Nyali Mirna seketika menciut. Kepalanya menunduk dalam, menatap piring di tangannya seolah mencari tempat persembunyian.“Ma–maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan ada di sini,” ujarnya dengan suara bergetar.Di ranjang, Selina bisa menebak apa yang bergemuruh di kepala Mirna saat ini, segudang asumsi liar membuat wanita itu kaku di tempat. Wajar saja. Melihat Papa mertua dan menantu di kamar yang sama, siapa yang bisa berpikir jernih?Namun Selina memilih diam. Ia tidak ingin memperpanjang hal yang tidak perlu, hanya menunggu, ingin tahu alasan apa yang akan Dusan lontarkan.Sayangnya, alih-alih memberikan dalih, pria itu justru menatap Mirna dengan tatapan elangnya.“Bibi ke mana saja?” tegur pria itu, nadanya tetap datar dan tegas. “Tadi saya mau minta tolong siapkan makanan dari Giovanni untuk Selina, tapi Bibi nggak ada di dapur.”Mirna seperti kehilangan napas, leher wanita itu begerak naik turun. Bibirnya bergerak tapi tidak ada satupun kata yang keluar.“Apa gunanya saya mengg
Alih-alih menjawab, Dusan menundukkan wajah sejenak, lalu kembali menatap Selina yang kini setengah duduk.Garis rahang pria itu tampak tegas, pancaran manik hitamnya teras dingin di kulit Selina, dan entah kenapa, kehadirannya membuat kamar yang tadi tenang terasa lebih menyesakkan."Apa maksud tatapanmu itu, hm? Nggak suka Papa datang?" Dusan memiringkan kepalanya, sorot matanya yang datar membuat Selina segera menerbitkan senyum. Perempuan yang tengah mengenakan gaun tidur berwarna gading itu kini membuang napas panjang, lalu meraih jemari Dusan."Bukan nggak suka, tapi Papa yang tiba-tiba di sini bikin kaget Selina," ujar Selina seraya memanyunkan bibirnya.Dusan yang duduk di tepi ranjang hanya mengangkat sudut bibirnya, satu tangannya yang tidak dipegang Selina terulur mengusap kepala wanita itu."Kamu tidur nyenyak sekali. Papa nggak mau ganggu."Selina melayangkan pandangannya beberapa detik ke arah jam digital di atas nakas sebelum kembali menatap Dusan. Angka merah di layar
“Ah … maaf kalau aku mengejutkan kalian,” ucap Giovanni, suaranya menurun pelan saat melihat dua wanita di hadapannya menoleh bersamaan. Pandangannya melembut ke arah Selina. “Aku cuma khawatir, kamu belum keluar juga dari tadi.”Selina cepat-cepat menggeleng. “Oh, maaf, Sayang. Aku konsultasi banyak hal sama dokter Ersa jadi nggak ingat waktu. Kamu buru-buru ke kantor?”Giovanni seperti biasa sangat percaya pada ucapan istrinya. Ia menggeleng. “Enggak, aku cuma nggak tenang aja. Apa boleh aku masuk? Aku mau tahu gimana keadaan kamu?”Selina terlihat ragu, tetapi ia segera berbalik badan lalu memberikan kedipan mata kepada Ersa agar segera menjawab pertanyaan suaminya. “Dokter, boleh suami saya masuk? tanya Selina seolah meneruskan pertanyaan Giovanni.“Oh, tentu boleh. Kebetulan pemeriksaannya juga sudah selesai. Silakan masuk, Pak Giovanni, saya jelaskan sebentar, ya,” ujar Ersa ramah.Giovanni segera berjalan masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi kosong sebelah Selina. Sementa
Alih-alih menjawab, Selina justru menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lain. “Kamu sudah lama menjadi dokter keluarga Mathias, apa kamu nggak merasa ada yang aneh dari Dusan dan Marissa, terutama soal Giovanni?” Ersa mengerjap beberapa kali. Perempuan itu tampak tidak yakin pada jawaban yang ingin ia berikan.“Aku lihat mereka baik-baik aja. Kamu termakan gosip dari media mana, sih?” tanyanya sambil menautkan alis, matanya melirik sekilas ke arah pintu, seolah takut ada yang mendengar.Selina mendecakkan bibir pelan. “Mana pernah aku termakan gosip.”“Terus? Pak Dusan yang bilang sendiri ke kamu?” Ersa memiringkan kepala, menatap Selina penuh selidik.Selina menghela napas, menatap langit-langit ruangan sejenak sebelum menurunkan pandangannya lagi. “Nggak sepenuhnya begitu,” ujarnya pelan. Suaranya nyaris tenggelam di antara dengung pendingin ruangan. “Cuma suatu waktu Dusan pernah bilang kalau dia dan Giovanni nggak memiliki darah yang sama.”Ersa terdiam beberapa detik, lalu
“Sebentar, Sayang, kenapa jadi tiba-tiba bahas program hamil? Kamu kan udah sepakat tunggu sampai siap dulu?” Selina menatap lekat-lekat wajah suaminya, seakan mencari sebuah petunjuk dalam sepasang mata itu. Sebenarnya, bukan hal baru kalau Giovanni menyinggung soal anak. Sejak awal pernikahan, keinginan itu sudah jadi nada latar di hampir setiap percakapan mereka. Namun Selina selalu berusaha meyakinkan bahwa mereka belum siap.Akhirnya, Giovanni setuju untuk menundanya dulu. Hanya saja, entah kenapa kali ini ia terlihat berubah pikiran.Pria itu menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Tatapannya menerawang menembus langit-langit kamar. “Tapi apa yang dibilang Mama juga ada benarnya, kita nggak kekurangan apapun, Selina. Kita sudah sama-sama mapan.”Selina menahan senyum, bibirnya melengkung tipis tapi pancaran matanya menggelap. Ia mendekat, jarinya menelusuri rahang Giovanni yang tegas, lalu menangkupnya lembut. “Aku tahu, Sayang, kita nggak ke
“Siapa yang bikin bekas itu?” tanya pria itu lagi.Nada Giovanni terdengar datar. Tatapan matanya masih bertahan di leher Selina, tepat pada noda memar berwarna ungu samar.Tenggorokan Selina bergerak turun naik. Ia menyentuh lehernya, berusaha menutupi jejak yang ditinggalkan oleh papa mertuanya. Dalam hati merutuki perbuatan Dusan yang hampir saja mencelakai dirinya.Namun, bukan Selina jika tak bisa mengubah rona wajahnya meski batinnya penuh tekanan.Wanita itu menaikkan dahinya, lalu memicingkan mata ke arah sang suami. “Siapa lagi yang bikin kalau bukan kamu?”Giovanni mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.“Aku?” tanyanya, m