Sudah berhari-hari berlalu semenjak pertengkaran terakhir Lavanya dengan Erik. Lavanya menjalani hari-hari seperti biasa walau setiap waktu Neli dan Iris memasang wajah masam dan tidak berhenti menyindirnya.Lavanya tetap mengurus rumah, mencuci pakaian, mencuci piring, memasak, serta melakukan berbagai jenis pekerjaan rumah tangga lainnya.Hari Minggu ini Lavanya hanya sendiri di rumah. Erik, Neli, Iris dan anak-anaknya pergi sejak pagi. Sedangkan Belia bermain sepeda di rumah tetangga.Lavanya sedang membersihkan kamar ketika ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidur berdenting. Lavanya pikir itu pesan dari Danish. Nyatanya ia salah. Bukan Danish yang mengiriminya pesan melainkan dari nomor tidak terdaftar di kontaknya. Lavanya membuka pesan tersebut dan membacanya di dalam hati."Lihat foto-foto ini baik-baik, biar kamu tahu siapa suamimu sebenarnya."Rangkaian kata-kata tersebut diiringi dengan beberapa buah foto serta video.Jantung Lavanya menghentak jauh lebih cepat dari b
Lavanya masuk ke kamarnya. Ia berdiri dengan tatapan kosong pada pigura berisi foto pernikahannya dengan Erik yang terpajang di dinding.Kata-kata menyakitkan tadi kembali terngiang di telinganya, menusuknya lebih dalam dari yang mampu Lavanya tahan.'Jangan ganggu Erik. Dia lagi malam pengantinan sama Mona.'Karena Erik sudah menemukan penggantinya, untuk apa lagi Lavanya bertahan?Lavanya mengambil kursi. Diturunkannya foto pernikahan di dinding dengan perasaan sedih yang mendalam. Di foto tersebut Lavanya dan Erik tersenyum dengan wajah bahagia. Namun kini pemandangan itu justru membuat hati Lavanya teriris-iris.Dengan kasar Lavanya menyentak foto tersebut dari bingkainya lalu merobek-robek hingga tidak berbentuk. Foto itu hancur bersama kenangan.Setelahnya, Lavanya menurunkan koper besar dari atas lemari. Ia memasukkannya pakaiannya dan juga pakaian Belia ke dalam koper itu. Tidak ada gunanya lagi bertahan."Belia, ayo ikut Mama," panggilnya pada sang putri.Belia datang. Anak
Sekitar seperempat jam kemudian pintu rumah Lavanya diketuk. Lavanya bangkit dengan langkah berat dan mata sembab.Setelah pintu dibuka Lavanya mendapati Danish sedang berdiri dengan napas memburu. Air mukanya sarat akan kekhawatiran.Melihat mata bengkak Lavanya, Danish melangkah masuk lalu merengkuh Lavanya ke dalam pelukannya."Aku ada di sini, bersama kamu, Nya," bisik Danish lembut.Bisikan itu membuat tangis Lavanya kembali pecah. Segala luka yang dipendam di hatinya seolah luruh. Danish mengusap punggung Lavanya. Dengan sabar menanti hingga tangis perempuan itu reda."Mas Erik udah nikah lagi diam-diam di belakangku. Dia tega, Nish." Lavanya sesenggukan di pelukan Danish.Lelaki bernama lengkap Danish Ksathriya itu mempererat dekapannya sembari tangannya terus mengusap-usap punggung mantan kekasihnya."Awalnya dia minta izin buat nikah lagi karena Mona hamil. Tapi aku nggak kasih izin. A-aku min ... taa cerai, ta-ta-pi dia nggak mau dan menjadikan Belia sebagai alasan. Ternyat
