Aku tidak keluar kamar lagi setelah mencuci bekas sarapanku dan Mas Herman. Tak mengerjakan apa pun kecuali tinggal di kamar dan bermain dengan ponselku. Menonton tutorial make up dan berbagai hal tentang riasan.
Sebelum menikah dengan Mas Herman, aku bercita-cita menjadi seorang make up artist. Aku percaya jika suatu saat nanti aku bisa mewujudkannya. Namun, karena harus menikah dengan Mas Herman, aku menundanya atau bisa dibilang merelakan mimpiku itu.
Entah bisa kuwujudkan atau tidak, karena banyak hal yang harus kufokusi setelah menikah. Itu adalah salah satu pengorbanan yang kulakukan, tapi tak ada orang yang mengakuinya. Mereka selalu saja fokus pada pilihanku yang enggan memiliki anak.
Selama seharian aku hanya membersihkan kamar dan merapikan lemari serta debu-debu yang memenuhi perabotan kamar. Tak peduli dengan urusan di luar rumah. Biar saja mereka yang mengurusnya sendiri.
Aku bukan pembantu. Selama dua tahun tinggal di rumah ini, aku selalu memaklumi kondisi Mbak Yuli sejak mengandung hingga sekarang, serta Ibu yang sakit-sakitan. Hampir tak pernah mengeluh dengan segala pekerjaan yang menumpuk setiap harinya.
Namun, bukan berarti aku bisa dijadikan pembantu dan disalahkan serta dihina-hina seperti itu. Jika Mbak Yuli tak mau memaklumi keadaanku, maka untuk apa aku juga memakluminya?
Hari hampir sore. Aku rindu juga dengan pemandangan di luar rumah, tapi malas keluar dari kamar. Alhasil aku hanya menengok lewat jendela. Keningku mengerut melihat Ibu yang sedang mengangkat jemuran. Pakaiannya banyak sekali sampai Ibu kewalahan.
Aku mendongak dan melihat langit yang berwarna keabuan. Setitik air jatuh di kaca jendelaku lalu disusul dengan tetesan lainnya. Ternyata gerimis. Sebentar lagi pasti akan hujan deras.
Namun, Ibu belum selesai juga mengangkat semua jemuran itu. Belum cukup kerepotan, ia harus mengangkat ujung dasternya yang kepanjangan. Aku menghela napas panjang. Tak tega juga melihatnya.
Kugaruk kening untuk memutuskan dengan cepat. Meski masih kesal pada mertuaku itu, tapi kupikir-pikir jika dia sampai terjatuh, maka akulah yang akan dilimpahkan tanggung jawab untuk merawatnya. Karena Mbak Yuli pasti tidak akan punya waktu untuk itu.
Kutinggalkan jendela hendak keluar dari kamar, tapi urung dan kembali lagi menengok Ibu. Jemuran yang diangkatnya adalah pakaian milik Mbak Yuli dan Fatur. Biasanya akulah yang selalu mengangkat jemuran milik wanita itu dan bahkan sampai melipatnya jika melihat dia kerepotan dengan anaknya.
Sebenarnya aku tak masalah direpotkan seperti itu andai saja Mbak Yuli mau sedikit saja berterima kasih dan menghargaiku. Namun, sikapnya malah angkuh, sering menyindir dan menyalahkanku. Ibu pun selalu mendukungnya.
Pikiran jahatku akhirnya mendominasi. Biar saja Ibu tahu jika semua bantuanku selama ini berharga. Mereka tak bisa menggampangkan semua pekerjaan yang kulakukan hanya karena aku selalu melakukannya.
Kututup jendela kamar dan kembali bernaung di bawah selimut. Memainkan game di ponsel dan membaca beberapa buku untuk menikmati waktu santaiku. Tak lupa memberikan pesan pada Mas Herman untuk membeli dua porsi mie ayam untuk makan malam kami.
‘Emang kamu gak masak, Dek?’ tanyanya di dalam pesan.
‘Aku lagi mau makan mie ayam aja, Mas. Tolong beliin, ya.’
Aku tidak punya mood untuk melayani mereka. Terserah mereka mau makan apa nanti malam.
Pukul setengah enam sore, Mas Herman pulang dari kantor. Seperti permintaanku, ia membawa dua bungkus mie ayam dalam wadah styrofoam. Untunglah karena aku sedang malas keluar mengambil mangkuk.
“Dek, aku papasan sama Ibu di luar tadi. Ibu ngomel-ngomel.”
