Halo My Lovely readers, Happy reading 🤍
“Andin,” suara Dewa terdengar dalam nada tenang tapi penuh instruksi dari luar pintu kamar. Sudah pukul delapan pagi, gadis itu belum menampakkan batang hidungnya.Di luar kamar Dewa malah sudah terlihat rapi bahkan sudah membuat sarapan untuk mereka. Hari itu kebetulan hari minggu sehingga ia tidak pergi ke kantor.“Kita akan pergi ke rumah Ibu,” lanjut Dewa dengan menghela nafas pelan.Saat mendengar suara Dewa, Andini nyaris menjatuhkan lip balm yang sedang ia oleskan ke bibirnya. “Ke rumah… Tante Ratih? Ngapain?” tanyanya gugup.“Bukan Tante. Sekarang panggil beliau Ibu,” jawab Dewa dengan datar. “Tentu saja aku akan memperkenalkanmu pada Ibu dan Ayah sebagai istriku.”Andini membeku di tempat. Bibirnya menggantung seperti habis melihat setan. Ia acapkali lupa jika sedang banyak pikiran. Semalam saat ia tidur, ia mendapat telepon dari kawannya di Malaysia. Ia berkonsultasi dengannya soal obat. Alhasil ia kurang tidur.“Iya, Om. Sebentar aku sedang … sedang merapikan barang-barang,
“Andini, kita sudah sampai,” imbuh Dewa tepat ketika mereka sudah memasuki area parkir apartemen Cosmos.Dewa menarik nafas dalam, mendelik ke arah gadis yang kini ternyata sudah tertidur dengan kepala terkulai pada sisi jendela. Rambut panjangnya bahkan sudah menutupi wajahnya mirip sundel bolong. Nafasnya teratur.“Andini, sudah sampai.” Suara Dewa naik satu oktaf. Bisa-bisanya, Andini tertidur. Padahal seingatnya gadis itu bercerita banyak hal padanya soal kuliah dan sahabatnya bernama Naura yang kocak.Bagaimana bisa ia langsung tertidur setelah berceloteh banyak mirip seekor anak bebek.Tangan Dewa terangkat, hendak menoel lengan gadis itu. Ragu, ia mencondongkan tubuhnya hendak menyingkirkan helaian rambutnya yang berantakan.Namun sebelum itu terwujud, Andini sudah terbangun.“Maling!” teriaknya sembari memukul ke sembarang arah. Akhirnya, Dewa mendapat hadiah bogem mentah tepat di wajahnya.“Andini! Kamu mimpi ya,” gerutu Dewa segera menangkap pergelangan tangan Andini.Nafas
“Pak Andika, saya minta waktu lima menit,” ucap Dewa datar. Jelas saja, ia tidak terima keputusan Andika. Ia sudah mengikat janji dengan Andini. Andini bahkan sudah bersedia menikah dengannya. Meskipun pernikahan kontrak—yang hanya mereka saja yang tahu.Andika menarik napas. Ia yakin seratus persen, ada sesuatu di balik lamaran diadakan itu. Satu hal yang pasti, ia tidak ingin Andini masuk ke dalam keluarga Hadinata dan mengusik Amanda.“Saya sudah bicara dengan Andini, lamaran Anda terlalu mendadak. Saya menolak.”Andini menelan salivanya. Ia bingung. Bagaimanapun, wali yang berhak menikahkannya ialah sang ayah. Ia harus cari cara apapun agar ayahnya setuju.“Tolong beri saya kesempatan. Saya hanya ingin mengobrol berdua.”Dewa tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Andini sampai mengerjapkan matanya, heran dengan sikap pantang menyerah Dewa. Sebetulnya, dalam lubuk hati terdalam, ia masih penasaran. Mengapa Dewa memilih dirinya sebagai istri kontraknya. Andika menghela nafas. Ia pu
Siang itu, setelah drama hutang dan transfer lima miliar, Dewa mengajak Andini pergi makan siang. Tanpa bertanya, tanpa memberi pilihan.“Aku belum bilang iya,” protes Andini saat mereka sudah duduk di dalam mobil. Suasana hati gadis itu memburuk. Bukan tanpa alasan, pertama ia kesal karena ternyata utang ayahnya belum lunas. Ke dua, ia kesal karena Dewa menciumnya dengan seenaknya. “Terlambat. Kamu naik mobil aku, otomatis setuju,” balas Dewa santai, menyetir sambil menyetel lagu jazz instrumental.“Kamu tuh selalu ngatur!” gerutu Andini sembari menggosok pipinya dengan tisu basàh.Dari kaca spion, Dewa mengerutkan keningnya tatkala tatapannya tertuju pada gadis di sebelahnya. Seketika ia pun berkata. “Kamu pernah ciuman gak sama Bima?”Andini hanya bisa mendengus. Ia melihat jendela mobil dengan bibir yang mencucuk seperti paruh bebek. Dewa menarik sudut bibirnya. “Jangan bilang kalau tadi itu ciuman pertamamu!”Mendengar perkataan Dewa, Andini menoleh dengan tatapan yang tajam. “B
