Andini mengedarkan pandangannya. Menoleh sekali lagi. Memastikan apakah ada penguntit atau tidak.Dan, ia hanya melihat seekor kucing lucu di belakangnya.Andini sontak tersenyum. Masih sempat-sempatnya menghampiri kucing itu.“Hei, kamu lucu banget,” gumam Andini sembari menundukan tubuhnya, mengusap kepala kucing itu dengan begitu lembut. Meow, meow, meow Kucing liar itu mengeong saat mendapat perhatian dari Andini. Andini sedikit terkesiap manakala menatap telinga kucing itu yang terluka.“Kamu berantem ya? Cuping telingamu berdarah,”Andini menoleh ke depan, beberapa meter lagi ada halte. Bus menuju indekosnya sudah datang. Namun ia menunda kepulangannya.Gadis berkacamata itu merasa kasihan pada kucing itu. Ia memilih memangku kucing itu lalu membawanya ke trotoar. Di sana, ia mengobati kucing itu dengan salep—yang kebetulan ada di dalam tasnya.“Kamu lucu banget. Aku pengen bawa kamu. Tapi aku gak tahu kamu punya orang atau kucing liar—” katanya setelah mengobati kucing itu.K
“Hah... akhirnya balik juga ke tempat penderitaan ini,” gumam Andini sambil memeluk map pink berisi berkas KRS.Ia berdiri di depan gedung Fakultas Farmasi, menatap langit Malaysia yang mendung tipis-tipis. Serius, vibe-nya udah kayak opening drama Korea, tinggal ada cowok cakep nabrak dia sambil jatuhin buku organik.Sayangnya yang datang malah suara teriakan cempreng.“Andin! Kamu beneran balik?!”Rika, sahabat satu angkatan yang selalu heboh kayak loudspeaker rusak, langsung lari menghampirinya. Ia juga berasal dari Indo.Andini nyengir. “Iyalah, kan cuma libur semester akhir tingkat tiga. Bukan pensiun kuliah. Oh, maksud kamu, aku jadi diberhentikan dari kampus gitu?Rika nyengir. Namun ia tidak berani membahas hal itu. Ia menjaga perasaan Andini. Ia akan berkomentar saat Andini lebih dulu curhat padanya. “Enggak, tenang aja. Aku percaya kamu kok. Aku kira kamu kabur ke hutan buat jadi tabib atau semedi, sumpah!” Rika memeluk Andini sambil lebay, “Aku kangen tau.”“Kenapa kamu bar
“Kamu yakin ini perlu?” Dion—research scientist sekaligus sahabat Bima, dari balik meja bertanya pelan dengan ekspresi wajahnya ragu. “Kenapa mesti diubah? Bukannya tadi batch ketiga udah stabil?”Bima tak langsung menjawab. Ia malah menuang cairan biru ke dalam larutan bening—reaksi instan membuat cairan itu jadi kehijauan, tanda efek kimia baru terbentuk.“Justru karena udah stabil,” katanya akhirnya, suaranya dingin. “Makanya harus diacak sedikit.”Dion mengerutkan dahi. “Tapi... kalau ini ketahuan Pak Dewa, kita bisa habis, Bim,”Bima tertawa pendek. “Makanya, Dion. Aku ubah dosisnya. Ganti beberapa komponen aktif sama bahan legal yang susah dilacak. Kalau mereka mau ngecek hasil lab, ya silakan. Gak bakal cocok sama yang nyokap Andini buat.”“Kamu jahat juga ya,” gumam Dion. Meskipun Bima adalah keponakan dari Dewa, ia tidak yakin jika Dewa bisa bersikap subjektif. Justru semenjak di bawah kepemimpinannya, perusahaan PT Hadinata Pharmaceutical mulai mengalami banyak perubahan. D