Ah, pantas saja Mas Herman terlambat masuk ke kamar. Ternyata tadi sempat tertahan oleh Ibu. Biasanya dia pulang pukul lima sore dan langsung masuk kamar. Aku tak perlu bertanya apa yang diomelkan Ibu, sudah pasti tentang diriku.
“Ibu jatuh tadi. Pinggangnya sakit gara-gara ngambil jemuran. Katanya kamu gak pernah keluar kamar, ya? Mbak Yuli juga kerepotan cuci piring.”
Aku mengalihkan wajah sejenak untuk memutar bola mata. Bodohnya aku yang berharap mereka akan sadar tentang betapa pentingnya peranku di rumah ini. Baru sehari libur, mereka sudah pontang-panting menyalahkanku.
“Itu jemurannya Mbak Yuli, Mas, bukan punyaku. Itu tugasnya dia. Lagian aku dulu cuma bantuin kok. Bukan berarti ini menjadi tanggung jawabku.”
Mas Herman menghela napas, tampak lelah ketika melepas kemejanya. Aku ingin sehari saja menjadi egois. Tak mau memaklumi keadaan orang lain yang tak pernah menghargaiku.
“Aku cuci piring tadi pagi. Sehari-harinya aku yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Saudarimu sibuk ngurusin anaknya. Cuma sehari ini kok. Aku juga perlu istirahat dan menjaga kewarasanku.”
“Halah, istirahat dan menjaga kewarasan. Cuma kerjaan rumah doang bikin stress, belum kalau punya anak. Lebay banget jadi orang.” Mbak Yuli tahu-tahu berdiri di depan pintu kamar kami yang tidak tertutup. “Sekalian aja kamu cariin pembantu buat istrimu, Man.”
Sesampainya di ruangan mempelai pria, aku dihadapkan pada Mas Herman yang memamerkan sorot gelisahnya. Aku duduk di kursi, berdampingan dengannya. Sebab aku tahu pria itu tidak ingin didandani. “Apa kabar, Dek, maksudku Farah?” Aku mengangguk. “Baik. Hanif juga begitu. Sekarang dijaga oleh Emak dan Bapak.” Sejak kepulanganku ke rumah Emak, beberapa kali Mas Herman ingin berkunjung, apalagi setelah mendengar kabar aku sudah melahirkan. Namun, aku melarangnya dan hanya mengizinkan melihat anak kami lewat panggilan video atau telepon saja. “Aku nggak tahu kalau kamu yang jadi MUA-nya.” “Itu nggak penting, Mas. Ini pekerjaanku, aku harus profesional.” “Maaf. Aku nggak bermaksud–” “Nggak usah merasa bersalah. Meski merasa nggak nyaman, tapi aku tidak membencimu. Kamu tidak perlu khawatir.” “Dia rekan kerja. Setiap hari membantu pekerjaanku. Setelah kamu pergi, suatu hari Ibu melihatku berboncengan dengannya–aku cuma memberikan tumpangan seperti waktu itu–lalu berniat mendekatkan
Tiga tahun kemudian.“Kali ini kamu kerjanya di mana, Far?” Emak sedang duduk di kursi rotan sambil memangku putraku yang berumur dua tahun. Hanif namanya. Berkulit putih dengan tubuh yang sedang, tak kurus juga tidak gembul. Bagaimanapun keadaannya, aku tetap mencintainya.Sementara aku duduk di lantai sambil melipat pakaian. “Itu, keponakannya Pak Salim. Rumahnya agak jauh. Mesti tempuh dua jam perjalanan.”Pak Salim adalah ketua RT di kampung ini. Beliau khusus memintaku untuk jadi MUA di pernikahan keponakannya. “Oalah, keponakan yang selalu dia banggakan itu, ya? Yang katanya sarjana dan kerja kantoran?”“Iya, Mak. Katanya nikah sama teman sekantornya.”“Perjaka apa duda?”Aku menertawai kekepoan Emak. “Katanya duda.”“Oalah. Ndak papa itu, yang penting orangnya baik, keluarganya juga baik.” “Semoga aja, Mak.”Hanif tampak tenang dalam pangkuan Emak sambil memainkan kalung emas neneknya. “Nikah itu bukan cuma nikahin orangnya, tapi juga nikahin keluarganya. Kita juga mesti co
