Pagi ini Vanya dan Charles dengan membawa Charlos, mereka pergi nyekar ke makam Kirana. Ini adalah kali pertama bagi Charlos pergi bersama Vanya dan papanya, dan juga kali pertama buat Charlos ke makam ibunya. Dengan mengenakan kaos biru dan celana jeans hitam, Charlos tampak serasi dengan Vanya dan juga Charles yang sama-sama mengenakan baju berwarna biru. Walau ini hanya kebetulan.
"Ayuk kita turun. Charlos Tante gendong ya." Vanya keluar dari mobil yang pintunya telah di bukakan oleh Charles terlebih dulu. Cuaca sangat cerah saat ini. Sinar matahari mengintip dari balik daun-daun di pohon yang berbaris di sepanjang jalan makam. Charles langsung meletakkan seikat bunga di atas makam Kirana. Seperti biasa, ia berjongkok dan mengelus-elus nisan Kirana. "Charlos, ini makam ibunya Charlos ya. Sekarang ibunya Charlos sudah ada di surga. Walau Charlos gak pernah ketemu, tapi ibunya Charlos itu sayang banget sama Charlos." Vanya setengah berbisik di telinga Charlos. Vanya kemudian menurunkan Charlos dari gendongannya dan ikut berjongkok di samping Charles. "Ran, ini Charlos anak kita. Sekarang dia sudah besar. Kamu tenang di sana ya. Kamu gak perlu takut, Charlos akan berlimpah kasih sayang sampai kapan pun," ucap Charles. Vanya terdiam, hatinya seolah tersayat mendengar ucapan Charles. Ia dapat merasakan ada kesedihan dari ucapan Charles tadi. "Dan kamu harus tahu, kamu akan tetap ada di hati ku, meskipun nanti akan ada orang lain." Charles melirik ke arah Vanya yang tengah menyeka air mata. "Kirana, maaf aku masuk ke keluarga kecil kamu. Tapi kamu tenang lah di sana, aku tahu posisiku di mana. Aku tak berharap banyak dengan hubungan yang aku jalani sekarang ini. Namun, yang pasti aku akan menjaga dan menyayangi Charlos, anak kalian seperti anakku sendiri." Vanya kembali menyeka air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Sakit rasanya saat Charles mengucapkan hal itu, seolah Vanya tak punya tempat sedikitpun di hatinya. Ia bangkit berdiri dan kembali menggendong Charlos. Ia menarik nafas panjang kemudian tersenyum pada Charlos. "Dadah, Charlos pulang dulu ya." Vanya menggerakkan tangan Charlos menirukan gerakan melambai, kemudian berjalan duluan meninggalkan Charles. *** Setelah mengambil undangan di percetakan, Mereka menuju rumah ibunya Kirana. Sepanjang perjalanan Vanya tak sedikit pun bicara dengan Charles, ia hanya fokus dengan Charlos yang asyik berceloteh sambil menunjuk ke arah luar mobil melalui jendela. “Semoga cuma sebentar, be nice please” guman Vanya dalam hati. Vanya berusaha mengatur perasaannya dan tersenyum saat pintu rumah dibuka oleh ibunya Kirana. Saat mereka sudah berada di ruang tamu, ibunya Kirana mencoba untuk memangku Charlos. Untung saja Charlos langsung mau. "Sendiri aja di rumah, Ma?" Tanya Charles. "Iya. Kalian dari mana?" "Kita baru aja dari makam Kirana," ucap Charles. Ibunya Kirana memandang Charles dan Vanya bergantian. "Jadi?" tanya ibunya Kirana menyelidik. Sudah pasti ada yang ingin disampaikan oleh Charles, apalagi ia datang tidak sendiri. "Saya mau minta restu, Mama." Charles mengeluarkan undangan dari tas Vanya dan meletakkannya di meja ruang tamu. Jantung Vanya sedikit berdetak lebih cepat saat ibunya Kirana memandangnya dari atas sampai bawah. Matanya memindai setiap inci tubuh Vanya, kemudian ia menghela nafas. "Apalah arti restu dari Mama ini? Yang terpenting cucu Mama ini tidak kekurangan kasih sayang. Mama yakin, pilihan kamu yang terbaik dan kamu harus pastikan dia ..." lirik ibunya Kirana pada Vanya "akan memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup untuk