Hai pembaca semua, makasih yang masih setia membaca dan mengikuti updatenya sampai hari ini. Author mau info kalau dalam beberapa hari ke depan, mungkin update novel ini akan libur dulu atau slow karena ada kesibukan di real life ya. Tapi setelah beres, author akan update rutin lagi biar segera tamat ceritanya ya. Hehe. Makasih semua. Happy reading 🩷🩷
Sebuah pesta pernikahan diadakan dua minggu kemudian. Sepulangnya dari villa, semua orang langsung sibuk menyiapkan pesta secepat yang mereka bisa. Venue acara dipilih di taman sebuah hotel mewah yang sudah disulap menjadi sangat indah, privat, dan sakral. Dekorasi bunga-bunga hidup pun membuat suasana makin indah dengan harum aroma bunga. Menjelang resepsi, mual muntah yang Laura rasakan pun mulai berkurang drastis sampai ia bisa bergerak dengan lebih lincah dan leluasa. Sementara kondisi Winny sendiri malah terus menurun, tapi semangatnya untuk menjadi saksi pernikahan Darren dan Laura begitu menggebu. Winny ikut memilih gaun cantik untuk Laura dan ia juga begitu sibuk, walaupun semua kesibukan itu hanya bisa dilakukan dari atas kursi rodanya. "Kau cantik sekali, Laura!" puji Winny saat melihat Laura dalam balutan gaun pengantinnya. Sederhana tapi elegan. Perut Laura yang masih rata pun membuat gaun itu melekat erat dan Laura benar-benar sangat cantik. Laura sendiri sempat men
Dua bulan berikutnya, Winny menjalani harinya dengan jadwal pengobatan di Amerika yang menyita fisik dan mentalnya. Namun, kondisinya tetap tidak membaik. Di saat kondisinya terus memburuk, ia meminta pulang ke Indonesia, ke kampung halamannya. Ia ingin mengembuskan napas terakhirnya di sana. Harry dan Winda begitu sedih mendengar permintaan Winny. Mereka masih bersikeras berusaha agar Winny tetap hidup, tapi dokter pun sudah menyerah. Hingga akhirnya di sinilah Winny, berkumpul bersama semua orang di sebuah villa di luar kota dengan kondisi yang sudah lemah. Ia ingin membuat kenangan yang terakhir dengan semua orang yang sudah baik padanya. Ada Karina dan kedua orang tuanya. Ada kedua orang tua Winny. Ada keluarga Diego, ada Laura. Semuanya lengkap menurut Winny, terutama ada Cia di sana yang terus membantu mendorong kursi rodanya dibantu oleh Karina. Mereka menatap hamparan rumput luas di luar villa sambil menikmati angin yang berembus menerpa wajah mereka. "Surga itu jauh, M
Satu minggu berikutnya adalah satu minggu terberat dalam hidup Winny. Mendapati dirinya mengidap kanker pankreas stadium lanjut dan harus menerima itu terasa sangat berat. Winny menangis, berteriak, memberontak dengan sisa tenaganya sampai ia selalu lemah setiap hari. Namun, semakin ia memberontak, tenaganya bukannya makin besar malah makin habis. Winny minta Winda membawanya ke Amerika karena pengobatan di sana lebih baik, tapi kondisi Winny terlalu lemah untuk keluar negeri saat ini. Hingga di satu titik, Winny akhirnya sadar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah. Mungkin ini hukuman untuknya atas semua yang pernah ia lakukan, terutama pada Cia, anak kandungnya sendiri. Air matanya mengalir setiap hari. Dari yang sangat aktif bergerak menjadi diam seribu bahasa, tidak mau bicara, tidak mau menatap semua orang, tidak mau minum, tidak mau melakukan apa pun selain hanya mengedipkan matanya. Namun, tatapan itu selalu penuh cinta setiap Cia datang. "Cia!" "Mama!" Cia
Winda tidak berhenti menangis setelah dokter menyampaikan kondisi Winny. Harry pun terus memeluknya dan menenangkannya. "Itu masih dugaan, Winda." "Dugaan disertai semua gejala dan hasil pemeriksaan yang mendukung itu bukan dugaan, Harry! Itu kepastian yang tertunda. Anakku! Anakku!" Semua orang tidak bisa bicara lagi karena semua gejala yang Winny alami memang mengarah pada kanker.Diego dan Anna pun ikut bersedih, apalagi Karina, sahabat baik Winny. Cia sendiri yang belum tahu apa pun hanya terus menemani Winny di sana. Entah mengapa, Winny yang sedang tertidur lemah membuat Cia bisa lebih dekat dengan Mamanya, dibanding saat Winny sedang segar dan hanya bisa memarahinya. Cia tidak pernah pergi dari samping Winny. "Mama mau minum? Sini Cia bantu!" Cia naik ke kursi dan memegang gelas untuk Winny. Karina membantu Cia dengan air mata yang tidak berhenti mengalir, tapi tidak sekalipun ia memberitahu Winny apa pun. "Berhenti menangis, Karina! Aku bukannya akan mati, jangan menan
Ekspresi Darren berubah dari cemas menjadi bingung. Untuk sesaat, ia tidak benar-benar memahami maksud dokter itu. "Kandungan apa? Janin kecil? Laura ...." Darren melirik Laura yang sudah tertawa sambil menangis di sana. Dan air mata Darren pun ikut mengalir setelah akhirnya ia menyadari maksudnya. "Maksudnya ... Laura hamil? Istriku hamil, Dokter?" tanya Darren meyakinkan lagi. "Ya, Pak. Istri Anda sedang hamil. Selamat untuk Anda. Tapi pendarahan semasa kehamilan bukan hal yang bagus, apalagi di awal. Kita bisa lihat posisi kantong kehamilan yang sudah tidak bulat lagi di sini, tapi kita masih bisa mempertahankannya dengan penguat kandungan dan bed rest total." Darren mengangguk dan terus mengangguk saat dokter menjelaskan. Ia hanya mendengarkan sebagian karena ia terlalu fokus menatap wajah cantik istrinya yang masih berlinang air mata. "Aku mengerti, Dokter. Aku mengerti. Aku mengerti," ucap Darren sambil melangkah menghampiri istrinya dan langsung menangkup wajahnya. "Lau
"Sial! Awas, Laura!" Darren sempat melihat pergerakan Darwis dan ia langsung melindungi istrinya dengan membungkuk bersama. Di saat yang sama, polisi juga melihatnya dan langsung melepaskan tembakan juga. Dor!Suara tembakan bersamaan. Tembakan Darwis tidak mengenai apa pun, sedangkan tembakan polisi mengenai paha dalam Darwis. "Akhh!" pekik Darwis kesakitan. Darwis langsung jatuh berlutut. Kali ini para polisi langsung membekuknya, menindihnya ke aspal sampai pipi Darwis menempel di aspal. Kacamata Darwis sudah jatuh dan pecah, tangan Darwis diborgol, dan Darwis tidak berhenti berteriak. "Aku belum kalah! Aku belum kalah!" teriak Darwis tanpa henti. Sedangkan Laura masih begitu aman di pelukan Darren. Keduanya sudah duduk berjongkok di samping mobil, melindungi diri mereka dari peluru yang dilesatkan Darwis. Mereka masih terdiam dengan jantung yang berdebar kencang karena mereka belum tahu siapa yang terkena tembakannya. "Kau baik-baik saja, Laura? Kau baik-baik saja kan?"