Setelah Lavanya tiba di rumah mertuanya, Erik sendiri yang membuka pintu. "Oh, kamu ternyata," gumam lelaki itu."Belia mana, Mas?" tanya Lavanya tanpa basa-basi. Tidak juga menyinggung pernikahan diam-diam yang dilakukan Erik."Dia lagi tidur, capek katanya." Lelaki itu menjawab dengan santai seraya menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu."Bangunkan dia. Aku mau bawa pulang ke rumah.""Dia udah di rumahnya."Lavanya menggeleng. "Ini bukan rumahnya." "Siapa bilang? Ini rumah papanya. Tempat dia tumbuh sejak kecil. Jadi ini rumahnya juga.""Dulu mungkin iya, tapi sekarang tidak lagi," balas Lavanya tanpa takut. Hari-hari lampau Lavanya masih menghargai Erik dan selalu tunduk pada apa pun perkataan lelaki itu. Namun kini setelah semua yang terjadi mata Lavanya terbuka lebar. Ia tidak akan mau terus ditindas.Erik menyipit, menegakkan tubuhnya. Jelas terlihat tidak menyukai perkataan Lavanya. "Hebat ya kamu sekarang. Kamu yang pergi dari rumah datang-datang mau mengambil anakku. Kamu pik
Semua masih tersimpan rapi di ingatan Lavanya. Ia tidak akan pernah melupakannya di sepanjang sisa usia yang dimilikinya. Seolah tidak cukup menorehkan luka di batinnya, fisiknya juga ikut disakiti.Kejadian itu memang sudah berlangsung dua hari yang lalu, tapi Lavanya ingat betul bagaimana kronologi ketika ia dihadang tiba-tiba lalu diserang begitu saja.Lavanya yang hendak menemui Belia di kamar terpaksa berhenti sebelum sampai di tujuan.Neli muncul tiba-tiba lalu mendorongnya dengan kuat. Lavanya yang tidak siap tentu saja tumbang. Tubuhnya disambut oleh dinginnya lantai bersama pekik kesakitan yang meluncur dari mulutnya."Masih punya muka kamu datang ke sini?" Neli membentaknya dengan keras. Pandangan tajam wanita itu seolah akan mencabik-cabik Lavanya menjadi beberapa bagian."Aku cuma mau bawa Belia, Bu," lirih Lavanya menjelaskan tujuan kedatangannya sambil menahan rasa sakit di bokongnya."Perempuan seperti apa kamu? Udah tinggalin suami, sekarang berani-beraninya ingin mere
Danish tidak main-main dengan ucapannya. Malamnya, seorang pria yang berprofesi sebagai pengacara datang. Namanya Irfan. Seorang pengacara terkenal di bidang hukum keluarga. Pembawaannya tenang, profesional dan sangat berpihak pada korban kekerasan rumah tangga."Lavanya, kenalkan ini Pak Irfan. Dia pengacara yang akan membantu kamu mengurus perceraian dengan Erik," kata Danish pada Lavanya.Lavanya yang setengah berbaring setengah duduk di ranjang rumah sakit tersenyum lemah sambil menangkupkan tangannya di dada."Bu Lavanya, Pak Danish sudah menceritakan pada saya kronologinya. Dalam hal ini kita bisa ajukan gugatan dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga dan suami Ibu yang menikah lagi tanpa izin dari Ibu," kata Irfan setelah mereka duduk bertiga di sofa kamar VIP yang Lavanya tempati."Apa Belia, anak saya, hak asuhnya bisa jatuh ke saya, Pak?" tanya Lavanya menanggapi.Irfan melabuhkan tatapannya di wajah Lavanya dengan penuh empati. Pria itu tetap tenang dan menyusun kata
Setelah berhari-hari dirawat di rumah sakit, Lavanya diizinkan pulang.Kesedihan merayapi hatinya ketika menginjak lantai rumah yang dingin. Tidak ada siapa-siapa di rumah itu kecuali dirinya sendiri. Danish yang mengantarnya sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu.Kesunyian yang mencekam membuat batin Lavanya semakin tersiksa. Seharusnya saat ini ada sang putri bersamanya.Ia masuk ke kamar Belia. Duduk di tepi tempat tidur, mengusap permukaan kasur yang kosong. Bayangan ketika ia membacakan dongeng untuk Belia sebelum tidur begitu mengganggu pikirannya."Belia, Mama kangen, Nak, Mama mau ketemu," ratapnya lirih. Air matanya lantas luruh dari pelupuknya.Keesokan hari Lavanya kembali bekerja seperti biasa. Ia berniat siang ini akan mengunjungi Belia ke sekolahnya. Baru beberapa hari tidak bertemu tapi rindu Lavanya sudah memuncak.Ketika jam makan siang tiba, Lavanya tidak membuang waktu. Ia langsung meluncur ke sekolah anaknya dengan menggunakan taksi. Dengan langkah tergesa La
