Oh iya, mengenai kedatanganku yang tiba-tiba semalam, kedua orang tuaku cukup terkejut karena sebelumnya aku sama sekali gak ngasih kabar akan pulang. Mama langsung mencercaku dengan pertanyaan aku pulang dengan siapa, kenapa beberapa minggu ini gak pulang, tiap di telepon susah.
"Tadi siapa yang nganterin Kakak?Tumben gak naik kereta?""Pulang bareng temen Mah, lumayan irit ongkos." dustaku pada Mama."Kenapa gak disuruh mampir dulu, gak sopan banget kamu udah numpang tapi gak nawarin mampir."Aku hanya nyengir mendengar omelan Mama, "dia sibuk Mah, udah ditungguin juga sama keluarganya."Dan akhirnya malam itu aku dan Mama bercerita-cerita sampai malam sambil menunggu Stevan pulang.Kembali lagi tentang Jendra yang memaksaku untuk ikut pada kunjungannya. Aku sudah selesai bersiap-siap saat mendengar ponselku berdering."Iya halo Dra. Iya ini udah selesai bentar lagi aku keluar."“Aku perlu turun gak?” tanyanya.“Ga usah macem-macem gakTak terasa sudah hari Senin lagi. Setelah dadakan cuti hari Jumat kemarin, Shela langsung memberondongku dengan pertanyaannya. Kami baru sempat bertemu di kantor, karena kemarin aku kembali ke apart malam hari. Salahkan saja Jendra yang menahanku di apartnya begitu kami sampai di Ibukota. Dia baru mengantar ke apartku ketika dia akan kembali ke kota M."Lo kemana aja selama cuti kemarin?tumben banget cuti dadakan gak ngabarin gue dulu. Gue cari lo di unit juga gak ada.""Gue di culik Jendra, gak di pulangin ke apartemen." Jawabku cuekShela melototkan matanya, "seriusan?bukannya lo gak mau ketemu dia lagi?"Sebelumnya aku sudah menceritakan semuanya pada Shela. Karena waktu malam itu dia menemukanku menangis di apartemen sendirian. Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada Shela."Hmmm dia nyuruh Tina buat janjian ketemuan sama gue, eh ternyata yang datang malah Jendra. Dan akhirnya di cafe itu chaos gara-gara banyak wartawan.""Oh gue tahu, gue sempet ba
Pagi ini aku terbangun dengan mata yang sembab. Tadi selesai mandi, aku berkaca dan mataku terlihat bengkak. Ternyata bukan hanya hatiku yang berantakan, tapi wajahku kini terlihat sama mengerikannya juga. Meskipun sudah menggunakan concealer untuk menyembunyikan lingkar hitam di bawah mata, tapi tidak banyak membantu. Semalaman aku terus menangis. Hatiku masih terus merasa sesak setiap mengingat foto itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku, foto yang diambil dari sisi samping itu, menampilkan Jendra dan Tari. Tidak perlu melihatnya 2 kali, terlihat jelas wajah dan postur tubuh itu milik Jendra. Aku yang sudah pernah melihatnya shirtless ataupun saat mengenakan baju, aku langsung mengenali bahwa itu Jendra. Aku ingin menyangkal tentang kebenaran foto itu, tapi semuanya tampak nyata. Dan ancaman yang dilontarkan Tari, membuatku tidak mempunyai pilihan lain. Aku juga memikirkan bagaimana nanti aku menghadapi Jendra. Aku ingin segera mengkonfrontasinya, meskipun aku tahu na
"Ya halo?" jawabku. "Mbak Dela masih belum jauhin mas Jendra?Jangan dikira aku ga ngawasin mbak ya." Aku menghapus air mataku yang kembali menetes, "aku butuh waktu buat bicara sama Jendra." Terdengar suara Tari yang tergelak, "butuh waktu?tadi mbak udah ketemu sama mas Jendra, kenapa ga bilang langsung aja, ngapain di tunda-tunda." "Gak semudah itu Tari." "Mbak jangan anggap ancaman aku cuman gertakan aja ya, kalau sampai kesabaranku hilang. Tinggal tunggu saja kabar kehancuran mas Jendra di media massa. Aku sudah pernah bilang, aku gak masalah kalau harus hancur bareng mas Jendra." "Jangan macem-macem kamu Tari." Ucapku geram. "Makanya jangan buat kesabaranku habis. Aku tunggu kabar selanjutnya." Panggilan Tari berakhir. Aku menatap kosong ke depan, semakin kalut setelah menerima telepon dari Tari. Lama terdiam, tiba-tiba suara bell berbunyi, aku berjalan menuju pintu untuk membukanya. "Selamat malam, pesanan atas nama Dela."