Dengan enggan, Andini membiarkan Adrian masuk hingga ke teras. Mereka berdua duduk dipisahkan oleh sebuah meja berbentuk bulat. Adrian membuka map, lalu menyerahkan selembar dokumen.Andini terperangah. “Pinjaman? Ayah punya hutang?”“Ini mengenai pinjaman sebesar lima miliar rupiah... atas nama perusahaan Pak Andika.” Adrian menambahkan dengan begitu tenang. Sementara itu, Andini memucat.Masalah apa lagi kali ini? Mengapa hidupnya penuh masalah?Beberapa detik, Andini baru sadar, sang ayah memang pernah meminjam uang untuk menutupi kerugian perusahaan teh yang dikelola olehnya. Namun … bukankah sang ayah sudah menjual aset miliknya—berasal dari warisan almarhum ibunya?Tanpa sàdar, Andini menggeram kecil. Ia kesal pada sang ayah.“Lima miliar?” tanya Andini kembali, masih tak percaya. Adrian mengangguk tenang. “Sudah termasuk bunga. Lima miliar, dua ratus juta rupiah,”Andini meneguk salivanya. Mengapa bisa kebetulan? Dewa menawarkan kerjasama dengan uang kompensasi sebanyak Lima
Malam itu, Dewa masih berada di jalan setelah mengantar Andini pulang. Saat ia masih mengemudikan mobil Maybach hitam miliknya, sebuah notifikasi Whatsapp masuk. Andini mengirim pesan.Dewa membuka dengan malas. Tapi matanya langsung membelalak saat membaca pesan itu.[Om Dewa, ayo kita nikah!]“...APA?” gumam Dewa pelan namun ia tak lantas menjawab pesan itu.Ia menatap layar ponsel cukup lama, seolah memastikan itu bukan spam dari iklan situs nikah siri. Tapi tidak salah. Itu benar dari Andini. Lengkap dengan emoji cincin dan love kecil di bawahnya.Dewa langsung terduduk tegak, kemudian fokus kembali ke jalan sembari tersenyum tipis.Sesampainya di apartemen, Dewa melemparkan jasnya ke sofa dan menjatuhkan diri ke ranjang seperti aktor laga yang gagal take. Sepatu masih nempel. Dasi setengah melilit leher. Matanya memandang langit-langit sejenak, lalu menoleh ke ponsel di samping bantal.Pesan Andini masih terpampang jelas di layar.“Hah...” Dewa menghela napas panjang. “Gadis aneh
Bima duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang tak kunjung fokus. Sejak tadi, pikirannya tidak bisa tenang. Bayangan itu terus muncul… wajah Andini—bukan dengan kacamata tebal dan pakaian polos seperti biasanya, tapi dalam balutan dress lembut saat di pesta ulang tahun Ratih. Rambutnya disanggul sederhana, wajahnya natural namun bersinar. Sangat cantik untuk dilupakan.Kenapa aku baru sadar sekarang?Kemudian ia teringat akan aksi Andini saat melakukan pertolongan pertama pada tantenya. Tak bisa dipungkiri. Muncul kekaguman dalam batinnya, tanpa ia sadari.Ternyata ia telah membuang permata demi …Bima mengembuskan napas, meneguk kopi yang sudah dingin. Rasa pahitnya makin mempertegas kekesalannya. Ia kesal pada Andini dan Dewa termasuk pada dirinya sendiri.Ia membanting cangkir kopi ke meja, terlalu keras, hingga tumpah sedikit.“Bodoh,” gumamnya lirih. “Kau biarkan dia pergi begitu saja.”Satu memori menamparnya pelan.Beberapa bulan yang lalu. Saat ia jatuh sakit karena k
Tanpa tedeng aling-aling, Andini langsung menepis tangan Amanda yang menghalanginya. Ia harus segera menolong Amira. Jika tidak … semua pasti akan terlambat. Nyawa Amira tidak bisa diselamatkan.Andini menatap Bima. “Dia butuh oksigen dan relaksasi saraf. Saraf vagus-nya overstimulated. Aku nggak bisa sembuhkan sekaligus, tapi bisa bantu stabilkan.”Andini membuka tas selempangnya, mengeluarkan sebotol kecil minyak atsiri khusus dan kotak kecil berisi jarum akupunktur steril.Semua mata menatapnya ragu.“Apa yang kau lakukan?” tanya Bima cepat, cemas.“Aku mahasiswa Farmasi. Aku juga herbalis. Ibuku dulu ahli akupunktur. Aku pernah bantu pasien seperti ini. Percayalah,” ujar Andini sambil mensterilkan jarum.Andini segera menusuk titik GV26 (di bawah hidung) Amira dengan hati-hati.Bima tahu Andini bisa menyembuhkan beragam penyakit dengan resep obat herbal racikannya. Namun, malam itu ia baru pertama kali melihat Andini mengeluarkan jarum akupunktur.“Ini titik darurat kejang dan kehi
Dewa berkedip beberapa kali. Ia nyaris tidak mengenali gadis cantik yang berdiri anggun di depannya. “Om, jelek ya?” kata Andini membuat Dewa sàdar bahwa gadis di depannya adalah Andini.“Enggak! Kamu… kelihatan berbeda,” jawab Dewa dengan berdehem pelan. Andini memutar badannya pelan, geli melihat ekspresi pria itu. “Ini hasil kombinasi torture dan hairspray, Om—eh, Mas Dewa.”Dewa masih terlihat canggung. “Ya... lumayan. Setidaknya kamu gak terlihat anak kutu buku.”Andini menaruh tangan di pinggang. “Aku pake softlens.”Dewa mengangguk pelan. Pria itu bahkan sudah memesan softlens sesuai dengan ukuran minus Andini. “Sebaiknya kamu pake softlens terus—”“Kenapa? Emang aku jelek pake kacamata ya? Tck,” protes Andini dengan bibir yang mencucuk.Dan mereka pun keluar dari apartemen, menuju pesta keluarga Hadinata.Sepanjang jalan, Andini merapalkan doa, berharap tidak akan terjadi sesuatu yang menakutkan saat ia berada di sana.Ia sedikit khawatir akan bertemu dengan Rania. Rania buka