Kehidupan baru Javaz dimulai sejak Shifra diperbolehkan pulang. Dia berusaha mencari pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Mulai dari menjadi kuli panggul di pasar hingga membantu truk dan kendaraan yang tak kuat menaiki tanjakan jalan.
Sebelum Subuh dia sudah memaksa dirinya bangun dan pergi untuk bongkar muat aneka sayuran atau bahan dagangan dari petani ke tengkulak atau sebaliknya. Saat adzan berkumandang dia gegas ke Surau terdekat dan ikut shalat berjama'ah di sana. Semua rutinitas dilakukan hanya demi Shifra dan Ezra yang sampai saat ini masih di Rumah Sakit.Masih harus di dalam inkubator hingga nanti berat badannya sudah ideal dan organ dalamnya telah siap menghirup udara di luar. Masih sangat berisiko jika dirawat sendiri di rumah. Pria itu benar-benar bertekad kuat merubah dirinya bisa diterima oleh ibu dari Ezra. Awalnya memang berniat sekadar karena Shifra dalam melakukan ibadah pada Tuhannya. Seiring waktu berjalan dia merasakan ketenangan dalam hatApa yang salah dengan Shifra? Dia masih belum menerima kepergian Elzien yang bahkan sudah satu tahun meninggal dunia? Aku kalah telak jika seperti ini. Dia masih menyebutnya di setiap hembus napas. Aku yang di sini mencintaimu, Shif ... AKU!' lantang suara hati Javaz yang tak pernah bisa diucapkan."Shif?" gumam Javaz lirih menatap dua mata wanita bercadar itu."Astagfirullah!!!"pekiknya menegakkan tubuh, berdiri menatap Javaz yang masih menumpu pada siku di tanah.Pria itu berusaha bangun sendiri dengan susah payah. Tangan kirinya susah digerakkan dan sedikit bengkak di bagian atas siku."Lain kali hati-hati, Shif!" omelnya saat sudah berdiri dengan benar tapi memeluk lengan kirinya dengan yang kanan."Maaf ... boleh aku lihat?" tanya wanita itu ragu menatap wajah marah Javaz yang tampak berbeda di matanya."Nggak apa, ayo!" katanya menggeleng lalu memberi isyarat dengan dagu ke arah warung lesehan seberang jalan."Kita pulang dulu aja, Jav! Sepertinya itu keseleo,""Masih belum seb
'Mencintai sendirian itu memang menyakitkan Shifra ... itulah yang aku rasakan selama ini. Melihat kebersamaan kamu dengan Elzien. Sakit! Sakit banget, Shif!' batinnya membuang napas perlahan lalu menghirup udara banyak-banyak."Jav ... apa kamu benar-benar bisa membayar biaya NICU Ezra? Tadi aku tanya ke kasir, per harinya-" Shifra menjeda kalimatnya dengan melirik sekilas ke wajah pria yang sedang dia olesi minyak gosok dari ibu penjual."Perbulannya sepuluh juta, kan?"Wanita itu menggeleng, "per harinya dua juta, satu bulan 30 hari ..." dia menunduk lagi tak berani menyebutkan angka fantastis di matanya sekarang. Tak seperti dulu bersama Elzien, angka itu bahkan hanya uang hariannya selama dua tahun menikah dengan almarhum suami pertamanya itu."Iya, ada. Semoga bulan depan sudah bisa pulang ya? Dua gadget dan jam tanganku terjual dua ratus juta, makanya besok aku mau ambil sisa uangnya di Koh-""Kamu percaya gitu aja? Tanpa jaminan?" potong Shifra sedikit kaget. Pria berpendidika
"Kamu?""Mas ...."Gumam keduanya bersamaan, menggeleng dan mengerjap seolah tak percaya dengan apa yang terlihat oleh mata kepala mereka."Silakan bunuh dan bakar mereka jika kalian belum pernah melakukan kesalahan! Belum pernah marah dan membalas jika seseorang mencubit kalian padahal kalian nggak memulai duluan! Siapa? Siapa yang sudah tertib shalat 5 waktunya? Yang sujud tiap dini hari? Yang sedekah tiap Jumat di Masjid? Yang dzikir dan ingat Tuhan kalian setiap menghirup napas?! SIAPA!?!" Suaranya semakin keras dan lantang menunjuk satu per satu wajah orang-orang yang paling depan dalam kerumunan.Serentak mereka menggeleng dengan berkaca-kaca dan mundur selangkah. Menurunkan tangan terangkat berbagai benda yang hendak dilemparkan pada pasangan itu."Mereka-" perkataannya terhenti dan tak dilanjutkan lagi, "Bubar sekarang atau Saya panggilkan POLISI?!" teriaknya lagi dengan nada lebih tinggi di akhir kata."Siapa Lo? Berani
