Mag-log inLepas magrib Angga tiba di rumah, ia keluar dari mobilnya setelah memastikan semua barang-barangnya tidak ada yang tertinggal. Sambil membuka sabuk pengamannya, matanya sesekali melirik ke pintu masuk. Biasanya Yasmin akan berdiri di sana menyambutnya pulang.
"Tumben gak nyambut, gue?" gumannya tanpa sadar. Biib. Setelah memastikan mobilnya terkunci dengan benar, Angga pun melangkah dengan ringan masuk kedam rumah. Ceklek. Kedua alis Angga mengerut saat akan memasukan anak kunci yang biasa ia bawa, namun keadaan pintu tidak terkunci dari dalam. "Tumben gak di kunci ...." gumamnya heran. Angga pun melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah, dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Ada sesuatu yang hilang, namun ia tidak tau itu apa? "Hahahaha ...." "Mamah yang kalah, jadi harus di hukum!" "Jangan, Kak. Ampun! Hahaha ...." "Ian bantu pegangin Mamah, Kak!" "Iyaa, pengang yang erat." "Hahaha ... Ampun, Bi ... Dek tolong Mamah, Dek!" "Ndak, Mamah harus di hukum." Senyum Angga terbentuk sempurna, saat melihat kebersamaan istri dan anak-anaknya. yang tengah asik bermain di depan televisi yang masih menyala. Pantas saja Yasmin tidak menyadari kedatangannya. "Ayah pulang!" seru Angga, membuat ketiganya menoleh. Lalu kedua putra-putrinya terpekik girang. "AYAAAH!!" keduanya melompat, menghampiri Angga yang sudah bersimpuh sampil membuka kedua tangannya lebar-lebar. menyambut keduanya kedalam pelukan. "Seru banget kayaknya, sampai Ayah pulang gak sadar." ucap Angga pura-pura merajuk. "Maaf, kita lagi asik main." balas Bianca, sambil turun dari pangkuan ayahnya. "Ayah tumben pulang siang?" tanyanya heran. Biasanya, mereka akan bertemu dengan ayahnya saat sarapan saja, jarang sekali Angga pulang masih siang seperti ini. Apalagi saat datang wajahnya terlihat sangat hangat tidak dingin seperti biasanya. "Iyaa, kerjaan Ayah gak begitu banyak, jadi bisa pulang cepat," jawab Angga, sambil mengusap sayang rambut halus sang putri. Ekor matanya melirik Yasmin yang langsung sibuk dengan ponselnya, dari pada menawarinya makan atau minum. "Yas, kamu sakit?" tanya Angga, membuat Yasmin mengalihkan perhatian dari ponselnya. "Enggak," jawab Yasmin, menggeleng pelan. "Tumben tadi gak nganterin makan siang?" tanya Angga, seraya bangkit saat Bianca dan Brayan kembali menghampiri ibunya. "Lagi males aja," balasnya singkat. "Kamu gak nungguin sampai gak makan siang 'kan Mas?" Di tanya seperti itu Angga sedikit gelagapan. "Eng–enggak, aku makan di kantin kok." Yasmin mengangguk dengan bibir tersenyum lembut. "Bagus deh, mungkin mulai sekarang dan seterusnya aku gak nganter makan siang lagi, gak apa-apa kan?" "Kenapa?" tanya Angga, entah kenapa ada rasa tak rela saat Yasmin berhenti mengiriminya makan siang. "Gak apa-apa, aku mau mulai usaha aja dari rumah." jawab Yasmin, tanpa menatap suaminya. Sementara Bianca dan Brayan kembali sibuk dengan permainan ular tangga mereka, pipi keduanya sudah penuh dengan bedak akibat hukuman jika kalah, begitu pun dengan Yasmin tak jauh berbeda, cemongnya. Keduanya seolah pura-pura tidak mendengar pembicaraan kedua orang tuanya. "Mau usaha apa?" Angga membuka dasi yang terasa mencekiknya, lalu menaruhnya asal di sofa. "Bikin kue muffin, nanti aku coba share di grup ibu-ibu