Dua tahun berlalu, semenjak kepergian Bimo melanjutkan studi nya ke negara lain.Kanaya tetap pada profesinya, sebagai seorang penjual pecel bersama ibu, dan juga adiknya.Namun bedanya kali ini, dia sekarang sudah memiliki tempat, sebuah rumah makan yang lumayan besar, untuk menjual nasi pecel nya, sehingga tidak perlu berkeliling lagi.Rumah makan pecel nya, hampir setiap hari, selalu ramai. Baik orang yang makan di tempat, ataupun yang order via online.Karena ramainya rumah makan miliknya, Ibu Kanaya juga menambahkan beberapa menu yang lain, yang ia kuasai. Seperti ayam bakar, ayam ungkep, aneka ikan air tawar, dan lain sebagainya.Kini Kanaya bahkan sudah memiliki 6 orang karyawan, yang membantunya."Alhamdulillah ya Nak, usaha kamu sekarang sudah semakin maju." ujar bu Tuti, kepada putrinya."Kamu tidak mau kuliah Nak? sekarang kamu sudah sangat mampu untuk itu." ujar sang ibu lagi, yang masih tetap menginginkan putrinya, agar bisa berkuliah.Kanaya merenungi permintaan ibunya
"Kamu mau kan, jadi menantu Ibu Nduk?" tanya wanita paruh baya itu, kepada Kanaya, yang tengah datang berkunjung, setelah berulang kali, Aryan mengajaknya."Maksud Ibu??" Kanaya begitu terkejut sekaligus tak menyangka, dengan pernyataan bu Yus, barusan."Menikahlah dengan Aryan, anak Ibu." ucap bu Yus lagi, memperjelas ungkapan keinginannya.Kanaya terdiam, dan tak menyahuti, permintaan wanita paruh baya itu. "Kenapa diam Nay?" tanya bu Yus lagi.Aryan, tiba-tiba muncul di depan pintu, membawakan ibunya itu, bubur pesanannya."Aryan, kamu mau kan, menikah dengan Kanaya?" todong ibunya, tiba-tiba. Seketika Aryan menatap ke arah Kanaya, yang tampak kebingungan."Ibu ini apaan sih, Kanaya juga baru saja memulai kuliahnya." jawab pemuda itu, tersenyum jengah, dengan permintaan ibunya."Tapi sebelum ibu tiada, ibu ingin melihat kamu segera menikah Nak." jawab bu Yus, tetap pada pendiriannya."Kalau hanya soal kuliah, bukankah sah sah saja, kuliah sambil menikah??" ujar bu Yus, terdengar
Kanaya tampak tak dapat membendung air matanya, yang tiba-tiba sudah merebak begitu saja, sehingga mengalirkan bulir-bulir bening, di kedua pipinya yang putih dan halus itu.Bimo yang kini sudah duduk di depan, tampak tersenyum ke arah para hadirin, sembari menangkupkan kedua tangannya di dada.Perempuan muda yang ada di sebelahnya juga sama, dia tampak tersenyum sumringah, menatap ke arah hadirin. Tanpa sengaja, kini pandangan dokter muda berkuncir itu, bersiborok dengan Kanaya, yang menatap sendu ke arahnya.Namun entah mengapa, Bimo seakan tak lagi mengenali wajah gadis pujaannya itu, yang telah memberikannya semangat, sehingga menuruti keinginan kedua orang tuanya, untuk menjadikannya seorang dokter, seperti sekarang.Hati Kanaya semakin sakit, saat pemuda yang dulu selalu menggodanya dengan canda tawanya itu, seakan tak mengenalinya lagi.Tak tahan, berlama-lama di tempat itu, Kanaya pun menyuruh Eko, untuk menunggu di situ dan meminta bayaran nasi pecel nya, sedangkan dirinya s
Setelah mendengar percakapan kedua orangtuanya tadi, malam itu Bimo jadi tidak dapat memejamkan matanya. Ia masih belum berani memaksakan diri, untuk mengingat lebih jauh, tentang masa lalunya. Karena setiap kali ia berusaha mengingat-ingat, kepalanya selalu merasakan sakit, yang sangat hebat.'Benarkah, sebelum ini aku punya hubungan dengan gadis lain, selain Niken?' bisiknya, kemudian memeriksa ponselnya, untuk mencari tahu lewat gawai nya itu.Tapi nihil, karena memang ponsel nya sudah di ganti dengan yang baru oleh Mamanya, karena ponsel nya yang dulu, sudah rusak dan tak dapat di gunakan lagi, karena hancur, saat kecelakaan itu menimpanya.Tak putus harapan, lelaki dengan rambut kuncirnya itu, membongkar isi laci meja belajarnya dulu.Tapi ternyata, sudah tidak ada apa-apa disitu, karena Mamanya, telah sengaja membuang semua kenangan tentang Kanaya, secara diam-diam. Ia benar-benar tidak dapat mengingat apapun, tentang masa lalunya. Merasa kesal dan marah dengan keadaannya se