Charlos." "Itu pasti, Ma." Charles tersenyum simpul. Baru setengah jam berada di sana, Charlos sudah mulai rewel. Ia merengek dan hendak turun dari pangkuan ibunya Kirana. Sesekali ia menarik daun telinga. "Charlos sudah ngantuk ini sepertinya," ucap Ibunya Kirana sambil menyodorkan Charlos kepada Vanya yang duduk di sampingnya. Dengan sigap Vanya menyambut Charlos dan memeluknya, ia mengelus-ngelus rambut Charlos mencoba menenangkan Charlos yang sudah mulai menangis. "Kita pamit pulang dulu ya, Ma." "Iya. Kasian Charlos sudah ngantuk. Kalian hati-hati di jalan ya," pesan ibunya Kirana sambil berjalan menuju teras, mengantarkan mereka pulang. "Terimakasih ya, Tante," ucap Vanya sambil tersenyum. "Iya," sahut ibunya Kirana sambil mengangguk dan mengelus-elus pundak Kirana. Sepanjang perjalanan pulang, suasana hening karena Charlos telah tertidur sejak masuk mobil, ditambah lagi ucapan Charles saat berada di makam tadi masih membekas di hatinya. Sesampainya di rumah, dengan perlahan Vanya keluar dari mobil kemudian meletakkan Charlos di sofa ruang tamu. "Tante, Charlosnya dipindahin kemana?" tanya Vanya saat melihat Erin datang mendekat. Vanya baru saja melepaskan sepatu dari kaki Charlos. "Sini, biar Tante bawa ke kamar Charles saja." Erin menggendong Charlos. Charles masuk dan duduk di ruang tamu. Ia menyisihkan sebagian undangan untuk Vanya. "Ayo kita makan dulu. Tante sudah masak," ajak Erin. Vanya mengambil undangan dari meja dan memegangnya. Ia bangkit berdiri dan menghampiri Erin. "Maaf ya, Tante. Vanya langsung pulang aja." "Loh, kenapa?" tanya Erin bingung. Ia merangkul pundak Vanya. Erin melirik Charles yang sibuk dengan handphonenya. "Charles, antar Vanya pulang," perintah Erin. "Gak usah, Tante. Tadi Vanya sudah pesan taksi online," jawabnya cepat. "Batalin aja!" seru Charles. "Sudah sampai didepan," sahut Vanya sambil pamit mencium tangan Erin. Ia berlalu tanpa menghiraukan Charles yang menatapnya tajam. Erin dapat melihat terjadi sesuatu antara Charles dan Vanya. Ia menggelengkan kepala menatap Charles, dan berlalu pergi menuju dapur. “Dia pikir dia siapa? Seenaknya saja” batin Vanya saat taksi online mulai berjalan meninggalkan rumah Charles menuju cafe. "Makasih, Pak." Vanya keluar dari mobil dan masuk ke cafe. Siang ini book cafe tampak lengang. Setelah memesan sepiring mie goreng dan segelas jus alpukat, ia kemudian berjalan menuju rak buku. Mencari buku psikologi yang membahas tata cara mengelola emosi. Setelah menghabiskan sepiring mie gorengnya, Vanya mulai tenggelam membaca buku itu. Di rumah Vanya. Charles baru saja tiba saat jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Mama yang sedang menyiram bunga di halaman, sedikit kaget karena Charles datang sendiri. "Loh, Vanyanya mana? Bukannya kalian tadi pergi bareng sama Charlos juga?" tanya Mama sambil meletakkan alat penyiram bunganya dan mempersilahkan Charles duduk di kursi tamu yang ada di teras rumah. "Katanya tadi ada urusan, Tante. Jadi dia duluan. Saya pikir dia sudah pulang." "Ih, coba Tante telpon dulu ya." Mama kemudian meraih handphonenya yang ada di meja. Tak ada jawaban dari Vanya, padahal nadanya tersambung. "Gak di angkat sama Vanya." "Gak papa, Tante. Saya tunggu di sini aja. Mungkin sebentar lagi pulang," jawab Charles sambil tersenyum. Mama kemudian masuk dan keluar dengan membawa beberapa minuman kemasan. "Hari pernikahan kalian kan sudah dekat. Tante mau tanya," ucap Mama serius. "Kamu menikahi Vanya, anak Tante. Apakah karena keinginan kamu atau semata-mata hanya ingin memenuhi keinginan orang tua kamu?" "Pernikahan ini atas