Makasih udah baca sampai sini my luv. Kalau suka, jangan lupa support ceritanya ya bisa kasih komen, gem & gift juga dengan senang hati gak bakalan nolak, ya—biar cerita ini tetap hidup dan nggak tenggelam kayak kapal Titanic. Dukung terus, sebelum author banting setir jadi penjaga kebun singkong di isekai. Bye ...
Sebelum Andini sempat bertanya ‘ini apaan maksudnya’, Dewa sudah menundukkan wajahnya. Sangat dekat. Sangat. Jaraknya tinggal beberapa sentimeter dari bibir Andini.Andini menegang. Matanya membelalak. Tangannya panik mencari pegangan, dan…“Krek!”Tangan Andini menyenggol meja kecil tempat minuman herbal diletakkan. Cangkir yang belum sepenuhnya kosong itu terjatuh—pecah menghantam lantai balkon. Pecahannya muncrat ke mana-mana.“Ough!” Andini spontan menunduk, refleks ingin meraih pecahan. Tapi satu beling tajam menyayat jari telunjuknya.Darah langsung mengalir. Tidak banyak, tapi cukup membuat wajah Andini panik.“Duh, sial... aku—”Belum sempat dia menarik tangannya lebih jauh, Dewa sudah lebih dulu memegang pergelangan tangannya dengan lembut namun tegas.“Diam. Jangan gerak,” ucapnya pelan tapi tegas.Andini menatap Dewa yang kini membungkuk sedikit, membawa tangan gadis itu mendekat ke wajahnya.“Om… aku bisa bersihin sendiri—”Tapi Dewa sudah lebih dulu menatapnya tajam. “Beri
Dewa menghela nafas pelan. Matanya menatap Andini dalam-dalam, terlalu dalam hingga membuat gadis itu gugup sendiri. Seolah ingin mencari tahu seberapa jauh makna ‘apa pun’ yang baru saja dilontarkan.Lalu, perlahan, Dewa menyandarkan tubuh ke sofa. Ia menyilangkan kaki, menautkan jari-jari tangannya di depan dada, lalu mengangkat sebelah alisnya dengan tajam.“Apa pun, ya?” ucapnya pelan tapi jelas, seperti baru saja mendengar janji maut. “Jangan sembarangan lempar kata kalau kamu sendiri belum siap bayar harganya, Andini.”Andini menelan saliva. Sial. Suara Dewa terlalu dingin untuk disebut bercanda, tapi terlalu tenang untuk dibilang marah.“Aku serius…” lanjut Andini meskipun mendadak suaranya gemetar.“Serius karena dendam, atau serius karena kamu ingin aku menaruh perhatian?”“Om!” geramnya, nyaris melemparkan bantal sofa saking kesalnya.Dewa tersenyum miring. Senyum khasnya yang menjengkelkan sekaligus menawan. Seperti sedang menikmati permainan ini.“Kamu tahu Bima itu kepona
Di kantor CEOAndini sudah duduk di kursi empuk, masih sedikit kaku setelah berganti baju di ruang ganti kantor. Ia memakai blouse putih—yang dibelikan oleh Dewa, rambutnya disanggul rapi, tapi tetap ada aura polos yang sulit disembunyikan.Dewa masuk membawa dua gelas minuman hangat, sambil tersenyum tipis. “Ini buat stamina kamu,” katanya sambil menyerahkan satu gelas pada Andini.Andini menerima dengan tangan sedikit gemetar, tapi berusaha terlihat santai. “Om, kamu serius ya? Ini herbal racikan kamu?”Dewa mengangguk, lalu duduk di kursinya, membuka laptop dan menatap layar sejenak.“Herbal khusus, buat yang sering kerja lembur, dan buat yang baru dikerjai satpam.”Andini tersenyum kecil. “Kalau begitu aku resmi jadi korban eksperimen herbal Om.”Dewa mengangkat gelasnya. “Kamu yang pertama. Kalau berhasil, aku bikinkan lagi.”Andini meneguk teh hangat itu. Rasanya agak pahit tapi anehnya menenangkan. “Hmm… ini rasanya… Ish, Om ini mah teh tawar?”Dewa tertawa melihat ekspresi And
