Share

Mantan Ipar Yang Licik

“Ada apa?” tanya Mutia lagi.

Setelah puas tertawa akhirnya menjawab, “Bagaimana kabar mu? Aku berharap kamu pergi untuk selamanya.” kata Fatma mantan kakak Ipar Mutia.

“Iya, aku akan pergi untuk selamanya. Nikmatilah rumah milik adikmu itu, aku tidak berniat mengambilnya.” jawab Mutia. Lalu memutuskan sambungan telfonnya, Mutia akan membuang nomor lamanya dan menggantinya dengan yang baru.

Flashback

    Sejak awal pernikahan Mutia dan Arman, Fatma selalu memanfaatkan Arman. Bagaimana tidak hampir setiap bulan, Mantan mertua dan Ipar Mutia itu minta jatah bulanan dari Arman. Gaji Arman yang hanya 3 juta itu habis untuk kebutuhan saja. 1 juta untuk jatah Bulanan Bu Siti mertua Mutia, 500ribu untuk Fatma kakak Arman. Tinggal 1,5 juta untuk kebutuhan rumah bayar listrik, air, telfon dan kebutuhan dapur juga. Setiap bulan minus terus tidak pernah tidak minus.

Suatu hari Mutia berbicara pada Arman, “Mas, bisa nggak jika jatah Ibu dan kak Fatma dikurangi, setiap bulan pengeluaran kita banyak, uang 1,5 juta itu tidak cukup untuk sebulan mas.” kata Mutia.

“Tidak bisa dek, itu udah jatah Ibu dan kak Fatma sejak dulu sebelum aku menikah memang segitu.” jawab Arman.

“Mas, itu kan dulu sebelum mas menikah. Sekarang Mas sudah menikah, mas harus pentingkan kepentingan rumah tangga kita mas. Aku tidak sanggup jika harus berhutang terus.” kata Mutia.

   Arman hanya diam saja, tidak menjawab perkataan istrinya.

    Selang sehari setelah kejadian itu Fatma main kerumah Arman. Fatma tidak terlalu akrab dengan Mutia jadi dia hanya ngobrol berdua dengan Arman. Saat itu Mutia ke warung membeli gula, pulang-pulang Mutia mendengar obrolan Fatma dan Arman.

“Istri kamu itu suruh kerja saja, daripada dirumah duduk manis bisanya ngabisin duit.” Kata Fatma pada Arman.

“Tapi mbak dia tidak punya pengalaman kerja apa-apa.” kata Arman.

“Jadi buruh cuci atau pembantu disekitar sini kan bisa. Katanya lulusan SMA masak nggak bisa cari kerja. Aku sama Ibu nggak mau kalau uang jatah bulanan kita dipotong.” kata Fatma marah.

“Nanti aku suruh Mutia kerja kak.” kata Arman.

“Kalau dia sudah kerja, nggak usah kamu kasih uang belanja lagi. Dia kan udah punya uang sendiri nantinya.” kata Fatma.

   Mutia akhirnya masuk melalui pintu dapur, dia tidak ingin mendengar lebih jauh obrolan mereka.

Selang beberapa menit, Arman kedapur.” Kak Fatma kesini kok kamu nggak bikin minum?” tanya Arman. “Dia keburu pergi.” tambah Arman.

“Maaf mas tadi aku terlalu lama di warung.” kata Mutia berbohong.

“Kamu itu ke warung beli gula apa pergi ngegosip? Mulai sekarang kamu cari kerja saja.” kata Arman.

“Iya mas, nanti Mutia cari kerja.” jawab Mutia tertunduk.

    Mulai saat itu Mutia kerja jadi asisten rumah tangga ditempat Pak lurah, dia berangkat kerja jam 8 pulang jam 4 sore. Sejak saat Mutia mulai bekerja dia tidak pernah diberi uang Arman sepersen pun.

“Mas, boleh aku pinjam uang untuk beli beras?” tanya Mutia.

“Emangnya uang kamu kemana, kamu kan kerja ya beli beras pakai uang kamu.” jawab Arman.

“Mas, beras itu kan untuk makan mas juga. Kalau mas tidak memberi aku uang buat beli beras ya sudah kita tidak usah makan saja.” bantah Mutia karena sudah terlalu kesal atas perlakuan suaminya.

“Terserah, aku bisa minta makan sama Ibu.” jawab Arman.

“Baiklah mas, aku tidak akan masak untukmu lagi.” Kata Mutia.

