POV Vira
Mas Duta dan Mba Nita, mereka tidak ada yang pulang ke rumah satu pun. Rasanya menyebalkan aku di rumah sendirian, lama-lama rasa ketidaksukaanku pada Mba Nita semakin bertambah. Kalau dia memang tidak menyukainya, kenapa dia mengijinkan pernikahan itu terjadi. Menyebalkan!
"Bi, Nani …!" panggilku sedikit judes.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Bi Nani penasaran.
Bu Nita, enggak titip pesan Bi? Dia hari ini enggak pulang ya? Pasti bapak marah banget kalau tahu."
"Enggak, Bu. Biasanya Bu Nita tidak pernah seperti ini."jawabnya.
"Ya udah, Bi Nani ke dapur lagi, siapin makanan takut bapak pulang." Aku meninggalkan Bi Nani, agar kembali bekerja, dan aku kembali ke kamar.
Vir …!" triak seseorang. Suaranya aku kenal. Itu suara Mas Duta, aku segera menghambur ke arahnya. "Panjang umur," lirihku.
"Mas, baru pulang udah jam sepuluh? Tudur di mana kamu? Mba Nita juga belum pulang." crocosku kesal.
"Aku tidur di tempat Damar, kan aku sudah bilang sama kamu!" jawabnya dengan suara meninggi.
"Mas Duta gak bisa dong kaya gini! Aku juga istri kamu! Aku juga mau kamu perhatikan! Jangan sibuk bertengkar dengan Mba Nita, dan mengabaikan aku! Ingat aku juga istri kamu!" jawabku lantang penuh emosi.
Mas Duta tidak menjawab. Terlihat wajahnya sedikit kesal, mungkin tersinggung dengan ucapanku. Kulihat dia mengeluarkan ponselnya, sepertinya menekan nomor Mba Nita. Dia mencoba menghubunginya tapi sepertinya tidak aktif. Terlihat dari emosinya yang mencuak.
"Pinjam HP-mu, Vir!" pintanya. Aku pun segera mengeluarkannya. Mas Duta secepat kilat menyambarnya dari tanganku. Berkali-kali dia mencoba tetap tidak bisa.
Aku curiga, Mba Nita memblokir nomor Mas Duta dan aku. 'Yes … cepat bercerai ya Mba, supaya aku bisa memiliki Mas Duta seutuhnya. Bagus juga kalau kalian rajin bertengkar, aku tidak perlu berbuat jahat untuk memisahkan kalian.' Aduh mikir apa ini? Jauh-jauh kutepis pikiran jelekku.
🖤🖤🖤
Mas Duta masih dengan amarahnya, berkali-kali mencoba menghubungi Mba Nita masih belum tersambung. Aku sih masa bodo dengan urusan mereka. Yang penting tak ada masalah denganku, itu sudah membuatku merasa tenang. Syukur-syukur Mba Nita laku lagi, itu jauh lebih bagus.
"Mas makan dulu udah siang, Bibi udah masakin kesukaan kamu," ucapku penuh kemanisan untuk mencari perhatian suamiku.
"Kamu duluan, Sayang. Aku sedang menunggu Nita," ucapnya halus. 'Yes berhasil.'
"Nanti aja sama suamiku tercinta," ujarku manja sambil bergelayut dipundak bidangnya. Mas Duta hanya tersenyum dan mengangguk. Kami menikmati moment berdua ini sambil menonton televisi di ruang tamu. Kami yang larut akan kemesraan ini tidak mengetahui kedatangan Mba Nita.
Tiba-tiba saja Mba Nita terdengar menyuruh Adnan pergi bermain ke kamarnya, dan setelah itu seperti biasa melewati kami. Menganggap kami seperti setan yang tak terlihat.
Mas Duta segera melepaskan pelukanku, sebelum akhirnya mengejar Mba Nita ke kamarnya. Tepat, ketika Mba Nita akan menutup pintu, Mas Duta menarik kasar tangannya. Sepertinya pertengkaran hebat akan dimulai.
"Dari mana aja kamu? Semalaman enggak pulang ke rumah?" tanya mas Duta penuh emosi. Mba Nita masih terlihat tenang.
"Bukan urusan kamu!" Kali ini Mba Nita bersuara.
"Jelas ini urusan aku! Kamu ini istriku, apa pun yang kamu lakukan jelas urusan aku!"cetus Mas Duta. Mba Nita tidak menjawab, sepertinya akan beranjak meninggalkan Mas Duta. Namun, belum sempat Mba Nita beranjak, Mas Duta kembali menarik kasar tangannya dan menyuruhnya untuk duduk.
"Duduk Nita! Saya belum selesai bicara denganmu! Hargai saya sebagai suamimu!" bentaknya penuh emosi. Kali ini Mba Nita menuruti ucapan Mas Duta.
"Apa yang hendak kamu bicarakan?" tanya Mba Nita dengan tenangnya.
"Kenapa sikap kamu berbah, Ma?" lirih Mas Duta.