Baru saja Andini melangkah mundur dengan mata memanas, lift terbuka—dan keluar dari sana, Dewandaru Hadinata dengan tatapan datarnya yang khas. Di belakangnya, asisten pribadi membawa tablet dan ponsel, bergegas mengikuti.Sekejap, Dewa menghentikan langkah. Matanya langsung menangkap sosok Andini yang sedang dihalangi oleh dua satpam. Nafasnya terhenti sesaat melihat wajah istrinya yang kusut, tertahan, dan nyaris menangis.“Andini?” Dewa berseru.Semua orang menoleh. Satpam refleks menunduk. Resepsionis langsung mematung.“Om... eh, Mas Dewa...” ucap Andini lirih.“APA yang kalian lakukan padanya?” suara Dewa rendah tapi tajam, seperti ancaman berlapis baja. “Dia istriku. ISTRIKU!”Satpam langsung pucat. “Kami tidak tahu, Pak. Soalnya—penampilannya—kami pikir...”“Jadi kalian nilai seseorang dari penampilan?” bentak Dewa.Jelita maju beberapa langkah, berusaha meredam. “Om, maaf. Mereka hanya menjalankan SOP kok. Gak ada yang bermaksud—”“Tutup mulutmu, Jelita.” Mata Dewa menatapnya
Andini baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut separuh basah dan kaos oversized bertuliskan Obat adalah racun yang diberi dosis. Sementara itu Dewa sudah rapi dalam kemeja putih dan celana hitam, sedang berdiri di dapur dengan ekspresi datar menatap sebuah panci kecil di atas kompor gas.“Ini apa?” tanya Dewa sambil menunjuk ke panci yang mengeluarkan aroma aneh. Andini langsung berseri-seri. Ia menjelaskan dengan antusias. “Itu herbal buat stamina! Aku racik sendiri pakai jahe merah, ginseng, madu hutan, dan sedikit—eh—lada putih.”Dewa menatapnya seolah dia baru saja mendengar bahwa ramuan itu dibuat dari campuran nuklir dan cabai rawit. Bukan tanpa alasan, aromanya memang agak beda, menyengat. Namun ia sama sekali tidak keberatan dengan apa yang Andini lakukan.“Lada putih?” ulangnya.Andini mengangguk penuh percaya diri. “Biar efeknya nendang!”“Yang nendang siapa? Ramuan ini atau aku setelah minum?” Dewa duduk di kursi sambil membuka kancing kemejanya satu per satu denga
“Aku kira kamu kenapa-kenapa,” suara Dewa serak, masih terdengar sisa kekhawatiran di ujungnya.Andini masih mematung setelah pelukan singkat tapi intens itu. Tangannya menggenggam ujung bajunya, jantungnya berdetak seperti alarm yang tak kunjung dimatikan.“Aku baik-baik aja, Om,” bisiknya pelan, tanpa berani menatap. Sial, mengapa ia tidak bisa menolak pelukan pria dewasa itu.Dewa melangkah masuk, koper diseret sembarangan ke sisi pintu. Suasana apartemen mendadak terasa sesak. Bukan karena panas, tapi karena atmosfer canggung yang menggantung di antara mereka.Andini menyusul pelan, duduk di ujung sofa, menjaga jarak seperti siswa takut guru piket.Dewa berdiri di hadapannya, kedua tangannya bersedekap, wajahnya tak semarah yang dibayangkan Andini… tapi juga jauh dari tenang. “Coba jelaskan!”Andini mengangkat mata lalu ia pun mulai menceritakan kronologi apa yang terjadi sejak ia bangun tidur kemarin hingga memutuskan menonton bioskop bersama Naura.Dewa menghela napas panjang, m