Share

Diantara Imam dan Ibu
Diantara Imam dan Ibu
Author: medushash12

Pulang Kampung

Hari-hari Salsa hanya terfokus untuk mencari nafkah untuk dirinya dan keluarganya di kampung. Posisinya di kantor tempat ia bekerja cukup penting dan ia bersyukur mendapatkan posisi itu. Di usianya yang masih 24 tahun, ia terbilang muda dan berbakat. Dengan semua kemampuan yang ia punya, ia akan berusaha keras mencari nafkah untuk bertahan hidup

Waktu sudah menunjukan jam istirahat, Salsa pergi ke kantin yang berada di lantai satu. Ia memesan makanan berat dan secangkir kopi. Lalu ia duduk di pojok dekat dengan jendela yang menghadap ke taman kantor. Seseorang menelpon Salsa, tertulis nama “Dhea” yang merupakan teman masa kecil Salsa di kampung halamannya.

“Halo Dhe?”

“Sal, lo gak pulang ke kampung?”

“Ngapain balik ke sana? Males gue balik ke kampung batu.” Jawab Salsa sedikit sewot.

“Emang lo gak tahu di sana ada yang aneh?”

“Maksud lo gimana Dhe?”

“Gue jelasin pas balik dari kantor, kita ketemuan di apartemen lo aja, nanti gue kabarin lagi.”

“Ok, nanti gua kabarin juga kalo balik dari kantor.” Lalu Salsa memutus telponnya.

Salsa cukup penasaran dengan pembahasan Dhea. Mereka hampir tidak pernah membahas kampung halaman mereka. Salsa tidak banyak berpikir, ia harus makan siang dan melanjutkan kerja nya nanti. Setelah makan siang, terlintas di pikirannya tentang nasib orang tuanya, tanpa berpikir lama, ia segera menelpon ibunya.

“Halo bu?”

“Halo Kak, kenapa?”

“Bu, di sana semua baik-baik aja kan bu?”

“Baik semua, sebulan ini bapak sama ibu seneng karena di kampung ada pemuda baik, kamu kapan pulang?”

Salsa memijit keningnya, ia tiba-tiba pusing bila ditanya kapan pulang oleh ibunya, ia akan mengabaikan pertanyaan itu. “Puji syukur semua baik, pemuda siapa bu?”

“Makanya pulang biar kamu tahu siapa yang ibu maksud, kamu di sana baik-baik aja kan?”

“Aku baik bu, yasudah kalau begitu aku tutup ya bu, mau lanjut kerja.”

“Iya Kak.”

Pernyataan ibunya cukup membuat Salsa kebingungan. Ibunya menyebut seorang pemuda, kemungkinan usianya setara dengannya. Cara ibunya menceritakan pemuda itu terdengar ceria dan sangat mengalihkan perhatiannya, ia jadi penasaran dengan apa yang akan Dhea ceritakan, kemungkinan berhubungan dengan pernyataan ibunya.

Waktu berlalu, sudah saatnya jam pulang. Tak lupa Salsa mengabari Dhea bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang. Sebelum Dhea sampai ke apartemennya, ia segera membersihkan diri dan menyiapkan beberapa makanan ringan. Tak lama dari itu, Dhea sampai di apartemennya.

Dhea tergesa-gesa masuk ke apartemen Salsa, langsung membuka kulkas dan meminum air dingin yang ada. Salsa menatap biasa pada Dhea, hal yang tidak asing melihat orang yang kehausan setelah pulang bekerja dengan jalanan yang macet.

“Macet banget Dhe?” Tanya Salsa sambil berjalan ke sofa dan mengambil beberapa cemilan.

“Iya, gue nebeng sama temen kantor, tahu gitu mending gue pake ojol aja.” Jawab Dhea seraya menutup pintu kulkas dan menyusul Salsa duduk di sofa.

Salsa terkekeh lembut. “Untung gue pake ojol, jadi bisa mandi dulu tadi.”

Dhea tersenyum masam dan menghela nafas. “Lo tau lah apa yang gue maksud sampe gue bisa balik telat.”

Salsa mengangguk mengerti apa yang Dhea bicarakan, atasannya Dhea adalah atasan yang sangat perfeksionis dan galak, ia tidak akan memulangkan karyawannya bila target hariannya tidak terselesaikan.

“Abis lebaran gue resign deh, capek gue kerja di lingkungan begitu.” Keluh Dhea.

“Yakin? Gaji nya bisa bikin lo resign?” Tanya salsa dengan wajah menjengkelkan. Dhea hanya menjawab dengan gelengan kepala serta wajah yang dibuat sedih. Salsa tertawa melihat reaksi Dhea.

“Udah ah, lo mau cerita apa tadi di telpon?” Tanya Salsa dengan mode serius. Kemudian Dhea menegakkan badannya dan balik menatap Salsa dengan serius.