"Jangan sebut panggilan itu, aku tak Sudi! jijik rasanya aku mendengarnya!"ucap Mba Nita. Aku yang merasa risih menghentikan pertengkaran mereka, sekalian mencari perhatian Mba Nita dan Mas Duta.
"Mba Nita. Mas Duta. Tolong kalian selesaikan masalah kalian di kamar, tidak enak kalau sampai Adnan dengar," ujarku. Tanpa di sahuti oleh keduanya, Mba Nita masuk kamar, diikuti oleh Mas Duta.
Sebetulnya aku kepo, tapi demi perhatian tak masalah, nanti akan kutanyakan pada suamiku. Beginilah nasib wanita kedua, lebih baik berpikir seribu kali untuk mencintai suami orang walau itu sangat menantang. Seperti aku yang mencintai Mas Duta. Kalau bukan karena tampan dan kaya, aku juga tidak mau jadi istri kedua.
Aku mendengar pertengkaran Mas Duta dan Mba Nita begitu hebat, walaupun tidak terlalu jelas. entah apa yang di bicarakan, tapi kali ini Mba Nita bersuara. Entah apa yang membuat Mba Nita begitu marah terhadap Mas Duta. Atau mungkin, gara-gara aku bercerita pada Mba Nita bahwa aku menjalin hubungan sebelum pernikahan.
Ya, aku sering berkirim pesan mesra dengan Mas Duta, sebab dia bilang dia akan menikahiku, jadi aku juga tidak segan-segan bermesraan dengannya. Jika aku bertanya pada Mas Duta dimana istrinya ketika kita sedang berkirim pesan mesra, Mas Duta menjawab, istrinya sudah tidur pulas. Maka kami melanjutkan berbalas pesan mesra dengan bebasnya, sebetulnya perempuan mana pun juga tidak akan trima jika mengetahui suaminya bermesraan dengan perempuan lain walaupun hanya berbalas pesan.
Biarlah bagaimana keputusan Mba Nita nantinya, aku harap mereka bercerai, supaya saya menjadi Nyonya Mahendra tanpa pesaing. Jujur saja melihat pertengkaran mereka aku sangat suka.
Beberapa tahun kemudian.Allhamdullillah aku kini sedang mengandung anak keduaku dengan suamiku tercinta, Brata Atmaja. Kini aku sudah menjadi Ibu dari tiga orang anak walaupun yang satu masih dalam kandungan. Kehidupanku sangat bahagia.Bang Adnan sekarang sedang kuliah di luar negeri, tepatnya di Amerika. Semakin dewasa Adnan semakin tampan dan sangat mirip dengan Papanya dan berlesung Pipit seperti Ibunya. Sebentar lagi dia akan kembali ke Indonesia untuk berlibur. Hati ini rasanya sangat rindu dan tidak sabar menyambut kedatangannya. Putraku kini sudah besar dan berhasil menyelesaikan pendidikannya.Gama dan Nanda kini mereka sudah menikah. Nanda sendiri sedang mengandung anak pertamanya. Nanda ikut Gama tinggal di Bali mengurus hotelku di sana. Hotel itu
POV NitaAkhirnya aku bisa menikah dengan orang yang benar-benar luar biasa. Baik dan penyayang. Semoga Allah menjaga pernikahan ini, dihindari dari yang namanya godaan wanita. Walau bagaimanapun aku pernah gagal, aku tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Rasa trauma bekas penghianatan kemaren jujur masih terngiang dan menjadi ketakutan tersendiri. Memang tidak semua laki-laki sama. Namun, tetap saja masih ada rasa trauma. Terauma jika suamiku akan diambil perempuan lain."Ma … kasian, Papa," ucap anakku."Kenapa, Sayang?" Brata melirik kearahku."Papa sekarang tinggal di tempat Nenek. Tadi Adnan nelpon Papa, terus Papa bilang kalau
POV Vira"Mas kamu bener-bener Kelewatan," ucapku pada Mas Damar tapi dengan tawa jahat.Aku dan dia berjalan- jalan menggunakan mobil baru. Masih belum terfikir kami mau kabur ke mana, sebab kalau bandara pasti di jaga polisi. Secara Mas Duta pasti sudah melapor polisi."Biar si bodoh itu tau rasa!" Beraninya dia menyia-nyiakan kamu!" ucapnya."Tadinya aku kira kamu tidak akan mengajaku pergi. Kamu tidak pernah datang ke rumah Duta, semenjak dia menikah denganku," lirihku."Iya aku gak bisa dong liat kamu dengan orang lain! Jika kamu bahagia dengan mereka mungkin aku akan mengikhlaskan kamu. Nyatanya mereka seenaknya sendiri memperlakukan kamu." Entah ben