keinginan saya sendiri, Tante. Mama hanya sebagai pembuka jalan, supaya saya bisa mengenal Vanya." "Syukurlah karena ini keinginan kamu. Tante tahu perasaan kamu belum sepenuhnya untuk anak Tante, tapi Tante harap kamu bisa bertanggung jawab dan tidak menyakiti hati Vanya." Charles terdiam. "Sebelumnya Tante juga sudah beberapa kali memastikan keputusan Vanya ini. Tante gak mau dia sampai menyesal di kemudian hari, karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi dia terus meyakinkan Tante bahwa semua ini memang pilihannya. Jadi sekali lagi Tante harap, Tante bisa pegang omongan kamu yang gak akan nyakitin Vanya," ucap Mama. "Iya, Tante. Saya juga minta maaf, kalau saya mungkin bukan menantu yang Tante harapkan. Dengan status dan anak bawaan saya, pasti sedikit banyak jadi omongan di keluarga besar Vanya." "Asalkan kamu bisa bertanggung jawab dan tidak menyakiti hati anak Tante, itu sudah cukup." Mama kembali mengulangi permintaannya pada Charles. Kali ini mama mengucapkannya dengan tegas dan sorot mata tajam. Semakin mendekati hari pernikahan Vanya, ada rasa takut dan rasa sedikit tidak terima di hati Mama, bahwa Vanya, anak bungsu sekaligus anak perempuannya akan menikah. Itu artinya Vanya akan meninggalkan rumah dan ikut dengan suaminya. Ditambah lagi tugas Vanya yang berat. "Tante jangan khawatir, meski saya belum sepenuhnya memiliki rasa dengan Vanya, tapi saya tidak mungkin akan menyakiti hati orang yang dengan tulus sayang dengan anak saya." Sangat luar biasa ucapan Charles. Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan rumah. Tak berapa lama Vanya turun dan langsung masuk ke rumah tanpa menoleh ke arah Mama dan Charles. "Kalian baik-baik aja?" tanya Mama pada Charles. "Kayaknya baik-baik aja, Tante," jawab Charles. "Kayaknya baik-baik aja gimana? Itu Vanya langsung masuk ke rumah. Baru aja kamu janji gak bakal nyakitin hati anak Tante!" seru Mama sambil menyusul Vanya ke kamar. Tampak Vanya tengah membersihkan riasan wajahnya dengan kapas. "Kalian lagi ada masalah?" tanya Mama. Vanya menengok dengan tangan yang masih sibuk mengusap-usap pipi dan dahinya. "Masalah yang gak ada artinya, Ma," sahut Vanya. "Awas aja dia macam-macam sama kamu. Bisa Mama batalkan pernikahan ini!" "Tenang, Ma," ucap Vanya sambil mengusap pundak Mama. Sementara Vanya membersihkan diri dan mandi, Mama kembali menemui Charles dengan ekspresi wajah yang sedikit sangar. Mama diam dan menatap Charles dengan tajam. “Aduh,” gumam Charles dalam hati gusar. Tak bisa dipungkiri, ia sedikit takut. Lebih baik menghadapi maling daripada melihat tatapan sadis calon mertuanya itu. Vanya datang dan berdiri di samping Mama. Ia mengenakan baju tidur dengan rambut di kuncir satu, membentuk cepol berantakan. Mama beranjak dari tempat duduk dan membiarkan Vanya bicara berdua dengan Charles. "Kamu ngapain kesini?" tanya Vanya santai sambil menusukkan sedotan ke minuman kemasan yang ada di meja. Rasa kesal dan sedikit sakit hati akibat ucapan Charles tadi sudah hilang saat ia selesai membaca buku psikologi di cafe tadi. Alih- alih membiarkan hatinya terluka dengan harapan yang besar akan hubungannya dengan Charles, ia lebih baik berusaha menerima kenyataan, bahwa Charles memang belum bisa membuka hati. "Gak papa. Mastiin aja kamu kemana setelah pulang dari rumah tadi." "Aku ke cafe, makan siang sendirian. Kamu ... tenang aja, sekarang aku tahu posisiku dimana. Jadi kamu gak perlu khawatir. Kamu bebas dengan hati dan kenangan kamu, aku tidak akan mengganggu," ucap Vanya dengan senyum tersungging di bibirnya. Kembali Charles terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ucapan Vanya membuat sedikit goncangan di hatinya. "Ma, Charles mau pamit pulang," ucap Vanya sambil memandang Charles dengan senyum penuh arti. Secara halus Vanya mengusirnya "Saya pamit dulu, Tante." Charles berdiri saat Mama datang lantas pamit. Di dalam perjalanan pulangnya menuju rumah, tak karuan hati Charles. Otaknya memutar-mutar ingatan saat Vanya menyeka air mata dan seulas senyum sesaat sebelum ia pulang tadi. "Ya ampun, apa ini? Kenapa aku jadi merasa bersalah kaya gini." Charles menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Ia mengacak-acak rambutnya kemudian memacu laju mobilnya.Pagi ini Vanya dan Charles dengan membawa Charlos, mereka pergi nyekar ke makam Kirana. Ini adalah kali pertama bagi Charlos pergi bersama Vanya dan papanya, dan juga kali pertama buat Charlos ke makam ibunya. Dengan mengenakan kaos biru dan celana jeans hitam, Charlos tampak serasi dengan Vanya dan juga Charles yang sama-sama mengenakan baju berwarna biru. Walau ini hanya kebetulan. "Ayuk kita turun. Charlos Tante gendong ya." Vanya keluar dari mobil yang pintunya telah di bukakan oleh Charles terlebih dulu. Cuaca sangat cerah saat ini. Sinar matahari mengintip dari balik daun-daun di pohon yang berbaris di sepanjang jalan makam. Charles langsung meletakkan seikat bunga di atas makam Kirana. Seperti biasa, ia berjongkok dan mengelus-elus nisan Kirana. "Charlos, ini makam ibunya Charlos ya. Sekarang ibunya Charlos sudah ada di surga. Walau Charlos gak pernah ketemu, tapi ibunya Charlos itu sayang banget sama Charlos." Vanya setengah berbisik di telinga Charlos. Vanya kemudian me
Sabtu yang bertepatan dengan akhir bulan, seperti biasa, Vanya pasti lembur di kantor. Sebenarnya, kalau pagi ini Vanya gak ada kegiatan di kantor, Charles ingin mengajaknya mencarinya cincin pernikahan. Selesai membalas pesan dari Charles, Vanya kemudian asyik dengan komputer, tangannya lincah memainkan mouse berwarna hitam, mencari lalu membaca beberapa artikel parenting sebagai tambahan ilmu untuk diterapkannya saat mengasuh Charlos nanti. Walau pasti nantinya, Erin akan tetap lebih dominan dalam mengasuh Charlos. Tapi paling sedikit banyak ia sudah memiliki ilmu parenting. "Mbak, ini ada yang nungguin di pos satpam. Tinggi gagah, Mbak," ucap pak satpam saat Vanya mengangkat gagang telepon. "Siapa ya? Wisnu?" Gumam Vanya. Di ujung telpon terdengar pak satpam menanyakan pada orang tersebut. Sayup-sayup Vanya mendengar orang tersebut menyebutkan namanya dengan nada sedikit keras. Buru-buru Vanya menutup telpon, mematikan komputernya, dan pamit pulang duluan dengan Pak Irwan. "A
Di kantor, Vanya baru saja selesai menghadap pimpinan kantor cabangnya, perihal pengajuan cuti nikahnya. Begitu ia membuka pintu, di depan sudah berdiri Bu Nita."Eh, Pagi Bu," sapa Vanya."Pagi," sahut Bu Nita sambil melirik kertas yang dipegang Vanya di tangan kirinya. "Mau cuti ya.""Iya, Bu," jawab Vanya lagi dengan senyum ditahan lantas berlalu dari hadapan Bu Nita dan menuju ruangan Weni untuk memberikan pengajuan cutinya yang sudah disetujui oleh atasan."Semoga lancar sampai hari H ya," ucap Weni sambil menerima kertas dari Vanya."Amin. Makasih ya, Wen. Aku ke atas dulu ya." Vanya beranjak dari ruangan Weni dan menuju lantai tiga.***Di ruang prioritas, Erin dan Frans datang dan dilayani oleh Reni. Tampak wajah Erin menunjukkan ketidaksukaan pada Reni mengingat cerita yang didengarnya dari Vanya tempo lalu."Diminum, Om, Tante," ucap Reni saat seorang laki-laki berseragam biru meletakkan dua cangkir teh."Iya. Makasih," jawab Erin datar.
