Chu Xia beranjak dari ranjang yang keras, dia menepuk-nepuk pakaiannya yang sedikit berdebu dan …, kotor.
Dia memasang ekspresi jijik saat mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut ruangan remang itu. Dia berjongkok, jemarinya memungut pecahan mangkuk di lantai ruangan yang berserakan. Dia mencium aroma tak biasa dari mangkuk itu. “Racun yang sangat mematikan.” Gumamnya, kembali meletakkan pecahan mangkuk itu. “Nona! Nona!” seorang pelayan—sepertinya begitu, berjalan dengan buru-buru memasuki kamar yang lusuh itu. Dia memegang kedua pundak Chu Xia, memeriksanya dengan cemas. “Nona, syukurlah kau baik-baik saja!” pelayan itu menghela napas lega, tersenyum senang. Chu Xia menatapnya dengan bingung, “Kau …, siapa?” tanyanya dengan tidak pasti. Pertanyaan itu membuat pelayan di depannya melipat wajah dengan murung, “Nona …, apakah kau hilang ingatan setelah meneguk semangkuk racun?” “Meneguk semangkuk racun?” Chu Xia menatap pecahan mangkuk yang dia periksa beberapa saat lalu. Dia berusaha mengingat sesuatu. Astaga. Dia hanya terjatuh dari tebing karena dicelakai suaminya sendiri, entah mati atau tidak, kenapa bisa memimpikan hal yang begitu …. Tunggu. Chu Xia memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut menyakitkan. Dia meringis, menandakan bahwa rasa sakit itu luar biasa. Pelayan itu kembali cemas, dia segera memapah Chu Xia kembali ke ranjang. Chu Xia memejamkan mata. Dia tiba-tiba mengingat sesuatu yang dia rasa tidak pernah mengalaminya. “Apa yang terjadi padaku, wahai?” Dia bergumam lemah. Sesaat kemudian, dia melihat bayangan samar wanita muda berwajah cantik memasuki kamar ini, pakaiannya tampak terhormat, seperti bangsawan tertinggi. Dia membawa sebuah nampan dengan mangkuk putih di atasnya. Wanita itu memberikan mangkuk putih untuknya, dengan senyum ramah, menyuruhnya meminum habis cairan beraroma aneh di dalam mangkuk itu. Dia memekik dalam hati, menyuruh diri sendiri jangan meminumnya, tapi tangannya bergerak tak mengikuti kata hatinya. Isi mangkuk itu tandas. Tubuhnya lunglai di lantai, mangkuk putih itu terlempar dan pecah. Wanita berpakaian agung terkekeh dalam. 'Yinlan, ini salahmu karena bersikeras bersaing denganku.' Chu Xia membuka mata, napasnya menderu kencang. Dia memegang kepalanya yang masih terasa sakit. “Astaga, tadi itu apa?” Chu Xia berseru dengan wajah terkejut. “Nona, kau kenapa?” pelayan wanita yang sejak tadi menemaninya menatapnya dengan cemas. “Nona, aku A-Yao. Aku adalah hambamu, apakah kau tidak mengingatnya?” Chu Xia terdiam lagi, wajah A-Yao tiba-tiba melintas di pikirannya. Gadis tujuh belas tahun yang ceria itu. Dia adalah pelayan pribadinya sebelum masuk ke istana. “Lalu, aku siapa?” Chu Xia bertanya. “Kau adalah Selir Xian. Xie Yinlan, putri tidak sah Kediaman Adipati Xie. Apakah kau juga melupakannya?” Chu Xia mengangguk-angguk mengerti. “Mungkinkah …, aku terbangun di dalam tubuh baru?” Dia bergegas mencari cermin setelah pikiran itu melintas di otaknya. Dia menatap pantulan wajahnya di dalam cermin. Itu adalah wajah yang sama dengan dirinya yang seorang dokter. “Aku …, bukan lagi Chu Xia?” dia bergumam dalam hati, bertanya pada diri sendiri. Tubuh itu jelas bukan tubuhnya. Meski memiliki paras yang sama, tubuh Xie Yinlan lebih kurus dari pada tubuh Chu Xia. “Sepertinya aku mulai memahaminya.” Dia terpaku menatap