Dita kembali menelponku dia bilang ada kekacauan di kantor. Aku langsung bergagas ke sana. Kunyalakan mesin mobil dan kupacu secepat mungkin. Kalau untuk mengebut aku memang ahlinya bahkan aku mampu menempuh perjalanan dari rumah ke kantor hanya dalam waktu 15 menit.Aku melihat terjadi kericuhan di sana. Para karyawan berdemo meminta gajih bulanan mereka yang belum dibayarkan. Padahal masalah gajih sudah kuserahkan semua pada Damar. Dengan kesal aku mencari keberadaan Damar. Namun, tak kusangka Dita bilang Damar telah pergi."Brengsek Damar!""Dita kamu tenangkan dulu karyawan yang lain. Bilang saya akan membayar gajih mereka.""Siap, Pak"Aku bergegas ke ruangan Damar mencari apa pun yang dapat kutemukan. Namun, nihil, tidak ada yang kudapatkan. Akan tetapi ada sepucuk surat yang diletakan di meja. Dengan cepat aku membuka amp
"Sudah rapi?" tanyaku pada Vira. Dia terus memegangi perutnya."Serius ini mau di bawa pulang?" tanya Damar."Dokter bilang bisa dirawat di rumah, Mar. Lo tau sendiri keuangan gue lagi gimana sekarang."Makanya cari istri jangan yang malah nyusahin, sial kan kamu nikah sama pelakor ini," cetus Ibu. Entah kapan Ibu datang tidak ada kabar berita kedatangannya tiba-tiba saja Ibu muncul sepagi ini."Sudah, Bu Nengsih, ini rumah sakit tidak enak ribut-ribut," ucap Damar."Halah ini kan ruang VIP, tidak ada yang dengar," sanggah Ibu. "Udah si, cerain aja istri begini bikin sial aja."Damar hanya menggeleng kepala. Pusing juga dengar Ibu ngomong cerai tiap hari."Bagus lah, Bu. Kalau Mas Duta mau cerain saya, suatu keberuntungan untuk saya," sahut Vira kesal.
Setelah beberapa menit kami sudah sampai di rumah sakit. Aku langsung menuju ke ruangan Vira. Sedangkan Damar mampir ke kantin untuk membeli makanan. Sesampainya di depan pintu aku mendengar anakku menangis kencang. Langsung saja aku masuk. Kok tidak ada orang? Di mana Ibu? Mungkin Ibu sedang membeli makanan. Lalu, kenapa anakku berada di kasur Ibunya bukan di tempat bayi? "Cup … cup … cup, Sayang …" Aku langsung menggendong dan mendiamkannya. Sepertinya dia pup, jadi dia menangis. "Vir … !" panggilku. "Iya, Mas. Syukur Alhamdulillah Mas Duta sudah kembali," jawabnya terseok-seok keluar dari kamar mandi dan memegangi perutnya. "Masih sakit?" "Sedikit, Mas ... mungki efek triak-triak kemaren." "Ibu kemana?"
POV DutaPagi ini adalah pagi yang akan menentukan nasibku nanti. Mungkinkah aku dapat melawan Nita? Nita sangat mengerti tentang pariwisata dan perhotelan. Bakat marketingnya tidak bisa dipungkiri. Saat dia membantuku menjalani bisnis itu, dengan sekejap hotelku mengalami kemajuan, bahkan hingga menjadi target investor untuk ikut menanam modalnya. Sehingga aku tidak perlu lagi bekerja dengan mertuaku. Mungkinkah Nita akan merebut segalanya?"Gimana, Mar? Siap?" tanyaku pada Damar."Siap. Lo yakin akan menangin kerja sama ini?" Ada raut panik diwajah Damar."Y
Pov NitaMa … bangun ada tamu." Adnan beberapa kali mengetuk pintu kamarku. Kulihat waktu sudah pukul 21.00.Aku mengikat rambut, dengan riasan sisa tadi siang masih menempel di wajah."Iya, Mama keluar." Aku membuka pintu kulihat Adnan sudah tidak ada, mungkin di ruang tamu.Ada lima orang sedang berkumpul di sana. Satu wanita yang wajahnya tak asing sedang hangat berbicara dengan Papa dan Adnan. Aku menghampiri mereka."Nanda, hai akhirnya kamu ke sini juga. Maaf ya, aku baru bangun tidur," ucapku lalu duduk di sebelahnya."Dengan siapa?" tanyaku."Calon suamiku," jawabnya dengan menunjuk seseorang yang duduk di depannya. Pan
POV Vira Baru sehari aku ditinggal dengan mertuaku ampun deh! Bawel banget. Bisa-bisa aku gila kalau seperti ini. Mbak Nita kuat banget punya mertua kayak begini. Rasanya ingin kukasih racun tikus mertua gila ini. Ya Tuhan … seharian ini kerjanya ceramah terus, sampai kupingku terasa budeg. Ingin melawan tapi percuma, tenagaku sedang lemah, luka bekas jahitan juga belum terlalu kering. Sebegitu hinanya ternyata istri kedua dimata orang, bahkan dimata mertuaku. Mas Duta kenapa tidak menyuruh suster aja untuk membantuku, kenapa harus memanggil Ibunya yang kaya macan ini? Tidak pernah terbayang dalam hidupku aku akan berhubungan dengan mertua sadis. Sepertinya kalau terus seperti ini aku tidak akan kuat dengan Mas Duta. Kesung