Lavanya jatuh terhempas di lantai. Napasnya satu-satu. Rasa sakit di sikunya menjalar dengan cepat ke bagian tangannya yang lain. Ini adalah kali kedua Neli menyakitinya dengan cara yang sama. Namun, dari semua sakit fisik yang diterimanya, batinnya jauh lebih terbuka."Belia...," suaranya lirih, hampir tidak terdengar.Melalui pintu yang tertutup rapat, samar-samar terdengar tangis anaknya yang memanggil-manggil."Mama! Mamaaa!!!"Teriakan itu memukul dada Lavanya, membuat hatinya yang nyeri bertambah pedih.Lavanya mencoba melupakan rasa sakitnya. Ia memaksa tubuhnya berdiri.Diusapnya daun pintu, berharap tangannya bisa menembus ke dalam sana."Belia! Ini Mama! Buka pintunya, Nak, Mama mau ketemu. Mama ada di depan!" Lavanya berteriak sekeras yang ia bisa.Pintu tetap tertutup. Tidak ada tanda-tanda akan terbuka. Sementara tangis Belia terdengar semakin keras."Mamaaa, ini aku!!!""Diam! Jangan panggil perempuan itu. Dia udah ninggalin kamu untuk laki-laki lain!"Di sela-sela tangi
Langit mendung membersamai Lavanya dalam perjalanan pulang. Semestinya Lavanya kembali ke kantor karena pekerjaannya belum selesai. Tapi kepalanya yang penuh oleh berbagai pikiran membuatnya memerintahkan supir taksi agar mengantarnya pulang ke rumah.Titik-titik hujan mulai turun dari langit, menampar-nampar kaca jendela taksi. Lavanya memandang keluar dengan pandangan buram. Entah karena air hujan yang menempel di kaca, atau mungkin karena saat ini matanya mengembun oleh air mata.Suara supir taksi yang memberitahu bahwa mereka sudah tiba mengeluarkan Lavanya dari lamunannya.Lavanya menjawab dengan anggukan. Kakinya terayun gontai memasuki rumah mungilnya yang dingin, sunyi dan terlalu luas untuk dihuni sendiri.Setelah pintu tertutup Lavanya terduduk di sofa. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan sangat kuat. Meski ia sudah berada di rumahnya tapi pikirannya terperangkap di depan pintu rumah mertuanya.Wajah putrinya menghantui dalam bayangan. Tangisannya yang pilu seolah
Lavanya jatuh terhempas di lantai. Napasnya satu-satu. Rasa sakit di sikunya menjalar dengan cepat ke bagian tangannya yang lain. Ini adalah kali kedua Neli menyakitinya dengan cara yang sama. Namun, dari semua sakit fisik yang diterimanya, batinnya jauh lebih terbuka."Belia...," suaranya lirih, hampir tidak terdengar.Melalui pintu yang tertutup rapat, samar-samar terdengar tangis anaknya yang memanggil-manggil."Mama! Mamaaa!!!"Teriakan itu memukul dada Lavanya, membuat hatinya yang nyeri bertambah pedih.Lavanya mencoba melupakan rasa sakitnya. Ia memaksa tubuhnya berdiri.Diusapnya daun pintu, berharap tangannya bisa menembus ke dalam sana."Belia! Ini Mama! Buka pintunya, Nak, Mama mau ketemu. Mama ada di depan!" Lavanya berteriak sekeras yang ia bisa.Pintu tetap tertutup. Tidak ada tanda-tanda akan terbuka. Sementara tangis Belia terdengar semakin keras."Mamaaa, ini aku!!!""Diam! Jangan panggil perempuan itu. Dia udah ninggalin kamu untuk laki-laki lain!"Di sela-sela tangi
