“Hei! Jangan menangis. Aku ada permen untukmu.” Suara lembut itu menyusup ke tengah ketakutan Melvin kecil.Sosok seorang gadis kecil, mungkin seumuran dengannya, muncul dari balik tiang penyangga kayu yang separuh roboh.Wajahnya berlumur debu, rambutnya kusut tak beraturan, namun matanya bersinar penuh keberanian.Tangan kecilnya merogoh kantong celana yang robek dan mengeluarkan sebuah permen warna merah muda yang sudah agak lecek bungkusnya. Ia menyodorkannya dengan penuh keyakinan.“Jangan menangis lagi. Kita akan selamat,” ucapnya sambil tersenyum lembut—senyum polos yang mampu menyusup ke dalam rasa takut Melvin.Melvin mengangguk kecil, sesenggukan masih terdengar dari tenggorokannya. Ia menerima permen itu dengan tangan gemetar, lalu memasukkannya ke dalam mulut perlahan.Manis. Sangat manis. Tapi bukan dari rasa permennya—melainkan dari kebaikan hati gadis kecil itu.“Siapa namamu?” tanya gadis itu, suaranya lembut, berbeda dari suara-suara keras dan menakutkan yang sebelumn
Melvin duduk menyender di lantai rumah sakit, tepat di depan pintu ruang rawat Nadya, ibunya.Dinding putih rumah sakit yang dingin tidak mampu menenangkan gejolak hati di dalam dadanya. Kedua lututnya ia peluk erat, seolah ingin menyatukan kembali dirinya yang hancur oleh penyesalan.Air matanya jatuh perlahan, membasahi celana panjangnya yang kusut karena duduk terlalu lama di lantai.Tubuhnya tampak gemetar, napasnya berat dan tersengal, seperti menanggung beban dunia seorang diri.“Aku juga tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada Mama. Maafkan aku, Ma...” lirihnya, dengan suara parau yang hampir tak terdengar.Suara itu seolah hanya ditujukan pada dirinya sendiri, dan pada ibunya yang kini terbaring lemah di balik pintu itu.Thania, yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari sana, akhirnya melangkah mendekat dengan hati-hati.Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menyalahkan atau menegur. Yang bisa ia tawarkan hanyalah kehangatan.Perlahan, ia meraih tangan
Plak!Sebuah suara tamparan keras memecah kesunyian sore di rumah keluarga Kalen.Melvin, yang baru saja menjejakkan kaki ke dalam rumah, terhuyung ke samping karena tamparan penuh emosi dari tangan ayahnya.Rasa panas menyebar di pipi kirinya, namun rasa sakit itu bukan apa-apa dibandingkan keterkejutan yang menghantam dadanya.“Pa! Apa yang kau lakukan?!” serunya dengan nada tak percaya, satu tangan terangkat menyentuh pipinya yang memerah.Pandangannya terarah ke ayahnya, Kalen, yang kini berdiri dengan napas memburu, wajahnya merah padam oleh amarah yang membuncah.“Kau gila, hah?! Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang KAU lakukan, Melvin?!” suara Kalen menggelegar di seluruh ruangan, seperti petir di siang bolong.Nada suaranya penuh luka dan kekecewaan yang mendalam, bukan hanya sebagai seorang ayah, tapi juga sebagai seorang pria yang harga dirinya diinjak oleh anaknya sendiri.Melvin mengerutkan dahi, hatinya bergemuruh tak menentu. “Aku tidak tahu maksud—”Kalen tidak
“Tampaknya kau terobsesi padaku, Melvin. Sudah kubilang aku tidak mau jadi asisten pribadimu. Dan kau memintaku lagi dan lagi,” sindir Andrew tajam, sambil melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan kerja Melvin yang terasa mewah dan dingin.Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang yang berada tak jauh dari meja kerja. Dengan gerakan santai, ia menyilangkan kaki dan melipat tangan di dada.Senyuman sarkastik menghiasi wajahnya, tapi ada kegelisahan samar yang berusaha ia sembunyikan.Melvin menatapnya dengan datar dari balik meja, kedua tangannya disilangkan di depan dada. “Kau tetap menolak menjadi asistenku, hah?” tanyanya datar, seperti tidak terkejut dengan jawaban itu.Andrew mengangguk ringan, dengan ekspresi tak kalah dingin. “Ya. Aku menolaknya. Seperti tidak ada lagi saja orang yang bisa kau andalkan. Kau takut jatuh cinta pada asistenmu lagi kalau mencari perempuan?” sindirnya sembari menaikkan sebelah alis.Melvin memutar bola matanya. “Kau pikir aku pria seperti itu? Ak
“Regina. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Melvin ketika melihat wanita itu masuk ke ruang kerjanya dengan segumpal dokumen di tangan.Langkah Regina terhenti sejenak, menatap Melvin yang duduk di balik meja dengan ekspresi serius.Ia lalu berjalan mendekat dan menyerahkan map berisi agenda kerja Melvin selama satu minggu ke depan.Regina belum sempat berbalik ketika Melvin kembali bersuara.“Jangan marah pada Davian. Aku tahu, aku terlalu kasar padanya waktu itu. Aku cuma kesal karena dia tidak mau membantuku. Tapi semua itu bukan karena dia tidak peduli…”Mata Melvin menatap langsung ke arah Regina. “Sebenarnya, Davian tidak pernah merespon Elea. Dia memang mencintai Davian. Tapi hati Davian... hanya untukmu.”Regina menunduk, menarik napas pelan. Tatapannya kosong sesaat, seakan sedang berusaha mengendalikan sesuatu di dalam dirinya.Perlahan ia mengangkat wajahnya dan menatap Melvin dengan senyum lirih yang tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan rasa tidak percaya diri ya
“Jangan menangis, Thania.” bisik Melvin lembut. Ia mengangkat tangannya, menyapu perlahan air mata yang mengalir pelan di pipi Thania—air mata yang jatuh begitu saja saat mendengar pengakuannya.Tangannya masih menggantung di pipi Thania, sementara mata mereka saling menatap dalam diam yang menyuarakan ribuan hal yang belum sempat dikatakan.Melvin telah menceritakan semuanya.Tentang bagaimana ia selama ini melindungi Thania dan Kalen, tentang betapa kerasnya ia berusaha agar tuduhan kejam yang mengarah ke Thania tidak sampai ke media, tentang bagaimana ia menahan diri, bahkan rela dibenci, agar rahasia itu tetap terkubur rapat.“Kenapa tidak kau beritahu dari awal kalau selama ini kau selalu melindungiku, Melvin? Bahkan sudah mencintaiku sejak lama,” lirihnya dengan suara gemetar.Ia menunduk. Hatinya remuk mengingat betapa kerasnya dulu ia membenci Melvin.Betapa ia nyaris menyerah pada pernikahan yang ia anggap sebagai penjara—padahal pria itu hanya ingin menyelamatkannya.Melvin