Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.
Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.
Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.
Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.
Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisnis fashion ternama yang baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan Reyhan sebagai perancang desain utama.
Ternyata, pesta itu adalah perayaan atas kesepakatan bisnis mereka dan juga menjadi pertemuan pertama Reyhan dan Raisa setelah sekian lama berpisah. Berita mengenai kerja sama ini pertama kali muncul dalam laporan seorang wartawan yang meliput acara tersebut, memperlihatkan kedekatan profesional sekaligus pribadi antara keduanya.
Di pesta itu, keduanya terlihat begitu mesra, seolah tidak ada jarak yang pernah memisahkan mereka. Bahkan, saat diwawancarai oleh wartawan, Reyhan dengan terang-terangan mengakui bahwa Raisa adalah sosok istri idaman. "Dia selalu memiliki visi yang luar biasa, itulah yang membuatnya istimewa," ujarnya, membuat Raisa tersenyum penuh arti.
Naira yang mendengar pernyataan suaminya hanya bisa bergumam lirih dengan nada getir, "Pantas saja dia tidak membawaku..."
Lebih menyakitkan lagi, di media sosial Lila, Bu Maya terlihat sangat akrab dengan Raisa. Dalam video itu, ia tertawa penuh kebanggaan. "Reyhan memang pantas dengan wanita sepertimu, Raisa." Matanya penuh kepuasan, jelas meremehkan Naira.
Tangan Naira mengepal. Amarahnya, yang selama ini dikubur, mulai merayap naik. Bukan hanya karena Reyhan menggandeng Raisa, tetapi juga karena ia diperlakukan seperti sampah di hadapan semua orang.
Malam semakin larut ketika suara mobil Reyhan terdengar di halaman. Naira sudah duduk di ruang tamu, menunggu. Begitu Reyhan masuk, aroma parfum mahal masih melekat di tubuhnya. Ia melepas jas dengan santai tanpa melirik Naira sedikit pun.
"Seru sekali pestanya, ya?" Suara Naira dingin, menusuk kesunyian malam.
Reyhan menoleh malas. "Apa maksudmu?"
"Kamu tidak mengajakku ke pesta, itu tidak masalah. Aku sudah terbiasa ditinggalkan. Tapi menggandeng Raisa di depan semua orang dan mengakuinya sebagai istri idamanmu? Apa kamu pikir aku tidak akan tahu?"
Reyhan mendengus, menuangkan segelas air. "Oh, jadi kamu marah karena itu? Aku memang merindukannya. Apa salahnya jika aku sedikit mesra dengan seseorang yang pernah berarti dalam hidupku?"
Naira terdiam, tubuhnya menegang. Tapi sebelum ia bisa membalas, tawa sinis terdengar dari belakang. Bu Maya dan Lila baru saja masuk.
"Astaga, Naira. Kamu marah?" Bu Maya menutup mulutnya, berpura-pura terkejut. "Lucu sekali. Kamu pikir siapa dirimu sampai bisa cemburu pada Raisa?"
Lila tertawa. "Jangan konyol, Naira. Raisa itu berkelas, sukses, dan pantas berdampingan dengan Reyhan. Sementara kamu? Kamu cuma parasit!"
"Ah, benar juga!" Bu Maya menyeringai. "Melihat Raisa tadi, aku sadar betapa Reyhan menurun sejak menikah denganmu. Apa kamu tidak malu? Kamu cuma beban."
Naira mengepalkan tangannya, tetapi Reyhan hanya meneguk airnya dengan santai.
"Sudahlah," kata Reyhan malas. "Naira, berhenti bersikap dramatis. Kamu tahu sendiri, kalau Raisa tidak pergi ke luar negeri dulu, aku tidak akan menikah denganmu. Jadi, terima saja kenyataan."
Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pisau. Naira membeku, sementara ketiganya tertawa tanpa sedikit pun rasa iba.
Dua minggu kemudian, Reyhan pulang kerja dengan wajah merah padam. Ia membanting pintu hingga menggema di seluruh rumah.
"NAIRA!" suaranya menggelegar. Bu Maya dan Lila menoleh dengan antusias.
Naira yang tengah duduk di ruang tamu langsung menegang.
"Apa yang sudah kamu lakukan?!" Reyhan menunjukkan sebuah video viral. Di layar, Naira berdiri di depan butik Raisa, matanya penuh amarah. Suaranya bergetar, tetapi tegas. "Aku mohon, jangan ganggu rumah tanggaku. Aku sudah cukup menderita."
Warganet bersimpati padanya dan mengecam Reyhan dan keluarganya.
Reyhan membanting ponselnya ke lantai. "Kamu mempermalukan aku di depan semua orang?! Kamu benar-benar tidak tahu diri! Aku sudah cukup sabar denganmu, tapi ini… ini sudah keterlaluan!"
Naira menatapnya tanpa berkedip. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
Reyhan mengangkat tangannya, nyaris menamparnya. Tapi ia menahan diri di detik terakhir. "Kamu pikir orang-orang peduli padamu? Mereka hanya mencari drama. Dan sekarang, karena kebodohanmu, aku harus menghadapi dampaknya! Aku muak! Aku menceraikanmu! TALAK TIGA!"
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong. Naira membeku, sementara Bu Maya dan Lila bersorak puas.
"Akhirnya!" Lila berseru. "Kamu sudah cukup lama menjadi sampah di rumah ini!"
Bu Maya mendekat, menatapnya dengan jijik. "Keluar dari rumah ini. Sekarang juga!"
Naira masih terpaku, tetapi sebelum ia sempat bereaksi, Lila sudah menarik lengannya kasar dan mencengkeram rambutnya. Dengan satu gerakan kejam, ia membanting kepala Naira ke dinding. Benturan keras membuat dahi Naira sobek, darah segar mengalir membasahi wajahnya.
"Dasar pengemis menyedihkan!" Lila mencibir, lalu mendorong Naira hingga terjatuh ke lantai.
Bu Maya mendekat dan menendang tubuh Naira tanpa belas kasihan. "Jangan pernah kembali! Kamu bukan siapa-siapa lagi di sini!"
Naira terbatuk, tubuhnya gemetar karena sakit, sementara koper kecilnya dilempar keluar rumah oleh Reyhan. "Keluar sekarang juga, atau aku sendiri yang akan menyeretmu!" suaranya penuh kebencian.
Hujan turun dengan deras saat Naira merangkak bangkit. Kakinya terasa lemah, tetapi ia tidak punya pilihan selain pergi. Hujan mengguyur tubuhnya, pakaiannya basah kuyup, dan luka di lututnya semakin perih.
Naira terus berjalan tanpa arah, meskipun dunia terasa begitu gelap dan kejam.
Tiba-tiba, seseorang berdiri di hadapannya, memayunginya dengan sebuah payung kuning.
"Naira? Apa itu benar kamu?"
Suara itu… suara yang dulu begitu akrab. Namun, sosok di depannya berbeda dari yang ia ingat. Dulu, ia adalah anak SMA bertubuh gempal yang sering bercanda dengannya. Kini, pria itu tinggi, berwajah tegas, dan sorot matanya tajam.
Naira nyaris tidak mengenalinya. "Kamu… Arga?"
Arga mengangguk, matanya dipenuhi kekhawatiran. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu sendirian kehujanan seperti ini?"
Melihat wajah penuh perhatian itu, pertahanan Naira runtuh. Untuk pertama kalinya sejak semua penderitaan ini, ada seseorang yang benar-benar peduli. Tanpa bisa menahan diri lagi, air matanya bercampur dengan hujan.
Arga tidak berkata apa-apa. Ia hanya merentangkan tangannya, menawarkan perlindungan yang sudah lama tidak Naira rasakan. Dengan ragu, Naira menerima pelukannya, membiarkan dirinya menangis dalam dekapan seseorang yang memberinya secercah harapan di malam yang gelap.
Hari H pernikahan akhirnya tiba setelah 1 bulan lamanya mengurus segala hal.Gedung megah di pusat kota Jakarta dipenuhi tamu penting. Kilatan kamera, musik klasik yang lembut, dan hiasan bunga mawar putih menambah kemewahan pesta pernikahan Arga dan Arumi.Media berdatangan, dan semua mata tertuju pada pasangan “calon pengantin” yang kini berdiri di pelaminan, bersiap mengucap janji suci.Arga mengenakan jas hitam klasik, sementara Arumi tampak cantik memesona dalam gaun putih mewah, menyembunyikan kegelisahan dalam senyumnya.Tepat saat MC bersiap memulai prosesi janji nikah, pintu utama terbuka keras.“HENTIKAN!”Semua mata menoleh. Tamu-tamu terdiam. Kamera-kamera berputar ke arah wanita cantik bergaun biru tua yang berjalan penuh keyakinan ke tengah aula.Itu Naira.Di belakangnya, Reyhan mengejar, mencoba menahannya.“Naira, cukup. Kau tak harus lakukan ini. Kembalilah padaku. Aku akan terima kau apa adanya asal bukan bersamanya.”Tapi Naira menepis tangan Reyhan, lalu berjalan
Dirumah besar keluarga Wijaya.Di halaman belakang rumah besar keluarga Wijaya, Arga sedang duduk bersila di atas rumput, bermain dengan Gio. Bocah itu tertawa-tawa riang, melemparkan bola kecil ke pelukan Arga yang berpura-pura menangkap dengan susah payah.Sesekali, Arga memandangi wajah bocah itu diam-diam. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa anak itu menggemaskan dan pintar.Tapi hatinya masih penuh sangsi. Maka saat Gio berlari mengejar bola dan rambutnya tersibak angin, Arga diam-diam mengambil sehelai rambut Gio dengan modus ada serangga.Dengan gerakan halus, ia memasukkannya ke dalam amplop kecil. Tak lama setelahnya, di parkiran rumah, Bima datang dengan mobil hitamnya.Tanpa banyak bicara, Arga menyerahkan amplop itu.“Lakukan secepatnya. Aku ingin hasilnya sebelum pesta ulang tahun perusahaan,” bisiknya.Bima mengangguk.“Anda yakin, Pak?”“Jelas Aku yakin, pilih rumah sakit terbaik,” jawab Arga, suaranya pelan tapi mantap.Sementara itu, di ruang keluarga, suasan