komplek." "Ohhh," Angga membulatkan mulutnya, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. bingung harus bertanya apa lagi. "Kamu sudah makan?" tanya Yasmin, yang langsung membuat Angga kembali bersemangat. "Belum!" ia menggeleng cepat. Yasmin menghela napas lelahnya, lalu bangkit dari duduk lesehannya. "Ya udah, aku siapin dulu. Kamu mandi dulu sana," titahnya, sambil beranjak ke dapur. "Iyaa," Angga dengan semangat mengambil dasi yang tadi ia lempar, lalu menghampiri anak-anaknya. "Sayang, Ayah mandi dulu yaa. Nanti kita main bareng," "Iyaa," sahut keduanya dengan nada senang. Angga berlari kecil ke arah tangga, menaiki tangga dengan cepat, seolah-olah takut ketinggalan kereta. Hingga tak sampai sepuluh menit, Angga sudah kembali turun dengan wajah yang sudah terlihat segar. "Lhoo, cepat amat. Kamu gak mandi?" tanya Yasmin heran, bahkan sayur yang ia panaskan belum panas sempurna. "Mandi," jawab Angga, kemudian duduk di kursinya. “Oh,” Yasmin mengangkat bahu acuh. “Makanan sudah aku panasin. Silakan. Aku mau nemenin anak-anak di depan.” Yasmin hendak beranjak, namun dengan cepat Angga mencekal tangannya. “Jangan pergi,” ucapnya pelan. Bahkan Yasmin nyaris tak mendengarnya. “Apa?” “Gak apa-apa.” Angga menggeleng, lalu segera melepaskan cekalannya. Yasmin kembali mengangkat bahu, acuh tak acuh, lalu melangkah meninggalkan dapur. Selepas Yasmin pergi, Angga menghela napas panjang. Entah apa yang salah dengan dirinya hari ini—rasanya ia seperti bukan dirinya sendiri. Angga mulai menyendok nasi beserta sop iga sapi yang tampak begitu menggugah selera. Seketika rasa hangat dan gurih memenuhi mulutnya, membuat lelah yang sejak tadi menempel perlahan mereda. Seperti biasa, masakan Yasmin tak pernah gagal. Rasanya selalu pas di lidahnya yang terkenal pemilih. Selama ini … bukan karena masakan Yasmin tak enak hingga ia memberikannya pada orang lain. Angga hanya berusaha menjaga perasaan seseorang dan tanpa ia sadari, justru itulah yang paling menyakiti hati istrinya sendiri. *** Setelah lelah bermain bersama anak-anak, Angga masuk ke dalam kamar, menyusul Yasmin yang sudah lebih dulu beranjak dengan alasan mengantuk. Dengan langkah perlahan, Angga membuka pintu kamar mereka. Ia takut jika Yasmin benar-benar sudah tertidur dan kehadirannya justru mengganggu. Begitu masuk, pandangannya langsung tertuju pada Yasmin yang tampak terlelap dalam tidur yang damai. Angga melangkah mendekat. Ditelaahnya wajah ayu istrinya yang tanpa polesan riasan. Ia harus mengakui—Yasmin sangat cantik. Tubuhnya pun masih terjaga, tak kalah dengan gadis muda, meski telah melahirkan dua anak. Hanya saja … Angga memilih menjaga hati seseorang dengan cara yang keliru: tidak memberikan seluruh hatinya kepada sang istri. Angga menekuk lututnya, bersimpuh di sisi ranjang. Perlahan wajahnya mendekat hingga hangat napasnya menyentuh kulit Yasmin. Pelan tapi pasti, ia menempelkan bibirnya di kening istrinya. Lama dan dalam. Mungkin … inilah kecupan pertamanya yang benar-benar tulus. Angga menjauhkan wajahnya, kembali menatap Yasmin dengan intens. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Setelah puas memandangi sang istri, Angga naik ke sisi ranjang, lalu masuk ke dalam selimut. Ia sempat melirik Yasmin yang sama sekali tidak terganggu oleh gerakannya. Sepertinya Yasmin benar-benar telah terlelap. Angga tak tahu, jika sebenarnya Yasmin belum tertidur. Ia sadar saat Angga menatapnya dari jarak sedekat itu. Ia juga merasakan kecupan hangat yang meninggalkan jejak lembap di keningnya. Kini… sikap hangat Angga malam ini terasa sangat asing. Padahal dulu, perlakuan seperti inilah yang paling ia dambakan. Apakah perlahan hatinya sudah membeku? Kekecewaan yang terus ia tumpuk telah menggerogoti perasaannya, meninggalkan ruang kosong yang dingin dan luka yang dalam. “Percuma … Yasmin, percuma .…”Seperti yang Yasmin katakan pada Angga, ia akan berjualan kue muffin yang akan ia bagikan di grup tetangga dan ibu-ibu sekolah. Mungkin hasilnya tak seberapa, tapi cukup untuk menyibukkan diri—mengalihkan pikiran dari luka batin yang terus mengendap.Aroma vanilla dan cokelat langsung memenuhi dapur saat Yasmin mengeluarkan muffin yang baru matang dari dalam oven.“Eeemmm … wangi banget!” serunya, bangga dengan hasil yang terlihat sempurna.“Mengembang sempurna ….”Yasmin memindahkan kue-kue itu ke dalam tempat kue susun berbahan kaca, menatanya dengan cantik. Ia lalu meraih ponsel, menyalakan kamera, dan memotretnya dari berbagai angle.“Sepertinya cukup,” gumamnya. Ia menyortir beberapa foto terbaik, lalu mengirimkannya ke semua grup yang ada di ponselnya.Saking asyiknya dengan kue-kue itu, Yasmin hampir lupa menjemput anak-anaknya.“Astaga … sebentar lagi mereka pulang.”Tanpa sempat membereskan dapur, Yasmin melepas apron-nya dan bergegas keluar, setelah memastikan tak ada kompor
Lepas magrib Angga tiba di rumah, ia keluar dari mobilnya setelah memastikan semua barang-barangnya tidak ada yang tertinggal. Sambil membuka sabuk pengamannya, matanya sesekali melirik ke pintu masuk. Biasanya Yasmin akan berdiri di sana menyambutnya pulang. "Tumben gak nyambut, gue?" gumannya tanpa sadar. Biib. Setelah memastikan mobilnya terkunci dengan benar, Angga pun melangkah dengan ringan masuk kedam rumah. Ceklek. Kedua alis Angga mengerut saat akan memasukan anak kunci yang biasa ia bawa, namun keadaan pintu tidak terkunci dari dalam. "Tumben gak di kunci ...." gumamnya heran. Angga pun melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah, dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Ada sesuatu yang hilang, namun ia tidak tau itu apa? "Hahahaha ...." "Mamah yang kalah, jadi harus di hukum!""Jangan, Kak. Ampun! Hahaha ...." "Ian bantu pegangin Mamah, Kak!" "Iyaa, pengang yang erat." "Hahaha ... Ampun, Bi ... Dek tolong Mamah, Dek!" "Ndak, Mamah harus di hukum." Senyum Angga te
Yasmin mematung sesaat, lalu berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Berusaha mengabaikan suaminya begutu saja, Namun dengan cepat Angga mencekal lengannya.“Yasmin, saya bertanya sama kamu!” bentaknya dengan suara tertahan.“Ada apa sih, Mas?”“Ada apa? Saya bertanya sama kamu!” teriak Angga tepat di depan wajahnya.Yasmin menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang sejak tadi bergemuruh di dadanya.“Aku mau mandi dulu, boleh?” ucapnya pelan, menatap Angga dengan tatapan lembut seperti biasanya. “Badan aku rasanya lengket banget.”“Kamu dari mana saja?” tanya Angga, kini sedikit menurunkan suaranya. “Anak-anak nungguin kamu berjam-jam di sekolah,”“Mereka biasa pulang sendiri, nggak masalah,” sahut Yasmin cuek.“Apa?” Angga menatapnya tak percaya.“Aku mandi dulu. Capek.” Yasmin melepaskan paksa tangan Angga yang mencekal lengannya, lalu melangkah pergi menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.Angga menatap punggung istrinya dengan heran. Tak biasanya Yasmin bersikap sedingi
