Share

7

Aku tidak keluar kamar lagi setelah mencuci bekas sarapanku dan Mas Herman. Tak mengerjakan apa pun kecuali tinggal di kamar dan bermain dengan ponselku. Menonton tutorial make up dan berbagai hal tentang riasan. 

Sebelum menikah dengan Mas Herman, aku bercita-cita menjadi seorang make up artist. Aku percaya jika suatu saat nanti aku bisa mewujudkannya. Namun, karena harus menikah dengan Mas Herman, aku menundanya atau bisa dibilang merelakan mimpiku itu. 

Entah bisa kuwujudkan atau tidak, karena banyak hal yang harus kufokusi setelah menikah. Itu adalah salah satu pengorbanan yang kulakukan, tapi tak ada orang yang mengakuinya. Mereka selalu saja fokus pada pilihanku yang enggan memiliki anak.

Selama seharian aku hanya membersihkan kamar dan merapikan lemari serta debu-debu yang memenuhi perabotan kamar. Tak peduli dengan urusan di luar rumah. Biar saja mereka yang mengurusnya sendiri. 

Aku bukan pembantu. Selama dua tahun tinggal di rumah ini, aku selalu memaklumi kondisi Mbak Yuli sejak mengandung hingga sekarang, serta Ibu yang sakit-sakitan. Hampir tak pernah mengeluh dengan segala pekerjaan yang menumpuk setiap harinya. 

Namun, bukan berarti aku bisa dijadikan pembantu dan disalahkan serta dihina-hina seperti itu. Jika Mbak Yuli tak mau memaklumi keadaanku, maka untuk apa aku juga memakluminya?

Hari hampir sore. Aku rindu juga dengan pemandangan di luar rumah, tapi malas keluar dari kamar. Alhasil aku hanya menengok lewat jendela. Keningku mengerut melihat Ibu yang sedang mengangkat jemuran. Pakaiannya banyak sekali sampai Ibu kewalahan. 

Aku mendongak dan melihat langit yang berwarna keabuan. Setitik air jatuh di kaca jendelaku lalu disusul dengan tetesan lainnya. Ternyata gerimis. Sebentar lagi pasti akan hujan deras. 

Namun, Ibu belum selesai juga mengangkat semua jemuran itu. Belum cukup kerepotan, ia harus mengangkat ujung dasternya yang kepanjangan. Aku menghela napas panjang. Tak tega juga melihatnya. 

Kugaruk kening untuk memutuskan dengan cepat. Meski masih kesal pada mertuaku itu, tapi kupikir-pikir jika dia sampai terjatuh, maka akulah yang akan dilimpahkan tanggung jawab untuk merawatnya. Karena Mbak Yuli pasti tidak akan punya waktu untuk itu. 

Kutinggalkan jendela hendak keluar dari kamar, tapi urung dan kembali lagi menengok Ibu. Jemuran yang diangkatnya adalah pakaian milik Mbak Yuli dan Fatur. Biasanya akulah yang selalu mengangkat jemuran milik wanita itu dan bahkan sampai melipatnya jika melihat dia kerepotan dengan anaknya. 

Sebenarnya aku tak masalah direpotkan seperti itu andai saja Mbak Yuli mau sedikit saja berterima kasih dan menghargaiku. Namun, sikapnya malah angkuh, sering menyindir dan menyalahkanku. Ibu pun selalu mendukungnya. 

Pikiran jahatku akhirnya mendominasi. Biar saja Ibu tahu jika semua bantuanku selama ini berharga. Mereka tak bisa menggampangkan semua pekerjaan yang kulakukan hanya karena aku selalu melakukannya. 

Kututup jendela kamar dan kembali bernaung di bawah selimut. Memainkan game di ponsel dan membaca beberapa buku untuk menikmati waktu santaiku. Tak lupa memberikan pesan pada Mas Herman untuk membeli dua porsi mie ayam untuk makan malam kami. 

‘Emang kamu gak masak, Dek?’ tanyanya di dalam pesan. 

‘Aku lagi mau makan mie ayam aja, Mas. Tolong beliin, ya.’

Aku tidak punya mood untuk melayani mereka. Terserah mereka mau makan apa nanti malam.

Pukul setengah enam sore, Mas Herman pulang dari kantor. Seperti permintaanku, ia membawa dua bungkus mie ayam dalam wadah styrofoam. Untunglah karena aku sedang malas keluar mengambil mangkuk.

“Dek, aku papasan sama Ibu di luar tadi. Ibu ngomel-ngomel.”

Ah, pantas saja Mas Herman terlambat masuk ke kamar. Ternyata tadi sempat tertahan oleh Ibu. Biasanya dia pulang pukul lima sore dan langsung masuk kamar. Aku tak perlu bertanya apa yang diomelkan Ibu, sudah pasti tentang diriku. 

“Ibu jatuh tadi. Pinggangnya sakit gara-gara ngambil jemuran. Katanya kamu gak pernah keluar kamar, ya? Mbak Yuli juga kerepotan cuci piring.” 

Aku mengalihkan wajah sejenak untuk memutar bola mata. Bodohnya aku yang berharap mereka akan sadar tentang betapa pentingnya peranku di rumah ini. Baru sehari libur, mereka sudah pontang-panting menyalahkanku. 

“Itu jemurannya Mbak Yuli, Mas, bukan punyaku. Itu tugasnya dia. Lagian aku dulu cuma bantuin kok. Bukan berarti ini menjadi tanggung jawabku.”

Mas Herman menghela napas, tampak lelah ketika melepas kemejanya. Aku ingin sehari saja menjadi egois. Tak mau memaklumi keadaan orang lain yang tak pernah menghargaiku. 

“Aku cuci piring tadi pagi. Sehari-harinya aku yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Saudarimu sibuk ngurusin anaknya. Cuma sehari ini kok. Aku juga perlu istirahat dan menjaga kewarasanku.”

“Halah, istirahat dan menjaga kewarasan. Cuma kerjaan rumah doang bikin stress, belum kalau punya anak. Lebay banget jadi orang.” Mbak Yuli tahu-tahu berdiri di depan pintu kamar kami yang tidak tertutup. “Sekalian aja kamu cariin pembantu buat istrimu, Man.” 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status