bulan saja. Dan itu sudah jadi komitmennya dengan Yuda juga.***Sebelum pulang ke rum