Namun, dugaanku salah. Ternyata Jendra masih belum tidur. 5 menit setelah pesanku terkirim, dia langsung meneleponku. Aku yang tidak sanggup bicara dengan Jendra, memilih mengabaikannya. Puluhan kali panggilan masuk, sampai akhirnya dia mengirim pesan. Jendra : Sayang?Sayang, angkat telepon aku. Becanda kamu gak lucu ya. Aku hanya membaca dan mengabaikan pesannya. Kembali ada pesan masuk dari Jendra. Jendra : Jangan kayak gini, jelasin maksud pesan kamu sayang. Please, kita baru mulai, kenapa kamu tiba-tiba bilang kayak gitu. Kamu gak bisa ngambil keputusan gegabah Dela. Pesan dan panggilan dari Jendra terus masuk ke dalam ponselku. Aku takut saat berbicara dengan Jendra akan membuatku menyerah. Malam ini aku matikan ponselku. Aku yakin Jendra tidak akan kesini, karena besok dia masih harus bekerja. ***Ternyata perkiraanku lagi-lagi salah, pulang kerja aku menemukan Jendra di depan pintu aparte
Setelah kepergian Jendra kemarin, sama sekali tidak ada pesan atau telepon darinya. Pagi ini aku memutuskan untuk mengajak Shela membeli sarapan di luar. Aku ingin menghirup udara segar, agar bisa mengurangi sesak di hatiku. Aku menunggu Shela di lobby, karena tadi dia bilang sudah siap. Saat menunggu Shela, ada pesan masuk dari Mama yang menanyakan kabarku. Dan tentu saja aku menjawab bahwa aku baik-baik saja, dan meminta maaf karena beberapa minggu ke depan mungkin aku tidak bisa pulang. "Ya Ampun Del, mata lo parah banget sih bengkak kayak gitu." Begitu sampai Shela langsung terkejut melihat keadaan mataku. Aku mengedikkan bahu, "ntar juga kempes sendiri, tadi udah gue kompres kok." "Sumpah lo nangis berapa lama sampek bengkak gitu?semalem gue samperin lo gak mau." Semalam Shela meneleponku mengajak untuk beli makan diluar karena dia melihatku seharian kemarin lemes dan tidak bersemangat, jadi dia berinisiatif mengajakku keluar untuk refreshing. Namun saa
"Dela, sini nak." Papa memanggilku untuk mendekatinya. Aku duduk dihadapan papa, tak lama mama menyusul dan duduk di samping papa. "Apa bener kamu pacaran sama nak Jendra." Tanya papa langsung to the point. Aku menatap Jendra yang sekarang juga sedang menatapku. "Kami udah ga ada hubungan apa-apa Pa." "Kami sedang bertengkar, ada salah paham diantara saya dan Dela. Tapi saya serius dengan ucapan saya untuk segera menikahi Dela." Aku menatap tajam pada Jendra, namun dia tak juga gentar. Papa menghembuskan nafas berat, "Nak Jendra, kalau ada salah paham diantara kalian bisa kalian selesaikan terlebih dahulu. Mengenai keinginan Nak Jendra untuk menikahi Dela, saya serahkan sepenuhnya keputusan pada Dela. Apa orangtua Nak Jendra udah tahu tentang keluarga kami? Jendra menggangguk dengan yakin, "sudah om, Mama saya sudah tahu. Dan keluarga saya sudah setuju." Aku membuang muka dan berdecih sebal. "Ya sudah kalian selesaikan dulu kesalahpahaman
Mau tak mau akhirnya Tari membuka lebar pintunya dan mempersilahkan kami masuk. Jendra masuk ke dalam masih dengan menggenggam tanganku diikuti oleh Aldo dibelakangku. Wajah Tari terlihat semakin kesal saat aku melewatinya. Tanpa dipersilahkan tuan rumah, Jendra mengajakku duduk di sofa, Aldo berdiri di sampingnya. Tari mengambil duduk tepat depan kami. "Apa ancaman yang kamu lemparkan pada Dela sampai dia jauhi aku?" Tanya Jendra tanpa basa basi, nada bicaranya pun terdengar dingin. Tari menatapku nyalang, seolah menuduhku mengadukannya. "Gak udah natap Dela kayak gitu, bukan dia yang ngadu. Jelas-jelas tadi kamu sendiri yang bilang di telepon." Lagi Jendra membuka suaranya. "Aku bakalan sebarin foto itu kalau mbak Dela gak jauhin mas Jendra." "Cih," Jendra berdecih kesal. "Dari mana foto itu, perasaan pas kita ngobrol berdua gak ada orang lain disana." "Mas gak perlu tahu." "Oke, aku bakal cari tahu sendiri. Kamu siap-siap aja terima akibatnya."
Jendra memarkirkan mobilnya di parkiran basement. Masih setia dengan diamnya, ia berjalan mendahuluiku menuju pintu lift. Melihat sikapnya yang seperti itu, membuat nyaliku semakin menciut. Begitu sampai di dalam unitnya, Jendra langsung menarik tanganku dan membawaku ke dalam pelukannya, pelukan yang selama beberapa hari ini aku rindukan. Kami berpelukan cukup lama melepaskan rindu yang selama ini membelenggu kami, hingga akhirnya Jendra melepas pelukannya dan menatapku lalu berbicara,"Kenapa kamu ga pernah cerita tentang ancaman Tari?"Aku memalingkan wajah, "aku gak mau kamu tahu?" "Apa kamu bilang?aku ga perlu tahu?dan kamu dengan seenaknya bisa ngambil keputusan sepihak gitu?" Jendra berkacak pinggang di depanku, sedangkan aku hanya bisa menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. "Listen to me. Kalau sedari awal kamu bilang, aku bisa segera ngatasin ini semua Dela." Ucapnya. Aku memberanikan diri mengangkat wajahku, di dalam matanya terlihat