“Om, kamu bawa dompet ‘kan?” tanya Andini menatap Dewa dengan tatapan serius. “Bawa. Kenapa? Jangan bilang kamu mau minta traktir ngopi di bandara?” tukas Dewa menoleh sesaat, lalu kembali ia fokus ke jalan.Andini tertawa sambil membetulkan poninya di kaca mobil. Matanya masih sembab, tapi pipinya mulai kembali bersinar. “Enggak. Takutnya lupa. Atau jangan-jangan dompetnya punya tangan dan kaki. Dia jalan-jalan duluan ke Thailand—” kata Andini menyindir Dewa—yang sudah dengan teramat tega menyembunyikan passport miliknya. “Kamu lagi nyindir aku ya.” Dewa nyengir, tangannya tetap mantap di kemudi, membawa mobil melaju ke arah bandara.Andini hanya terkekeh pelan. Pria dewasa di sampingnya memang agak absurd. Perjalanan pagi itu mendadak hening sejenak. Di luar jendela, langit Jakarta masih berwarna abu-abu, seperti ikut berat melepas Andini pergi. Dewa melirik sesekali. Tangannya ingin menggenggam tangan Andini, tapi gengsi masih menang.“Mau nyetel lagu?” tawar Dewa, mencoba menca
Dewa refleks berdiri. “Bulan depan, ya? Hmm. Nanti tidak ada yang membuatkan herbal lagi setiap pagi.”Andini ikut berdiri, lalu mendekatinya. “Aku sudah membuatkan stok, Om. Tapi hanya cukup untuk satu minggu saja—”Dewa tak bisa menahan senyumnya. Ia menunduk, menarik napas panjang, lalu menatap Andini dalam-dalam.“Aku belum siap ditinggal,” gumamnya lirih, meski masih berusaha terlihat tenang.Andini terkekeh, lalu meraih tangan Dewa yang sedari tadi terlipat. Tunggu, kenapa mereka terlihat seperti suami istri sungguhan?“Om Dewa, aku hanya akan masuk kuliah, kok—”Dewa terdiam. Lalu tiba-tiba, tanpa aba-aba, memeluk Andini—pelukan yang gengsi, tetapi erat.Andini membeku. Mengapa Dewa memeluknya? Dan mengapa pelukan itu terasa begitu nyaman?Waktu seolah melambat. Saat Dewa akhirnya melepaskan pelukan, pandangan mata mereka bertemu.“Mau pamitan ke mana dulu?” tanya Dewa, mengalihkan pandangan ke dinding.“Um, terserah Om. Mau ke rumah Ayah dan Ibu atau ke rumah Ayahku dulu,” jaw
“Kamu masih suka komunikasi dengan Bima?” tanya Dewa tiba-tiba.Andini langsung mendongak, alis naik setengah senti. “Lah, kok Om bawa-bawa nama Bima lagi sih? Emangnya dia nyangkut di tenggorokan?”Dewa langsung nyesel. Ya, salah lagi. Dia tuh kadang lupa kalau pertanyaan random bisa langsung nyulut sirene. “Cuma nanya doang, Din. Tanya doang. Gak pake maksud.”Andini manyun. “Iya, nanya doang. Tapi udah kayak polisi curiga. Jangan-jangan Om ada cita-cita lain sebelum jadi CEO?”Dewa nyengir kuda tapi juga kepikiran. Ini cewek kok bisa banget ya nyeletuk gitu. Dia narik napas dalam. Banyakin. Konon, menghadapi perempuan itu harus kayak cenayang. Banyak baca ekspresi dan reaksi. Bahkan kalimat yang diucapkan pun kalimat yang bersifat ambigu.Saat bilang ‘nggak’, bisa jadi ‘iya’.Bilang ‘aku gak apa-apa’, artinya ‘kamu udah jahatin aku.’Dan kalau udah bilang ‘terserah’, mending kalian kabur sekarang juga.Dewa senyum tipis. Ia yang badmood. Tapi melihat Andini badmood semakin menamba