“Bapak ndak liat suamimu. Sendiri kamu, Nak?”Betapa berat mulutku terbuka untuk memberitahu mereka. Sementara Farel berjalan ke arah kami sambil membawa semua tasku. Bibirnya tersenyum ramah lalu menyalami Bapak dan Emak. “Ini siapa, Nak? Kok ndak datang sama suamimu? Masih bertengkar kalian? Dia ndak datang menjemputmu?”Farel melemparkan tatapan canggung padaku. “Anu, Pak. Bisa nggak bantuin Farel nurunin motorku? Aku mau masukin barang-barang.”“Ah, iya.” Kening Bapak mengerut bingung, tapi tetap menuruti permintaanku. Sementara Emak mengekor masuk dan membantu mengangkat tas besar milikku. Ia lalu berdiri diam dengan pandangan menerawang. “Barangmu banyak begini, ditambah dengan bawa motor, pulang bersama orang lain. Sepertinya masalah dengan suamimu memang sangat besar.”Aku menarik napas sebisaku. Melihat raut Emak yang tiba-tiba menjadi murung menambah rasa sesak di dadaku. “Nanti akan Farah ceritakan, Mak. Bisa nggak Farah ajak teman Farah masuk dulu minum teh? Dia pasti
Akhirnya aku menerima tawaran Farel. Duduk di sampingnya dan diam selama perjalanan. Kami menaiki mobil pick up. Karena Farel bersikeras ingin mengangkut motorku juga. “Sepertinya Mbak berniat menetap.”Aku hanya menoleh sekilas sekalian memberikan senyum tipis sebagai jawaban. “Aku nggak mau ikut campur. Mbak ada masalah dengan suaminya, ya?”Kali ini aku tetap menatap ke luar jendela. “Tahu dari mana kosku?” Lalu mengalihkan pembicaraan. “Dari Mbak Keke. Kebetulan ketemu dan sekalian tanya-tanya soal Mbak.”Lalu suasana di antara kami kembali disisipi keheningan. Tak ada pembicaraan lagi selama satu jam perjalanan. Farel menghentikan mobil dan masuk ke dalam minimarket. Kembali membawa sekantong camilan dan air mineral. “Minum dulu, Mbak.” Ia membukakan tutup botol lalu mengulurkannya padaku. Sembari meneguk air mineral, aku tahu Farel sedang menatapku. Sorotnya dipenuhi rasa penasaran. “Aku boleh tanya tentang suami Mbak?” Aku menutup kembali botol yang tersisa setengah itu.
“Mas nggak pernah menyangka kamu akan membuatku memilih antara istri atau keluarga. Keduanya sama-sama penting, Farah.”“Memangnya aku bukan keluargamu? Aku nggak menyuruhmu memilih. Kita pindah dan menengok ibumu sesering mungkin. Aku nggak masalah memasak banyak setiap hari dan membawakan ke rumah mereka.”Ada kegelisahan yang sangat dalam pada kedua mata lelaki itu. Ia tidak menjawab. Matanya sibuk menerawang. “Buka amplop yang satunya.” Tangan Mas Herman gemetar membuka amplop yang kecil. Ia terpaku diam ketika mengeluarkan alat test pack bergaris dua itu. “Ini ….”“Aku hamil,” lirihku. Biar bagaimanapun Mas Herman perlu tahu. Mata lelaki itu membulat bersama bibirnya yang terbuka. “Kamu hamil?!”Aku melirik ke sekitar dan merasa malu ketika orang-orang mulai memperhatikan kami. “Ibu pasti akan senang kalau dengar ini. Ayo kita pulang, Dek." Mas Herman sangat antusias, bangkit dari duduknya dan bersiap menarik tanganku. “Maaf, Mas. Sepertinya kamu salah paham.”“Apa?” Mulut
‘Aku mau ketemu, Mas.’Pesan itu kukirimkan pada Mas Herman. Lima detik kemudian, pria itu menelepon. Namun, aku menghiraukan dan mengirimkan alamat di mana kami harus bertemu. Rasanya sia-sia saja mengganti nomor ponsel dan memblokir pria itu. Esoknya aku berangkat ke tempat perjanjian kami di kafe dekat kantor pria itu. Aku menunggu agak lama. Tidak begitu keberatan karena bisa memiliki waktu yang cukup banyak untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pintu kafe terbuka cukup keras. Aku melihat Mas Herman yang mengedarkan pandangan ke seluruh kafe lalu berlari ketika melihatku. Napasnya terengah-engah ketika sampai di mejaku. Aku melihat kegelisahan dari sorot matanya. Kemeja yang penuh keringat dan kancing yang dipasang asal-asalan. Rambutnya juga tidak serapi dulu. Lelaki ini cukup berantakan. “Kamu dari mana aja, Sayang? Mas kangen banget sama kamu.” Tangannya terulur seperti hendak memelukku. Namun, aku menepis. Membuang muka dan menunjuk kursi di hadapanku. “Duduk dulu, Mas.”