“Jadi kapan Tante Kinan ke sini lagi, Pa?”Pertanyaan dadakan dari sang putri, membuat Damar sedikit terkejut.“Kenapa memangnya, Nak?” tanya Damar lembut. “Ih, Papa nih! Aku tuh kangen main sama Tante Kinan, tahu? Kan udah lama banget, Papa nggak ajak dia ke sini?” gadis kecil itu menekuk wajahnya. Itu benar. Selain karena memang Damar disibukkan dengan pekerjaannya, juga karena pria itu merasa sangat aneh jika berdekatan dengan Kinanti. Seolah ada rasa tak ingin jauh, tak ingin terlalu cepat berlalu jika sudah bersama. Ini aneh, sekaligus bahaya. Damar tersenyum lembut, tangannya mengusap dengan sayang kepala putrinya. “Sabar, ya? Nanti Papa bakal ajak Tante Kinan ke sini, hm?”“Kenapa nggak sekarang aja, Pa?” “Nggak bisa, sayang. Papa lagi sibuk di kantor, Tante Kinan juga lagi sibuk sama kuliahnya. Nanti kalau kami sudah ada waktu senggang, oke?”Meski dengan pipi yang menggembung, tapi Ola tetap menganggukkan kepalanya. Sepertinya memang ia harus kembali bersabar. Dan kini
Kinanti mengerjap cepat beberapa kali. Jantungnya berdentum keras. Dan saat hendak membuka suara, Damar lebih dahulu bersuara.“Iya, Pak Arga,” kata Damar pelan. “Pak Arga ada perlu apa?” tanyanya.Pria yang bernama Arga itu berdehem canggung. “Ah, anu … saya mau ada kasih undangan ke Pak Damar. Mungkin Bapak berkenan hadir, dengan membawa pasangan, mungkin?” sesekali pria itu melirik ke arah Kinanti yang nampak membuang wajah.Damar menerima undangan yang baru saja disodorkan pada dirinya. Membaca sekilas nama yang tertera dalam undangan tersevut.“Pak Arga jadi dengan yang waktu itu?” tanya pria itu.Arga mengangguk pelan. “Iya, Pak. Dan semoga Bapak juga segera menyusul jejak saya,” katanya dengan kekehan kecil.Dan atas kalimat yang terlontar dari mulut Arga itu membuat Kinanti terbatuk, karena tersedak salivanya sendiri.Damar dengan sigap langsung memberikan gelas berisi air putih, yang ada di atas mejanya, kepada Kinanti.“Minum dulu,” kata Damar lembut.Dengan ragu, Kinanti me
Kalau boleh jujur, rasanya Kinanti sudah tidak sanggup berdiri. Lututnya terasa lemas seperti jelly. Perempuan itu sadar, jika apa yang baru saja Damar lakukan itu salah atau malah—benar?Kinanti terdiam, tidak berani menatap Damar yang saat ini tengah menatapnya. Semua kalimat yang hendak ia suarakan, rasanya tertelan kembali bersama salivanya. “Sudah malam, istirahat lah,” kata Damar lembut—betulan lembut. Bahkan, Kinanti sampai harus mendongak, demi memastikan jika tadi yang bersuara adalah Damar. “Kenapa, hm?” tanya Damar lagi. “Apa kamu mau tidur di mobil saya saja?” ujarnya menggoda gadis muda yang duduk di sampingnya. “Pak, tadi—”“Apa kamu sudah lupa, yang baru saja saya katakan, Kinan? atau—” Damar menatap lekat perempuan cantik itu, bibirnya mengulas senyuman tipis. “—kamu sedang berusaha untuk mengkode saya, supaya mengulangi yang barusan?”Kinanti mendelik, menatap horor sang dosen. Tapi rona merah yang ada di wajahnya, tidak dapat disembunyikan. Dan akhirnya perempu
Kinanti benar-benar menuruti keinginan Ola. Ia membawa gadis kecil itu, ke makam mendiang sang ibu.Dengan diantar oleh Damar, perempuan cantik itu setia membawa Ola dalam gendongan.Sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di komplek pemakaman itu, Damar terus memperhatikan Kinanti yang kini berada di depannya.Perasaannya benar-benar rumit sekarang. Ia tidak tahu, jika kedekatan Kinanti dengan putrinya, akan memberikan efek yang membuat Damar berada dalam sebuah dilema.Pria itu merasa perasaannya kepada Kinanti hanyalah rasa kagum saja—tidak lebih dari itu.Setidaknya itu yang Damar yakini saat ini—entah bagaimana nanti.“Nah, sudah sampai.”Suara Kinanti, membuat Damar tersadar dari lamunannya. Dan ternyata mereka telah tiba di depan pusara istri Damar.Sementara Kinanti dapat melihat buket bunga mawar merah dan putih yang begitu cantik, masih tersandar begitu saja di dipan bau nisan.Perempuan itu mengira jika bunga itu adalah pemberian Damar. Ia tersenyum samar, ad
“Apa maksud kamu?”Damar menatap lekat adik sepupunya—Adrian. Pria itu tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh adik sepupunya.Apa maksudnya?“Apa maksud kamu Restu Adrian Dwijaya?” tanya Damar lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Adrian mendengus pelan. Perhatiannya tertuju pada bingkai foto, yang terletak dengan manis di atas meja Damar.Sudah bisa ditebak jika itu adalah bingkai foto Damar bersama mendiang istrinya.“Mas, hubungan kalian ini hanya pura-pura. Jadi Mas nggak perlu mendalami peran,” kata Adrian.“Apa maksud kamu?” Damar terus mencecar pertanyaan yang sama. “Apa kamu cemburu?” tembaknya.“Cemburu?” Adrian bahkan melongo saat mendapat tuduhan tak berdasar itu. “Kenapa Mas bisa ambil kesimpulan seperti itu?” tanyanya tak habis pikir.“Ya, apalagi?” Damar menaikkan satu alisnya. “Kamu terlalu ikut campur dengan urusan Mas dan Kinan,” ujarnya pelan.“Aku sahabat dia, kalau Mas lupa,” balas Adrian. “Aku kenal dia dari kecil, dan dia udah kayak saudara
Kinanti merasa senang sekali saat berbincang dengan Alif dan juga neneknya. Sepasang nenek dan juga cucunya, yang kebetulan tengah beristirahat di depan ruko fotocopy yang ada di dekat kampus Kinanti.“Terus, setelah ini Nenek sama Alif mau ke mana lagi?” tanya Kinanti dengan senyum cerah yang tak pernah luntur sejak tadi.“Ya pulang,” jawab si nenek. “Nanti si Alif juga sebentar lagi dijemput sama ayahnya,” lanjutnya.Kinanti mengangguk-angguk paham. Kemudian pandangan gadis itu tidak sengaja menangkap sebuah mobil, yang sangat familiar untuknya. Kening perempuan cantik itu mengernyit samar. Rasanya sangat tidak mungkin, jika itu adalah mobil Damar. ‘Ngapain?’ tanya Kinanti dalam hati. Kalaupun memang benar itu adalah Damar, lalu kenapa pria itu hanya diam di sana? Bukannya masuk ke dalam kampus. Kinanti menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan hal yang berat-berat. “Kamu kenapa?” tanya si nenek. “Eh?” Kinanti sedikit terkesiap. “Nggak apa-apa kok, Nek. Aku nggak apa-apa,”