"Mas Bimo? kamu ada dimana sekarang?" tanya Niken siang itu, melalui panggilan selulernya, saat mendapati, Bimo tak ada di ruangannya."Maaf Niken, aku ada urusan." jawab Bimo singkat."Yah, urusan apa sih? padahal baru aja, aku mau ajakin kamu makan siang!" rajuknya, tampak kesal."Maaf, lain kali saja. Sudah dulu ya." Bimo langsung mematikan ponselnya, supaya tak ada lagi, orang yang akan mengganggunya, membuat Niken berdecak kesal. Gadis didepan nya, tampak menatapnya dengan pandangan yang penuh tanya."Maaf, jadi kita dulu memang saling kenal ya?" tanyanya lagi, kepada gadis berlesung pipi itu.Kanaya tersenyum tipis, kemudian mengangguk."Ada banyak hal, yang ingin aku tunjukkan pada Kak Bimo." ucapnya, kemudian bangkit dari duduknya. "Kemana?" tanya Bimo, menatap gadis itu."Ayok." ajak Kanaya, kemudian mengambil kontak motornya.Tanpa banyak tanya lagi, Bimo pun kemudian mengikuti langkah gadis didepannya."Aku duduk di belakang? Gak mau ah, aku aja yang setir!" ucap pria ber
"Apa ini?" tanya Bimo, saat menerima bungkusan daun jati, yang berisikan lontong pecel. "Ini adalah favorit Kakak dulu, waktu aku masih berjualan di sekitar kampus." jelas Kanaya. Bimo segera membuka bungkusan itu, yang sudah di letakkan di atas piring."Baunya enak," ucapnya segera menyendok potongan lontong itu, yang sudah bercampur dengan sayuran dan bumbu kacang. "Bismillâh dulu Kak." peringat Kanaya, terkekeh."Oh iya, lupa." jawab pemuda berkuncir itu, tampak tersenyum malu.Tanpa menunggu lama, isi dalam daun jati itu, sudah tampak bersih, tak bersisa lagi.Kanaya yang memperhatikan semenjak tadi, tampak tersenyum puas."Enak ..besok aku mau lagi." ucap Bimo, segera mengambil gelas minuman yang di sodorkan oleh Kanaya, dan meneguk nya hingga habis."Boleh??" tanyanya, menatap wajah Kanaya. Gadis berlesung pipi itu, segera mengangguk sembari tersenyum lebar.Setelah berbasa-basi sebentar, Bimo pun kemudian pamit."Aku harus masuk hari ini, ada jadwal operasi jam 9 nanti." pa
Sepulang dari rumah sakit sore itu, Bimo tak ingin langsung pulang. "Kanaya sudah pulang belum ya, dari kuliahnya?" gumamnya merasa rindu, dengan gadis berlesung pipi itu. Terlihat langit mulai gelap, angin berhembus sedikit kacang, menghantarkan hawa dingin, pertanda hari akan hujan.Jam masih menunjukkan pukul setengah empat. Niken tampak berlari-lari, menghampiri pemuda berkuncir itu, di parkiran."Mas Bimo, aku ikut mobil kamu ya?" ujarnya, segera memegang lengan pemuda itu.Entah mengapa, Bimo kini merasa risih, di perlakukan seperti itu, oleh Niken."Maaf Niken, tapi aku tidak langsung pulang, aku masih ada janji dengan seseorang." tolak nya."Janji? janji sama siapa?" tanya Niken, terlihat curiga."Itu bukan urusan kamu Niken, sudah ya, kamu pulang naik mobil kamu sendiri saja." Bimo segera melepas pegangan tangan gadis itu, dan membuka mobilnya."Orang itu pasti perempuan kan?" Niken berkata dengan dingin, menahan pintu mobil Bimo."Itu bukan urusan kamu." jawab Bimo."Tetap
"Kanaya nya ada Bu?" tanya pemuda berkuncir itu, langsung pergi ke rumah makan Kanaya, karena ia merasa, gadis itu tidak akan langsung pulang ke rumahnya. Bu Tuti tampak terkejut, melihat tubuh Bimo yang basah, sore-sore begini datang mencari Kanaya."Nak Bimo, kenapa basah seperti ini? nanti kalau sakit bagaimana?" seru bu Tuti, tampak khawatir. Bimo tak menjawab, ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok Kanaya, di rumah makan itu... "Kanaya belum datang kemari Nak Bimo." jawab bu Tuti akhirnya, karena melihat wajah Bimo, yang tampak khawatir."Kalau begitu saya pamit ya Bu." pamit Bimo, mencium punggung tangan bu Tuti."Loh, tidak makan dulu Nak? setidaknya ganti dulu bajunya, biar ndak masuk angin.."Bimo menggeleng, sembari tersenyum tipis, kemudian segera masuk ke mobilnya lagi, dan berlalu.Bu Tuti, hanya dapat menatap heran, dengan tingkah pemuda barusan."Kemana Kanaya? apa dia pulang ke rumah?" gumamnya. "Sebaiknya aku pastikan dulu, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan