Begitulah, selanjutnya aku menutup telepon dengan murung. Dan selepas aku kembali ke kamar, sungguh tak disangka, seprai sudah rapi. Bantal dan guling sudah diletakkan pada tempatnya. “Terima kasih,” gumamku. Setelah itu, aku pergi kerja. Dan lagi-lagi selama di kantor aku kembali melesu. Sekarsari kembali menyadarkanku di saat aku tertidur dalam rapat pertemuan para manajer dan direksi. Setelah rapat pun, meski aku telah meminum kopi hingga dua gelas sekaligus, rasa kantuk itu tidaklah lenyap. Barulah ketika menjelang pulang kantor tiba, mendadak rasa lelah dan kantuk itu pergi begitu saja. “Aku tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini, Sekar. Semuanya seperti mimpi, dan akalku kurasa sudah rusak,” gumamku dalam perjalanan menuju lantai bawah bersama Sekar, yang kini berjalan di belakangku. “Apa maksudmu soal akal yang rusak? Mungkin kau hanya sedang berada di titik jenuh, Bud. Kau butuh penyegaran. Kau mungkin bisa memulainya dengan mengajak istrimu bertamasya ke Solo, atau
Darah menetes di pelipisku ketika aku menyadari masih berada di dalam mobil, sementara batang pohon dari sisi sebuah hutan juga masih berada di atas kap mobilku. Beberapa batang kecilnya berhasil melubangi kaca mobil depanku, membuat kaca retak dan sebagian ranting masuk melalui lubang kaca mobil yang padahal cukup tebal. Aku masih bersyukur, kedua mataku tidak tertembus oleh batang yang meroyak kaca dan masuk secara ganjil ke tempat kemudiku. Saat keluar dari mobil secara susah payah, udara malam lantas membuatku terbatuk-batuk. Terlebih, ketika aku berusaha mengangkat batang seorang diri. “Urrrrrghhhhh!” Satu kali coba gagal. Batang malah menjatuh lagi ke kap mobil dan membuat penyok semakin dalam. “Urrghhhhh!” Aku hampir menyerah untuk yang ketiga kalinya. Membuat aku terduduk di jalanan yang hanya terdiri dari batuan kecil serta tanah berlumpur. Malam semakin larut. Entah berapa lama aku pingsan. Aku terduduk di dekat mobilku, bercangkung kaki dan terpekur di tengah hutan
“Ya. Bila seorang manusia yang menggunakan bulu perindu saja bisa membuat seorang gadis jatuh cinta hingga lupa daratan, apalagi genderuwo itu sendiri. Dan kini yang sedang membuat istrimu berubah bahkan bukan genderuwo kelas kroco, melainkan raja.” Sembari memegang batang pohon itu lagi, aku menatap wajah perempuan itu yang entah kenapa agak bersinar malam ini, seolah cahaya bulan terpendar ke parasnya, terutama ke dua bola matanya yang tampak berbinar-binar. “Itu tidak akan membuatku menyerah...” “Terserah olehmu.” Aku melihat Kinanti hanya menggunakan satu tangannya ke batang itu. Dan dalam waktu beberapa detik saja, kurasakan batang besar yang pastinya sangat berat itu tiba-tiba berubah ringan sekali, seolah aku sedang mengangkat gabus saja. Tentu, setelah itu aku bisa membuang batang itu dengan mudah. “Mereka akan datang mencarimu dan istrimu...” “Kau tahu di mana Wirda?” “Meski aku tahu, aku tak akan memberitahumu.” “Kenapa?!” “Karena itu hanya akan membunuhmu... jalan
“Kinanti...” gumaku tanpa sadar. Ketika kedua mataku terbuka, aku sudah berada di rumah sakit. Dan wajah Sekarsari bersama dua kawan kantorku tampak kulihat. “Istirahatlah, Budi. Kedua kawanmu katanya menemukan Wirda di pedalaman hutan,” ujar Sekarsari baru saja mengambil kursi dan duduk di sampingku. “Ya... bersyukurlah kalian masih bisa selamat. Aku tidak tahu masalahnya apa, tapi ini .... benar-benar aneh... kuharap kalian bisa lepas dari hal mengerikan ini, Budiman. Mungkin aku bisa mengenalkanmu beberapa orang pintar untuk membersihkan rumahmu atau keadaan kalian,” kata bosku di kantor Pak Arif Hermawan. “Terima kasih, Pak.” “Kau tak perlu memikirkan pekerjaan. Aku ingin kau pulih seratus persen dulu baru kembali lagi nanti ke kantor, oke?” “Oke,” kataku sembari terkekeh. Begitu juga Sekar. Sebentar, lelaki bertubuh gempal dengan ciri khas kacamatanya yang selalu mendoyong ke bawah itu lantas beringsut dari kamar rawat kami. Ya, Wirda pun ada di kamar yang sama. Hanya tirai