“Gue dapet info kalau di sana semuanya berubah.” Ucap Dhea.

“Berubah gimana?” Tanya Salsa dengan heran.

“Lo inget kan betapa batunya orang di kampung? Termasuk orang tua kita.” Jelas Dhea dengan meyakinkan.

Salsa mengangguk setuju. “Abang gue bilang, mereka engga begitu lagi, mereka jadi ramah, saling bantu, dan masih banyak lagi, Sal.” Lanjut Dhea.

“Mereka salah makan?”

Dhea menggeleng tegas. “Ada cowok namanya Imam, dia yang ngerubah kampung itu.”

Salsa terdiam, ia teringan dengan penyataan ibunya. “Dia seumuran kita ya?”

Dhea terheran. “Kok, lo tahu?”

“Tadi gue telpon nyokap, dia bilang ada pemuda baik di sana.”

Dhea dan Salsa saling tatap. Mereka berdua masih belum yakin dengan perubahan masyarakat kampung mereka. Pasalnya, sifat itu sudah sangat melekat dan mendarah daging di setiap keturunannya. Menurut Dhea dan Salsa, hanya orang-orang waras yang memutuskan untuk pergi dari kampung itu.

“Lo mau pulang gak, Sal?” Tanya Dhea tiba-tiba.

Salsa sedikit terkejut, Dhea bukan orang yang akan mengajak pulang ke kampung dengan tiba-tiba seperti ini. Kalau pun mereka akan pulang, mereka akan memikirkan hal ini lebih dari satu minggu. Karena pastinya, ketika mereka datang, mereka akan disuguhi pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengerikan. Salah satunya pertanyaan tentang menikah, penghasilan, dan dimana mereka bekerja. Mungkin terdengar sepele, tapi ketika itu di tanyakan oleh satu kampung, apa itu terlihat sepele?

Malamnya, Salsa makin penasaran dengan laki-laki itu. Ajakan Dhea sore tadi, belum Salsa jawab dengan benar, Salsa bilang akan memikirkannya lagi. Salsa mengkontak beberapa teman kamtornya tentang pengajuan work from home dari kantornya. Jika bisa, kemungkinan ia akan pulang bersama Dhea. Tapi ia terus memikirkan bagaimana jika orang-orang di sana ternyata tidak berubah. Pernyataan ibunya dan Dhea sama, terutama ibunya yang terdengar bahagia dan meyakinkan Salsa.

Tanpa berpikir panjang, ia menelpon atasannya untuk mengajukan bahwa ia akan pulang dan akan bekerja dari rumah selama satu minggu lamanya. Keputusan itu akan diberikan atasannya pada esok hari. Lalu ia menelpon Dhea untuk menanyakan bagaimana keputusannya pulang ke kampung.

“Lo jadi pulang Dhe?” Tanya Salsa.

“Iya Sal, gue pulang sama abang gue lusa, gue sudah dapat izin dari kantor soal WFH, lo gimana jadinya?”

Salsa diam, tapi ia mondar-mandir di kamarnya sambil terus menggigit jari telunjuknya. “Gue takut Dhe.” Keluh Salsa.

Dhea berdecak, ia juga merasakan hal yang sama, namun pikirannya tertuju pada orang tuanya. “Lo gak mikir kalau orang tua kita bisa aja pake pellet atau guna-guna?”

“Gak mungkin Dhe, masa iya masih ada begituan zaman sekarang.”

“Ya kita belum tahu pasti, Sal. Makanya ayo.” Dhea mencoba meyakinkan Salsa.

“Gue tadi abis ngobrol sama atasan, besok gue kabari soal izin dari kantor, nanti gue kabari lo lagi ya.”

“Okay, see you, Sal.” Lalu sambungan telpon ditutup Dhea. Tanpa berpikir panjang, Salsa segera pergi tidur.

Pagi pun tiba, tepat pada pukul tujuh pagi, Salsa mendapat pesan dari orang kantornya yang mengizinkan Salsa untukWFH. Salsa bergegas membersihakn diri dan menyiapkan beberapa pakaian yang akan dibawa ka kampung halamannya. Setelah ia menyelesaikan rutinitas paginya, ia menelpon Dhea dan mengabari bahwa ia akan ikut ke kampung bersamanya.

Tak lama, muncul notifikasi pesan masuk dari ibunya. Salsa membelakakan matanya, ia tak habis pikir ibunya akan mengirimkan pesan seperti ini. Sepertinya keputusan Salsa untuk pulang ke kampung halaman benar-benar salah.

Ibu : Salsa, kamu harus pulang, ibu mau bagi warisan dan syarat kamu untuk dapetin warisan itu harus nikah dulu sama nak Imam.

Sekarang ia melamun bagaimana cara membatalkan dirinya untuk tidak pulang ke kampung halamannya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status