Setelah berhari-hari dirawat di rumah sakit, Lavanya diizinkan pulang.Kesedihan merayapi hatinya ketika menginjak lantai rumah yang dingin. Tidak ada siapa-siapa di rumah itu kecuali dirinya sendiri. Danish yang mengantarnya sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu.Kesunyian yang mencekam membuat batin Lavanya semakin tersiksa. Seharusnya saat ini ada sang putri bersamanya.Ia masuk ke kamar Belia. Duduk di tepi tempat tidur, mengusap permukaan kasur yang kosong. Bayangan ketika ia membacakan dongeng untuk Belia sebelum tidur begitu mengganggu pikirannya."Belia, Mama kangen, Nak, Mama mau ketemu," ratapnya lirih. Air matanya lantas luruh dari pelupuknya.Keesokan hari Lavanya kembali bekerja seperti biasa. Ia berniat siang ini akan mengunjungi Belia ke sekolahnya. Baru beberapa hari tidak bertemu tapi rindu Lavanya sudah memuncak.Ketika jam makan siang tiba, Lavanya tidak membuang waktu. Ia langsung meluncur ke sekolah anaknya dengan menggunakan taksi. Dengan langkah tergesa La
Danish tidak main-main dengan ucapannya. Malamnya, seorang pria yang berprofesi sebagai pengacara datang. Namanya Irfan. Seorang pengacara terkenal di bidang hukum keluarga. Pembawaannya tenang, profesional dan sangat berpihak pada korban kekerasan rumah tangga."Lavanya, kenalkan ini Pak Irfan. Dia pengacara yang akan membantu kamu mengurus perceraian dengan Erik," kata Danish pada Lavanya.Lavanya yang setengah berbaring setengah duduk di ranjang rumah sakit tersenyum lemah sambil menangkupkan tangannya di dada."Bu Lavanya, Pak Danish sudah menceritakan pada saya kronologinya. Dalam hal ini kita bisa ajukan gugatan dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga dan suami Ibu yang menikah lagi tanpa izin dari Ibu," kata Irfan setelah mereka duduk bertiga di sofa kamar VIP yang Lavanya tempati."Apa Belia, anak saya, hak asuhnya bisa jatuh ke saya, Pak?" tanya Lavanya menanggapi.Irfan melabuhkan tatapannya di wajah Lavanya dengan penuh empati. Pria itu tetap tenang dan menyusun kata
Semua masih tersimpan rapi di ingatan Lavanya. Ia tidak akan pernah melupakannya di sepanjang sisa usia yang dimilikinya. Seolah tidak cukup menorehkan luka di batinnya, fisiknya juga ikut disakiti.Kejadian itu memang sudah berlangsung dua hari yang lalu, tapi Lavanya ingat betul bagaimana kronologi ketika ia dihadang tiba-tiba lalu diserang begitu saja.Lavanya yang hendak menemui Belia di kamar terpaksa berhenti sebelum sampai di tujuan.Neli muncul tiba-tiba lalu mendorongnya dengan kuat. Lavanya yang tidak siap tentu saja tumbang. Tubuhnya disambut oleh dinginnya lantai bersama pekik kesakitan yang meluncur dari mulutnya."Masih punya muka kamu datang ke sini?" Neli membentaknya dengan keras. Pandangan tajam wanita itu seolah akan mencabik-cabik Lavanya menjadi beberapa bagian."Aku cuma mau bawa Belia, Bu," lirih Lavanya menjelaskan tujuan kedatangannya sambil menahan rasa sakit di bokongnya."Perempuan seperti apa kamu? Udah tinggalin suami, sekarang berani-beraninya ingin mere
Setelah Lavanya tiba di rumah mertuanya, Erik sendiri yang membuka pintu. "Oh, kamu ternyata," gumam lelaki itu."Belia mana, Mas?" tanya Lavanya tanpa basa-basi. Tidak juga menyinggung pernikahan diam-diam yang dilakukan Erik."Dia lagi tidur, capek katanya." Lelaki itu menjawab dengan santai seraya menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu."Bangunkan dia. Aku mau bawa pulang ke rumah.""Dia udah di rumahnya."Lavanya menggeleng. "Ini bukan rumahnya." "Siapa bilang? Ini rumah papanya. Tempat dia tumbuh sejak kecil. Jadi ini rumahnya juga.""Dulu mungkin iya, tapi sekarang tidak lagi," balas Lavanya tanpa takut. Hari-hari lampau Lavanya masih menghargai Erik dan selalu tunduk pada apa pun perkataan lelaki itu. Namun kini setelah semua yang terjadi mata Lavanya terbuka lebar. Ia tidak akan mau terus ditindas.Erik menyipit, menegakkan tubuhnya. Jelas terlihat tidak menyukai perkataan Lavanya. "Hebat ya kamu sekarang. Kamu yang pergi dari rumah datang-datang mau mengambil anakku. Kamu pik