Bersama itu pula, kulihat Wirda yang telah berbalik badan. Ia terlihat tidur tenang dengan posisi telentang. “Ada hal aneh lain yang terjadi padanya? Saat ia ditemukan? Apa kau tahu?” Sekar pun melihat ke arah Wirda. “Aku hanya mendengar Wirda sempat mengamuk ketika salah satu anggota koramil hendak menggendongnya dari pendopo misterius, yang bahkan tidak pernah ditemukan oleh mereka setiap kali melakukan penyelidikan di hutan yang memang terkenal angker itu... setelah itu, aku tidak tahu apapun lagi, Bud. Wirda pingsan, dan sudah berakhir di sini... tapi, kata Jarwo dia sempat menyebut satu nama. Bukan namamu. Seseorang yang disebutnya nama lelaki lain, dan aku sangsi bila itu manusia...” “Sesosok yang menyerupai manusia?” “Mungkin.” “Siapa?” “Entah. Aku lupa. Tanya saja ke Jarwo.” Sekar kemudian beringsut dari duduknya, lalu menepuk pundakku berusaha menyemangatiku. “Yang sabar... tak lama lagi istrimu akan siuman. Sebelum dia melihatku bersamamu di sini, dan mungkin dia aka
“Simpan dulu pisaumu, Wirda,” kataku yang juga agak tegang dengan perubahan sikapnya yang drastis. “Dengar, Mas. Aku tidak mau pindah rumah!” katanya sembari mengacungkan pisaunya sesaat ke arahku, lalu ia kembali berlalu ke dapur dan kudengar ia memotong daging sapi kembali di talenan besar. BRAAAK...BRAAK... BRAAK. “Apa kau tidak menyadarinya, Wirda?” kataku di bibir pintu penghubung ruang makan dan ruang keluarga itu. “Sejak kita berada di rumah ini, hal-hal aneh selalu datang menyertai kita. Kau seharusnya sepenuhnya menyadari itu, Wirda. Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Kita harus pindah dari sini...” “Tidak, Mas. Aku bilang, tidak, ya tidak!” “Lalu apa alasanmu?! Kau sama sekali tidak memberitahu alasanmu apa! Kau ingin bertahan seperti ini, hah?” “Bukan rumah ini yang menjadi masalahnya, tapi kita.” Aku mulai agak emosi. “Ya. Aku tahu. Tapi, apa kau melupakan begitu saja keganjilan yang terjadi sejak kita pindah ke rumah ini?! Dimulai dari mimpi anehmu. Mimpi
Aku hanya mengangguk kecut sembari kuraih wajahnya yang berpeluh banyak itu, lalu kukecup keningnya, sebagaimana biasanya kami dahulu melakukannya sebelum aku berangkat kerja. Saat aku berjalan meninggalkannya menuju pintu ruang tamu. Entah kenapa, tengkukku merasa merinding, dan aku merasa Wirda berdiri di belakangku, memerhatikanku. Oleh karena itu aku lantas menolehnya. Dan benar, istriku sudah berada di pintu antara ruang keluarga dan ruang makan. Mematung di sana, seolah tubuhnya membeku. Matanya nanar menatapku, seraya kulihat satu tangannya agak bergetar. “Aku akan meminta seorang Mbak Kurnia yang kemarin sempat membantu kita ketika kita pingsan di sini untuk menemanimu. Dia baru saja punya anak, kuharap kau bisa...” “Ya... terima kasih, Mas.” Wirda tersenyum. Agak menyeringai. “Baiklah...” “Aku akan baik-baik saja. Hati-hati di jalan.” Senyuman itu benar-benar menghantuiku. Di kantor, setiap aku menulis pembukuan bank, dan mencatat beberapa laporan nasabah, aku selalu
Kami benar-benar tidur bersama malam itu. Meskipun, Wirda tetap membisu semalaman. Selama aku memeluknya dari belakang pun, Wirda terdiam. Ia tetap memunggungiku seolah aku adalah orang asing yang mesti diwaspadai. Sebetulnya ada keinginan dalam diriku untuk bercinta dengannya. Mencumbu tengkuk lehernya, kemudian meraih wajahnya dan kucumbu bibirnya. Tentu saja, itu semua karena kami suami-istri. Tapi, melihat Wirda yang terus memunggungiku, bahkan ketika pelukanku mulai berubah menjadi belaian ke arah buah dadanya, Wirda lantas menepis tanganku. “Kupikir, kamu sudah tidur,” kataku mencari-cari alasan. “Belum... aku berusaha untuk tidur, Mas,” katanya. Kami lalu terdiam cukup lama. Wirda tampak mengubah posisinya jadi terlentang. Dan sungguh entah mengapa dalam kondisi seperti itu, Wirda jadi semakin cantik daripada biasanya. Apa yang terjadi padanya. “Apa kamu melakukan perawatan?” “Nggak.” “Aku merasa kamu tambah cantik.” “Jangan menggodaku, Mas,” katanya malah ketus dan kem