Taksi yang membawa Yasmin berhenti di sebuah gedung tiga puluh lantai tempat suaminya bekerja, sudah hampir sepuluh tahun Angga mengabdi di sana. Dan sekarang menjabat sebagai menejer produksi. Dengan langkah tegap Yasmin menaiki tangga anak tangga di depan lobby, karena hampir tiap hari ia datang, sehingga para sekuriti sudah mengenalnya dengan baik. "Selama siang, Mbak." sapanya, dengan ramah menyapa dua resepsionis di sana. "Siang, Bu." balas mereka tak kalah ramah. "Titip ini yaa, seperti biasa. Buat pak Angga," Yasmin menyodorkan tas bekal yang di bawanya di atas meja resepsionis. Kedua wanita itu saling sikut, lalu tersenyum kaku menerimanya. "I–iyaa, Bu." "Makasih yaa, saya permisi kalo gitu," Yasmin menganggukkan kepalanya, lalu berbalik beranjak dari sana. Senyumnya tak pernah pudar, setiap langkahnya terasa ringan. Berharap suaminya bisa makan dengan lahap masakannya hari ini. Namun ... Saat akan memesan taksi online, tiba-tiba Yasmin menepuk keningnya sendiri. "Yaa
Pagi harinya, seperti biasa Yasmin di sibukan dengan rutinitas paginya menyiapkan sarapan dan memastikan ketiga orang tersayangnya sudah bersiap dengan rapi. Di meja makan sudah tersaji semangkuk besar nasi goreng dan tak lupa telor ceplok kesukaan semua orang. Yasmin tengah mengaduk kopi hitam milik suaminya ketika Angga datang, lalu duduk di kursi biasanya. Wajahnya seperti biasa ... Datar. "Kopinya, Mas." Yasmin menaruh cangkir kopi di hadapan Angga, lalu mengisi piring pria yang hampir berkepala empat itu dengan nasi goreng. "Cukup." ucap Angga, sambil mengangkat tangannya ke udara. "Ooh, oke." Yasmin kembali menyimpan sutil ke mangkuk nasi, lalu melepas apron pink yang sejak tadi melekat di tubuhnya. "Aku lihat anak-anak dulu,""Hemmmm." gumam Angga sambil menyeruput kopinya. Yasmin berusaha menarik sudut bibirnya, lalu memilih beranjak pergi dari sana untuk mengecek putra-putri kesayangannya. Yasmin menaiki anak tangga satu persatu, lalu menuju ke kamar Bianca terlebih da
Di sebuah rumah sederhana berlantai dua, seorang wanita tengah berias di dalam kamarnya. ia adalah Yasmin yang tengah menunggu sang suami pulang. Yasmin menatap pantulan dirinya di cermin meja rias, jemarinya dengan lembut menyisir rambut sehalus sutra. Ia mengambil lip serum, lalu mengoleskannya perlahan di bibir ranum yang tampak semakin memikat. Setelah selesai, Yasmin bangkit dari duduknya dan berputar pelan. Lingerie hitam yang membalut tubuhnya tampak kontras dengan kulit putih bersihnya. “Heeemmm, wangi…” gumamnya puas, menghirup aroma parfum mahal yang baru saja ia semprotkan di titik-titik sensitif tubuhnya. Matanya terarah pada jam di atas nakas dekat tempat tidur. Senyum terbit di bibirnya ketika jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. “Sebentar lagi Mas Angga pulang… mending aku tunggu di bawah,” ujarnya pelan, sambil meraih jubah satin dan membungkus tubuh indahnya. Dengan langkah ringan, Yasmin meninggalkan kamarnya untuk menyambut suami tercinta. Sebelum