dirinya di dalam cermin. “Ini di mana? Negara apa? Tahun berapa?” Chu Xia menatap A-Yao penuh harap. Meski takut, A-Yao tetap menjawabnya, “Ini di istana Kekaisaran Jing, Nona. Kau masuk ke istana kekaisaran Jing di tahun pertama pemerintahan Kaisar Jing Xuan. Tepatnya, beberapa bulan lalu kau diperselir olehnya.” Chu Xia menautkan alisnya, berpikir keras. Lantas ingatan tentang peristiwa itu mulai merayap di pikirannya. Sepertinya dia memang seorang selir yang dulunya hanya putri tidak sah. “Baiklah. Aku sudah tahu. Tampaknya aku yang saat ini adalah Xie Yinlan, selir terbuang di kekaisaran Jing. Yang mati diracuni permaisuri yang merupakan kakaknya sendiri? Bahkan kaisar pun tidak pernah menyentuhnya? Astaga, Xie Yinlan. Kenapa hidupmu tragis sekali?” Chu Xia memijat dahinya pelan. “Langit memberiku kesempatan untuk hidup kembali, tapi malah menempati raga yang nasibnya begitu sial. Oh …, tampaknya aku yang sial.” Chu Xia menghela napas pasrah, kembali menatap dirinya di dalam cermin. “Baiklah, Xie Yinlan. Aku akan membuat hidupmu menjadi lebih berguna. Memberi pelajaran pada sepasang suami-istri gila itu. Aku pernah dikhianati suamiku sendiri, kali ini, aku harus memulai kehidupan baru dengan lebih baik. Menjadi selir yang disayangi Kaisar. Aku …, tidak akan membiarkan dirimu ditindas lagi.” Chu Xia berkata mantap dalam hati.Istana Guangping menjadi sangat ramai lima tahun ke depan. Dua orang anak yang terlihat sangat mirip setiap hari berlarian di halamannya, saling mengejar, saling mencoba menjatuhkan. Satu anak adalah perempuan, dia memegang pedang kayu dan terus mengarahkannya pada si anak laki-laki sambil berkata, “Berhenti, penjahat!” Semenatra yang laki-laki tertawa riang, terus berkata bahwa si anak perempuan tidak akan bisa menangkapnya. Di dalam istana, Yinlan sedang sibuk menatap sejumlah tusuk rambut di atas meja. Bingung memilih mau pakai yang mana. “Bagaimana dengan ini?” Jing Xuan menunjukkan tusuk konde yang berwarna perak dengan batu giok putih yang indah. Yinlan menggeleng, “Aku rasa aku sudah memakai itu kemarin lusa.” “Tidak apa, pakai lagi saja.” Jing Xuan menguap, sudah satu jam dia berdiri di depan meja rias Yinlan, dan gadis itu masih belum menentukan akan memakai apa. “Aku pakai ini saja lah.” Yinlan mengambil tusuk rambut bunga rong yang pernah Jing Xuan berikan padanya du
A-Yao tampak kerepotan, menerima sejumlah hadiah dari tamu-tamu luar Ibukota yang menghadiri pernikahan terbesar di seluruh Kekaisaran Jing ini. “A-Yao, sampaikan ucapan selamatku pada Permaisuri, ya?” terlihat Nona Kelima Jiang tersenyum ramah sambil menyerahkan sebuah kotak kayu besar. A-Yao mengangguk sambil tersenyum, “Terima kasih sudah datang.” Mao Lian berdiri di dekat pintu sambil menatapnya dengan tatapan remeh, “Kau tampak sibuk, A-Yao.” A-Yao mendengus sambil menatap tajam ke arahnya, “Dari pada diam menjadi pagar seperti itu, lebih baik kau membantuku.” Mao Lian terkekeh lalu menghampirinya. Sebelum mulai membantu, dia mendekatkan mulutnya ke telinga A-Yao dan berbisik, “Baru saja Yang Mulia memberkati pernikahan untukku, A-Yao. Apakah kau terkejut?” A-Yao terdiam kaku, matanya membulat sempurna, berkedip beberapa kali. “Be-benarkah? Bagaimana mungkin,” A-Yao menyeringai tipis, mencoba mengendalikan perasaannya yang tidak karuan. Dia membatin, ‘Diberkati pernikahan?