    Kejadian itu dimanfaatkan oleh Bu Siti untuk mengfitnah Mutia. Dia berkoar-koar ke tetangga Mutia bahwa Mutia istri yang malas dan tidak mau masak untuk suaminya. Mutia kesal dibuatnya, Mutia setiap hari diolok-olok oleh para tetangga.

“Mutia, kalau kamu kerja tapi akhirnya suami kamu nggak kamu urus mending kamu berhenti kerja.” Kata Bu Rumi.

“Maaf Bu, maksud Ibu apa saya tidak mengurus suami saya?” tanya Mutia.

“kamu tidak masak untuk Arman kan? Sehingga Arman harus makan dirumah Ibunya terus.” Jawab Bu Rumi.

“Bu, kalau saya diberi uang sama mas Arman pasti udah saya masakkan buat dia. Saya minta uang beli beras saja tidak dikasih, terus saya harus masak apa?” tanya Mutia.

“Alah alasan kamu saja, kamu kan kerja pasti punya uang buat beli beras.” kata Bu Rumi.

“Bu uang saya sudah habis pertengahan bulan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Kata Mutia membela diri.

“Jangan banyak alasan kamu Mutia, Arman itu kan suami kamu tidak mungkin jika tidak memberi kamu uang.” kata Bu Rumi.

“Terserah Ibu lah, Mutia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi “ kata Mutia lalu pergi dengan perasaan kesal.

    Setelah itu terjadilah kecelakaan kerja yang menimpa Arman. Arman jatuh dan tertimpa besi dibagian tubuhnya. Sehingga mengakibatkan Arman meninggal ditempat.

   Bu Siti dan Fatma menyalahkan semua kecelakaan tersebut pada Mutia. Mereka berasumsi bahwa Arman tertekan oleh keadaan rumah tangga sehingga tidak konsentrasi saat bekerja hingga terjadi kecelakaan tersebut.

“Semua gara-gara kamu Mutia, menantu pembawa sial.” teriak Bu Siti saat acara pemakaman Arman.

“Iya semua pasti karena kamu selalu menekan Arman tentang masalah ekonomi. Dasar wanita sialan,” tambah Fatma sambil memukul Mutia.

    Mutia hanya bisa menangis menatap kepergian sang suami, Mutia sadar dia belum bisa menjadi istri yang baik untuk suaminya. Setelah kematian Arman Bu Siti dan Fatma semakin membenci Mutia. Setiap habis gajian Bu Siti dan Fatma minta jatah uang bulanan pada Mutia. Padahal Mutia sendiri harus menghidupi dirinya sendiri.

“Bu, Mbak Fatma, maaf Mutia tidak bisa memberi kalian jatah bulanan. Gaji saya Cuma cukup buat makan sehari-hari saja.” kata Mutia waktu itu.

“Kamu harus memberi kami uang bulanan, Arman meninggal semua gara-gara kamu.” kata Bu Siti sambil berkacak pinggang.

“Gaji saya untuk kebutuhan saya sendiri saja tidak cukup Bu, apalagi ditambah harus memberi jatah buat kalian.” kata Mutia.

    Berbagai cara mereka lakukan untuk menyingkirkan Mutia dari rumah itu karena Mutia menolak memberikan jatah bulanan. Mutia difitnah berkali-kali oleh Fatma yang licik itu, mulai dari difitnah menggoda suaminya dan menggoda suami para tetangga. Hingga terjadilah pengusiran malam itu, semua tidak lepas dari campur tangan Fatma sang mantan Ipar. Mutia merasa bahwa Fatma hanya ingin menguasai rumah peninggalan Arman. Mutia sudah mengikhlaskan rumah itu, karena dia tidak punya hak atas rumah itu. Beruntung Mutia dan Arman belum dikaruniai seorang anak jadi Mutia bebas setelah pergi dari rumah itu tanpa beban. Berbeda jika dia sudah mempunyai anak dengan Arman dia harus mempertahankan rumah itu untuk masa depan anaknya.

    Mutia tersadar dari lamunannya saat Pak Supir kembali ke dalam mobil.

“Kita lanjutkan perjalanan non,” kata Pak supir.

“Iya Pak, biar cepat sampai di rumah Bu Salma.” jawab Mutia.

    Mobil melaju lagi menuju kota, dia sudah merindukan Bu Salma yang selama ini sudah dia anggap seperti Ibunya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status