Mata itu menatap nanar pada apa yang diangsurkan di depannya. Dari seseorang yang masih diyakininya belum meninggal, masih sangat berharap Elzien sang suami selamat dari maut."Apa ini, Mas?" tanya Shifra menerimanya dengan tangan yang bergetar.Asisten berkacamata bernama Baron Sanjaya itu menggeleng pelan, "permisi, Saya masih ada perlu dengan Pak Javaz," pamitnya dengan sedikit membungkuk dan berjalan mundur.Pria itu menemui Javaz yang masih diobati lukanya dan menunggu hasil pemeriksaan menyeluruh. Adakah luka dalam di tubuh Javaz yang mungkin tak diketahui dari mata telanjang. Organ dalam bisa saja terluka karena benturan atau sesuatu yangvtidak diketahui dari luar tubuh. Maka dibutuhkan pemeriksaan menyeluruh."Bagaimana dengan kasus Papa? Akan berapa lama di dalam penjara, Ron?"Seburuk apapun kelakuannya, seorang anak akan tetap memiliki rasa peduli terhadap orang tuanya. Apalagi dari merekalah seorang anak terlahir di dunia. Beg
"Allah ... ampuni segala dosa dan kesalahan hamba yang telah lalai dan mempermainkan pernikahan kedua hamba. Janji yang kusepakati dan kubuat atas namaMu untuk menjadikannya seorang pemimpin dalam perjalananku menuju Ridla-Mu, Allah ...," Shifra bersujud dalam sepertiga malamnya, berdoa dengan terisak di kamar.Suara itu terdengar hingga kamar sebelahnya karena pintu tidak tertutup rapat. Seluruh tubuhnya berguncang hebat menahan sesak dan penyesalan mendalam dalam hidupnya. Tak mau terulang kembali dengan mempermainkan sebuah ikatan suci.Ya, diawal hubungannya dengan Elzien, mereka mungkin telah salah dan berdosa karena melakukan perjanjian. Sebuah ikrar yang mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Tuhan. Padahal pernikahan adalah ibadah panjang, paling lama dalam hidup manusia.Dua tahun dalam ibadahnya bersama pria luar biasa nyatanya justru membuatnya lalai. Bahwa kewajibannya bukanlah lagi tentang duniawi. Alasan menempuh pendidikan tak terse
Hari ini Javaz berangkat tanpa menunggu sarapan yang dibuat Shifra. Semangatnya berkobar mendapat satu harapan dari wanita itu hingga melupakan segalanya. Bahkan salah tingkah sepanjang waktu. Tersenyum tiba-tiba dan melamun setiap saat terbayang wajah ayu di balik cadarnya."Nggak sarapan dulu, Jav?" tanya Shifra pada pria yang sudah keluar dari kamarnya dan menuju pintu keluar.Dia salah tingkah dan berbalik badan dengan memejamkan mata."Kamu nggak pakai cadar, ya? Aku merem aja kalo gitu," katanya menunduk dengan tangan dan kaki terus bergerak random, salah tingkah.Shifra terdiam dan merasa sangat bersalah karena sempat mengatakan hal yang mungkin hingga kini masih membekas di hati Javaz."Kapan Ezra bisa dibawa pulang, ya? Kayaknya asyik bisa maen dan tiap hari liat mungil ... lucunya ... aku nggak sabar-" wanita yang berjalan mendekat sambil membawa dua piring nasi goreng di tangannya itu terdiam.Mengurungkan niat akan m
"Terima kasih, Suster ... terima kasih untuk semuanya ... maaf jika selama satu setengah bulan ini banyak salah dalam perbuatan atau ucapan kami menggoreskan luka di hati para perawat suster dan dokter di sini," ucap Shifra berpamitan pada seluruh staff karyawan, petugas kesehatan, perawat, suster, dan dokter di ruangan NICU. Ataupun kantin RSUD yang menjadi tempatnya bekerja seharian penuh di sana.Dengan menggendong bayi laki-laki yang sudah berberat badan 20 kilogram itu, Shifra menyalami satu per satu pada yang wanita dan mengatupkan tangan di depan dada untuk para pria. Begitu juga sebaliknya Javaz pun sama melakukannya dengan tetap mengatupkan rapat mulutnya. Sama sekali tak banyak kata seperti biasanya."Anda sakit, Pak? Kenapa akhir akhir ini saat jenguk Dedek Ezra kayak beda gitu?" celetuk salah seorang perawat laki-laki yang menjabat tangan dan menepuk pundaknya.Shifra menoleh dengan cepat ke arah kedua laki-laki beda usia itu. Menantikan jawaban apa kiranya yang akan dilon
"Apa yang kamu lakukan, Jav? Kamu mau kita dicap sebagai keluarga yang meng-eksklusifkan diri? Nggak mau berbaur dengan warga? Apalagi kamu tau stigma masyarakat tentang wanita bercadar. Aku, istri kamu bercadar, JAVAZ!" teriakan Shifra membuat bayi Ezra kaget dan menangis.Javaz mengusap wajahnya kasar lalu meletakkan kardus dan makanan ringan. Membelai rambut lebat Ezra di gendongan Shifra dengan berdesis agar bayi mungil yang masih kemerahan itu tak menangis lagi.Shifra mengayunkannya ke kiri dan kanan, lalu melirik pada Javaz, memberi isyarat dia akan menyu-sui bayinya.Pria itu tak mengerti dengan gerakan mata juga raut wajah yang tertutup itu."Mungkin dia haus?" Serentak keduanya terkekeh."Baiklah masuklah ke kamar, aku akan bereskan ini semua. Kemarin memang sudah ijin pada Pak Chandra, aku nggak ke bengkel hari ini." titah Javaz membalikkan badannya menuju ke dapur.Wanita itu masuk menggendong bayinya yang masih menan