Happy reading, happy weekend ya... Jangan lupa support novelnya 🤍
Sepulang dari dokter kandungan, Dewa dan Andini duduk di sofa ruang tamu. Mereka sibuk berbincang tentang pernikahan dan masa depan mereka. Tangan Dewa tak lepas menggenggam tangan Andini yang berada di pangkuannya. Sesekali, ia melirik istrinya yang duduk di samping, wajahnya masih menyimpan rona haru setelah melihat hasil USG tadi. Bagi Dewa itu semua adalah keajaiban. Ia tidak menyangka meski ia terlambat menikah, namun akhirnya ia bisa dengan mudah mendapat momongan dari istrinya. “Andin…” suara Dewa berat, sedikit serak. “Kamu lihat tadi, kan? Jantungnya… berdetak cepat sekali.”Andini tersenyum kecil, tapi matanya berkaca-kaca lagi. “Iya, Mas. Masih kecil banget, tapi… nyata. Ada kehidupan di sini.” Tangannya refleks menyentuh perutnya yang masih datar.Dewa mempererat genggaman. “Dua bulan. Kecil, tapi sudah bikin hati aku berbunga-bunga.” Andini tersenyum simpul mendengar perkataan suaminya. “Boleh aku ngomong sama dia?” tanya Dewa pelan.Andini tersipu, tapi mengangguk.
Rombongan kelompok tiga yang terdiri dari dr Tantri, dr Dipta, dr Gilang, koas Naura dan koas Vina akhirnya sampai di sebuah area datar yang lumayan luas. “Selamat datang di pos pertama!” sambut panitia dengan antusias.Peserta berkumpul di area flying fox yang membentang di atas lembah kecil. Angin berembus cukup kencang, membuat suara tali berderit-derit halus. Dari bawah, terlihat pepohonan hijau rimbun, tapi dari ketinggian, pemandangannya bisa bikin lutut lemas, gaes.“Baik, siapa yang mau duluan?” pemandu outbond bersuara semangat. Tatapannya langsung tertuju pada Vina–yang kebetulan berada di paling depan di antara kelompoknya.Vina langsung mengacungkan tangan. Senyumnya lebar, seolah ingin menunjukkan keberaniannya. Ia mengibaskan rambut ekor kudanya dengan centil. “Aku dulu deh. Kan harus ada yang kasih contoh,” katanya, lirikan matanya jelas diarahkan ke Dr. Dipta.Dr Dipta hanya memasang wajah datar. Minim ekspresi seperti biasa.Naura mengernyit, memeluk lengan ranselnya
“Aku baik-baik saja, Vin,” kata Dipta menegur Vina yang sedari tadi berusaha menempel padanya mirip lalat. Meskipun dengan cara yang sangat halus, Dipta bisa merasakan jika Vina cukup agresif berusaha mendekatinya. Dengan cara apapun.Dipta tidak nyaman namun tetap berusaha fokus pada kegiatan outbond. Apalagi tadi Naura sempat mendelik tajam ke arahnya.Naura menunduk, menahan rasa yang sulit ia jelaskan. Hatinya berdegup kencang, bukan karena jalannya menurun, tapi karena interaksi kecil antara Vina dan Dipta. Satu tangannya tanpa sadar mengepal hingga memperlihatkan otot-otot hijau di punggung tangannya.“Vina maksudnya apa sih. Nempel ke si Didi? Apa jangan si Didi juga suka ditempelin makhluk agresif itu?”Sayang, gerutuny
Mobil hitam milik Dewa meluncur tenang di jalanan Jakarta yang mulai padat. Sesekali tatapan Dewa terarah ke wanita di sebelahnya yang sedang sibuk menatap layar ponsel.Perut Andini memang belum menampakkan perubahan berarti, tapi bagi Dewa, dua bulan usia kandungan itu sudah cukup untuk membuatnya siaga dua puluh empat jam.“Andin, jangan lama-lama main ponsel. Katanya bikin pusing, nanti berpengaruh juga ke bayi,” ucap Dewa tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Andini menoleh, terkekeh kecil. “Sayang, aku cuma baca artikel doang kok. Lagi cari tahu apa yang boleh dimakan sama yang nggak.”“Nggak usah repot-repot, aku sudah tanyain semua ke dokter. Ada catatannya di rumah. Kamu tinggal ikutin aja,” jawab Dewa cepat, suaranya
Seluruh peserta outbound sudah berkumpul di lapangan rumput yang agak lembap. Angin pegunungan berembus, membuat udara terasa segar sekaligus menambah semangat. Panitia berdiri di depan, memakai rompi oranye terang dengan peluit di leher.“Selamat pagi semua! Selamat datang di kegiatan outbound dan camping RS Aurora Medika!” seru salah satu panitia dengan suara lantang.“Hari ini kita bukan dokter, bukan perawat, bukan staf rumah sakit. Hari ini kita adalah satu tim besar yang akan belajar kerja sama, keberanian, dan tentu saja… bersenang-senang!”Suasana langsung riuh, sebagian bertepuk tangan, sebagian hanya saling lirik.Dari belakang, perwakilan HRD RS Aurora Medica, Mbak Tania maju sambil membawa mic. “Acara ini adala
Andini membuka pintu apartemen dengan wajah muram. Dewa yang baru pulang lebih dulu, tengah melepas jaketnya, langsung menoleh.“Din?” suaranya pelan, namun sarat cemas. “Kenapa? Mukamu pucat banget. Mual lagi gak?”Andini hanya meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk dengan gerakan lelah. Ia mengusap wajahnya, menahan perasaan yang mengganjal.“Capek?” Dewa mencoba menebak sambil duduk di sampingnya. Menatapnya lekat.Andini menggeleng. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menunduk, tak berani menatap Dewa. “Ayah…”Andini tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Mendadak, lidahnya terasa kelu. Ia masih merasa sedih. Kunjungan ke rumah ayahnya sangat mengecewakan. Sesuai dugaaannya.“Sayang, kamu masih marah sama Ayah? Apa kamu juga kecewa padaku? Gara-gara aku hubungan kalian memburuk,” ujar Dewa mencoba memahami perasaan Andini yang begitu sensitif kali ini. Ia tahu suasana hati wanita hamil tidak bisa diprediksi.Dewa mendesah pelan. Okay, ia tidak mau bersikap gegabah, namun melihat Andini yan