Mama masuk ke kamar Vanya dan melihat anak gadisnya itu meringkuk di dalam selimut. Ia lantas berjalan mendekat dan mengecek keadaan Vanya karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi."Kamu demam, Sayang?" Mama meletakkan telapak tangannya di kening Vanya.Vanya mengangguk pelan sambil memijat pelan keningnya.Satu jam kemudian Mama kembali mengecek keadaan Vanya, tapi masih sama. Anak gadisnya itu masih demam. Membiarkan pintu kamar Vanya tetap terbuka, ia kemudian membawa semangkuk bubur. Meraih handphonenya, Mama menghubungi Erin untuk memberitahu bahwa Vanya sedang sakit. Tak tinggal diam, begitu selesai menerima telepon, Erin mengajak Sandra juga Charlos menuju rumah Vanya. "Habiskan buburnya dong, Van!" seru Mama saat melihat semangkuk bubur yang dibawanya tadi masih bersisa setengah."Pahit, Ma. Gak enak.""Biasanya kalau Mama masak bubur, kamu pasti minta tambah." Mama menyuapkan bubur itu dengan paksa. "Sudah mau berumah tangga, mau ngurus anak juga, makan aja masih
Hari ini Vanya mengajukan ijin satu hari untuk mengurus syarat-syarat dan kelengkapan berkas pernikahannya. Setelah mendapatkan surat kesehatan, mereka lanjut ke studio foto. Iseng sang fotografer menanyakan soal foto prewedding yang ditanggapi dingin oleh Charles. Melihat sikap Charles, gadis itu hanya bisa menghela nafas pelan, walau sebenarnya ia sangat ingin memiliki foto prewedding seperti orang kebanyakan. Namun keinginannya itu ia simpan sendiri saja karena tidak ingin menimbulkan harapan palsu.Akhirnya semua berkas-berkas yang diperlukan untuk dokumen kantor Charles sudah selesai."Mama, ke belakang sebentar ya," pamit Mama meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Rasa ingin tahu membawa Vanya melihat beberapa video nikah kantor di dunia maya."Emang kaya gini ya?" Vanya menunjukkan layar handphonenya pada Charles."Kurang lebih kaya gitu."Vanya kemudian terlihat serius menonton video itu sampai selesai. Ia mulai mempersiapkan jawaban yang mungkin akan ditanyakan nanti."Ka
Vanya akhirnya berkata jujur saat Reni terus bertanya mengenai hubungan dengan Charles. Tidak mungkin ia terus menutupi hal ini karena lambat laun Reni juga pasti tahu. Raut wajahnya langsung berubah mendengar jawab Vanya. Sepanjang penerbangan mereka juga tidak saling bicara hingga tiba di hotel tempat mereka menginap. Entah siapa yang sudah mengatur, Vanya malah satu kamar dengan Reni. Meletakkan kopernya di dekat kasur, Vanya lantas masuk ke dalam kamar mandi setelah Reni keluar.“Aku mau keluar, kamu mau nitip makan?” tanya Reni pada Vanya yang masih berada di kamar mandi."Nggak, Ren," jawab Vanya keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan wajahnya.Vanya kemudian mengecek handphonenya yang sedari tadi masih dalam mode pesawat. Terlihat di layar handphonenya banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Charles. Gadis itu hanya bisa menghela nafas membaca satu per satu pesan yang Charles kirimkan. "Ya ampun!" seru Charles di ujung telepon begitu ia berhasil menghubungi Vanya. "