Sekitar seperempat jam kemudian pintu rumah Lavanya diketuk. Lavanya bangkit dengan langkah berat dan mata sembab.Setelah pintu dibuka Lavanya mendapati Danish sedang berdiri dengan napas memburu. Air mukanya sarat akan kekhawatiran.Melihat mata bengkak Lavanya, Danish melangkah masuk lalu merengkuh Lavanya ke dalam pelukannya."Aku ada di sini, bersama kamu, Nya," bisik Danish lembut.Bisikan itu membuat tangis Lavanya kembali pecah. Segala luka yang dipendam di hatinya seolah luruh. Danish mengusap punggung Lavanya. Dengan sabar menanti hingga tangis perempuan itu reda."Mas Erik udah nikah lagi diam-diam di belakangku. Dia tega, Nish." Lavanya sesenggukan di pelukan Danish.Lelaki bernama lengkap Danish Ksathriya itu mempererat dekapannya sembari tangannya terus mengusap-usap punggung mantan kekasihnya."Awalnya dia minta izin buat nikah lagi karena Mona hamil. Tapi aku nggak kasih izin. A-aku min ... taa cerai, ta-ta-pi dia nggak mau dan menjadikan Belia sebagai alasan. Ternyat
Lavanya masuk ke kamarnya. Ia berdiri dengan tatapan kosong pada pigura berisi foto pernikahannya dengan Erik yang terpajang di dinding.Kata-kata menyakitkan tadi kembali terngiang di telinganya, menusuknya lebih dalam dari yang mampu Lavanya tahan.'Jangan ganggu Erik. Dia lagi malam pengantinan sama Mona.'Karena Erik sudah menemukan penggantinya, untuk apa lagi Lavanya bertahan?Lavanya mengambil kursi. Diturunkannya foto pernikahan di dinding dengan perasaan sedih yang mendalam. Di foto tersebut Lavanya dan Erik tersenyum dengan wajah bahagia. Namun kini pemandangan itu justru membuat hati Lavanya teriris-iris.Dengan kasar Lavanya menyentak foto tersebut dari bingkainya lalu merobek-robek hingga tidak berbentuk. Foto itu hancur bersama kenangan.Setelahnya, Lavanya menurunkan koper besar dari atas lemari. Ia memasukkannya pakaiannya dan juga pakaian Belia ke dalam koper itu. Tidak ada gunanya lagi bertahan."Belia, ayo ikut Mama," panggilnya pada sang putri.Belia datang. Anak
Sudah berhari-hari berlalu semenjak pertengkaran terakhir Lavanya dengan Erik. Lavanya menjalani hari-hari seperti biasa walau setiap waktu Neli dan Iris memasang wajah masam dan tidak berhenti menyindirnya.Lavanya tetap mengurus rumah, mencuci pakaian, mencuci piring, memasak, serta melakukan berbagai jenis pekerjaan rumah tangga lainnya.Hari Minggu ini Lavanya hanya sendiri di rumah. Erik, Neli, Iris dan anak-anaknya pergi sejak pagi. Sedangkan Belia bermain sepeda di rumah tetangga.Lavanya sedang membersihkan kamar ketika ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidur berdenting. Lavanya pikir itu pesan dari Danish. Nyatanya ia salah. Bukan Danish yang mengiriminya pesan melainkan dari nomor tidak terdaftar di kontaknya. Lavanya membuka pesan tersebut dan membacanya di dalam hati."Lihat foto-foto ini baik-baik, biar kamu tahu siapa suamimu sebenarnya."Rangkaian kata-kata tersebut diiringi dengan beberapa buah foto serta video.Jantung Lavanya menghentak jauh lebih cepat dari b