Yinlan merebahkan tubuhnya di ranjang, Jing Xuan menjadikan pahanya sebagai bantal. Tangannya bergerak mengusap pelan helai rambut panjangnya. Aroma wangi ini, Jing Xuan sangat merindukannya. Sejak baru tiba sore lalu, Yinlan sama sekali tak mau melepaskannya. Dia selalu tersenyum dan berkata harus selalu bersama untuk menebus hari-hari saat berpisah. “A-Yin, berapa bulan lagi sampai hari kelahirannya?” tanya Jing Xuan, memecah keheningan. “Hm …,” Yinlan berpikir sejenak, “Ini sudah lama memasuki bulan ke-tujuh. Sebentar lagi bulan ke-delapan.” “Sebentar lagi, ya ….” Jing Xuan menghela napas, “Tapi dua bulan lagi sangat lama.”“Jika melewatinya bersama-sama, harusnya tidak terlalu lama.” Yinlan tersenyum lebar sampai matanya menyipit. “A-Yin, aku tidak bisa menepati janjiku untuk menikahimu di ujung musim dingin.” Jing Xuan menunduk merasa bersalah. Yinlan menepuk punggung tangannya, “Kita menikah di awal musim semi saja. Bukankah itu bagus?” “Apakah menurutmu begitu?” Yinlan
Dua minggu kemudian. Kabar mengenai kepulangan Jing Xuan telah tiba di Istana. Semua orang menyambutnya di depan gerbang istana, termasuk Yinlan dan Ibu Suri. Kabar peperangan dengan Negara Shang yang mendadak itu juga telah sampai di Ibukota sejak dua minggu lalu. Para warga merasa bersyukur saat tahu sang Kaisar berada di sana untuk meredakan kekacauan. Kini, mereka sudah berkumpul di tepian jalan untuk menyambut Kaisar mereka. Melempar bunga dengan wajah tersenyum lebar, sambil memanjatkan do’a dan pujian untuk pahlawan nomor satu itu. Jing Xuan hanya menaiki seekor kuda hitam, tidak ada tandu atau kereta kuda yang mewah yang menemaninya. Di belakangnya hanya ada dua orang tabib, dan sepuluh orang prajurit yang mengantar kepergiannya. Itu sungguh hanya kepulangan sederhana yang tidak disiapkan secara khusus. Namun semua orang justru merasa senang untuknya dan mengucapkan beribu-ribu kata syukur. Jing Xuan juga secara khusus turun dari kudanya dan menggendong anak-anak usia tig
Kamp Militer Perbatasan Utara. Jing Xuan duduk tegak di kursi, wajahnya sangat serius. Dia sedang membaca sebuah buku. Buku medis kuno yang Shangguan Yan bawa dari ruang bawah tanah beracun milik Ye Qing di Tingzhou. Dalam buku itu, tertulis bahwa Teratai Hitam bukanlah racun. Melainkan sejenis obat mujarab yang bisa membentuk ketangguhan fisik luar biasa, obat yang bisa menetralisir semua jenis racun yang tumbuh di dunia ini. Obat itu memberikan efek samping yang cukup kejam bagi pemakainya. Semua gejala menyakitkan yang Yinlan alami setiap bulan itu adalah efek sampingnya. Dan selamanya tidak bisa dihilangkan. Dalam setiap bulan, akan selalu ada hari di mana tubuh itu sendiri tiba di titik terlemahnya. Jing Xuan menggeram, “Kenapa aku tidak mengalami siklus bulanan ini juga? Padahal aku jelas-jelas meminumnya, kan?” Xi Feng menghela napas, “Yang Mulia, Teratai Hitam yang kau minum itu hanya semangkuk penawar racun saja, bukan lagi jenis obat yang sama. Permaisuri meminum selur
Satu minggu kemudian, Selir Agung Qin ditemukan di Prefektur Barat Ibukota. Jubah kekaisarannya entah hilang ke mana, semua perhiasan emas yang melekat di tubuhnya juga telah raib. Pangeran Ming menggunakan kereta kuda untuk membawanya kembali ke Istana. Sepanjang perjalanan, Selir Agung tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski Pangeran Ming berada tepat di depannya. Pangeran Ming tidak berharap wanita itu akan bertanya tentang kenapa dia ditangkap, atau mau membawanya ke mana. Dia berpikir wanita ini akan menanyakan keadaan putranya. Namun keduanya sama sekali tidak terdengar keluar dari mulutnya. Pangeran Ming menghela napas, dia mengeluarkan sapu tangan dengan bordir lambang Keluarga Jing miliknya. Lalu dia meletakkannya di atas paha Selir Agung dan berkata, “Sekalah kotoran di wajahmu. Haoyu tidak akan suka melihatnya.” Selir Agung tersenyum tipis, “Aku bahkan tidak pantas mengambil barang milik Keluarga Jing kalian.”“Memang benar …, lagi pula, untuk apa kau memedulikan pen