Beberapa hari setelah Naira menghilang…Arga mulai bergerak diam-diam, namun bukan untuk menyelamatkan pernikahannya melainkan untuk mengungkap kebenaran di balik semua kekacauan.Dia tahu, kunci dari semua kekacauan ini bukan hanya Arumi atau Gio, tapi seseorang yang selama ini berada di balik layar.Arga menghubungi seorang mantan detektif yang pernah menyelidiki kasus internal perusahaan, dan nama pertama yang muncul… Alex.Alex yang telah membawa Arumi dan Gio ke kota ini, juga dia yang membiayai seluruh keperluan Arumi selama di Jakarta termasuk menentukan hari dimana penobatan Arga baru dia muncul.“Jika memang itu maumu, aku akan layani kamu Alex!” Lirih Arga menatap lurus ke depan mengepalkan tangannya.Arga lalu meminta Bima menyampaikan pada Arumi jika ia akan bertanggung jawab untuk segala hal termasuk menikahinya.Tapi kenyataannya? Itu semua hanya sandiwara dingin.Di belakang layar, ia menyelidiki lebih dalam. Ia memasang CCTV tersembunyi di kamar Arumi. Ia menanam track
Flashback – Sehari Sebelum Hasil Tes DNA KeluarLangit di luar mendung. Kantor mulai sepi setelah rapat evaluasi bulanan. Liza melangkah masuk ke pantry dengan langkah malas. Ia lelah secara fisik, tapi lebih dari itu hatinya terasa kosong.Di sudut ruangan Tina, asisten pribadi Naira, sedang merapikan map yang berserakan. Liza hanya melirik sekilas, lalu membuka lemari es mengambil air mineral.Sebuah map jatuh dan isinya tercecer ke lantai. Kak Tina membungkuk cepat, tapi sebelum ia sempat meraih semua, Liza ikut jongkok membantunya. Tanpa banyak bicara."Terima kasih, Liza..." ucap Tina pelan.Liza diam. Lalu tiba-tiba bertanya sambil menatap kosong ke lantai, “Kak Tina… Kakak udah lama ya kerja sama Naira?”Tina mengangguk pelan. “Sejak awal Bu Naira masuk Wijaya Group. Waktu itu dia langsung jadi wakil direktur dan banyak diragukan. Tapi dia kerja keras banget untuk diakui… Bahkan saat semua orang termasuk aku ragu sama dia.”Liza tertawa kecut. “Kerja keras, tapi akhirnya jadi pa
Dirumah Ibu Rina.Ruangan itu penuh ketegangan. Arga duduk di kursi pemeriksaan dengan lengan masih memeluk Naira, yang belum sepenuhnya pulih dari trauma penculikan.Di seberangnya, Arumi berdiri gemetar, wajahnya kusut dengan amarah, sementara seorang anak kecil lelaki berdiri kebingungan sambil memegang ujung bajunya.“Arga, kamu pikir kamu bisa semudah itu menyingkirkan aku?” bentaknya parau, “Aku bawa anakmu ke pesta itu bukan buat dihina, tapi buat kamu tanggung jawab!”Arga menatap tajam, matanya tak bergeming. “Anak itu belum tentu anakku, Arumi. Dan satu-satunya jalan adalah kita lakukan tes DNA. Aku nggak akan nikahi kamu hanya karena ancaman atau rasa bersalah.”“TES DNA?!” Arumi tertawa sumbang. “Setelah semua yang aku alami? Setelah keluargamu tinggalin aku, setelah ibumu buang aku seperti sampah, sekarang kamu minta bukti?!”Tepat saat itulah Liza masuk ke ruang tamu, didampingi oleh Bu Rina. Langkahnya penuh percaya diri, suaranya tajam seperti pisau yang siap membelah s
Malam itu terasa panjang, seperti enggan beranjak dari luka yang terbuka. Naira kembali ke kamar tamu di rumah Tari, meninggalkan Arga yang berdiri diam di ambang pintu, menatap punggung perempuan yang dulu begitu yakin ia cintai dan kini nyaris tak sanggup ia sentuh tanpa rasa bersalah.Sementara itu, Arga kembali ke mobilnya, melempar tubuhnya ke kursi dengan napas berat. Kepalanya bersandar pada kemudi, mata terpejam, menahan gejolak emosi yang semakin menyesakkan dada.Seluruh hidupnya terasa seperti reruntuhan pewarisan harta yang ia dapatkan kini tak berarti, karena wanita yang paling ia ingin bagi semuanya tengah menggantung di tepi jurang keputusan.Ia menginap di dalam mobil malam itu, di depan rumah Tari. Seolah hanya dengan berada dekat, ia bisa tetap memeluk harapan. Tapi pagi tidak membawa ketenangan. Pagi justru membawa kabar buruk.Ponselnya bergetar keras. Sebuah panggilan dari Liza.“Arga! Arumi menghilang! Dia kabur semalam. Dia ninggalin anaknya di rumah!”Darah Ar