Luciana mengaduk makan siangnya dengan sendok, tapi sejak tadi, tak satu suap pun masuk ke mulutnya. Gerakannya monoton, hanya sekadar menggugurkan kewajiban duduk di meja makan. Pikirannya melayang entah ke mana.Ruang makan itu seolah sunyi, meski pengunjung restoran cukup ramai. Satu-satunya yang terdengar bagi Luciana di sana, hanya suara alat makan yang beradu pelan dengan piring. Sesekali, napasnya terdengar berat. Sorot matanya kosong, jauh dari apa pun yang ada di hadapannya.Dia sedang melamun.Sampai akhirnya, sebuah sentuhan lembut menyadarkannya. Sebuah tangan menyentuh punggung tangannya pelan, membuatnya mendongak.Matanya langsung bertemu dengan sorot gelap milik Matthias. Pria itu duduk di seberangnya, menatapnya lekat-lekat dengan kekhawatiran yang tak berusaha dia sembunyikan."Kau masih memikirkan kejadian tadi?"Luciana hanya menatapnya sebentar sebelum menarik napas dalam. Alisnya mengernyit, lalu dia mengembuskan napas dan meletakkan sendoknya. Tatapannya jatuh k
"Ahh…"Erangan lirih lolos dari bibir Luciana. Tubuhnya bergetar, lemas, dan bersandar di dada Matthias. Napasnya terengah, keringat membasahi pelipisnya, dan helaian rambutnya menempel di wajah. Meski pakaiannya masih melekat di tubuh, kondisinya jelas berantakan—lengan kemeja terbuka, rok yang naik, dan sisa-sisa ketergesaan masih terasa di udara.Rasa bersalah menyelinap, tapi tidak cukup kuat untuk menandingi rasa puas yang mengalir setelah kehampaan panjang yang dia telan selama ini. Semenjak tandusnya hubungannya dengan Felix. Dalam pelukan pria ini, Luciana seakan kembali bernapas. Dosa yang terasa membebaskan.Dia tahu ini salah.Tapi ... dia tidak peduli.Luciana perlahan mengangkat wajah. Tangannya terulur, menyentuh dada Matthias yang masih terbuka sebagian. Dia menatap kancing kemejanya yang lepas, lalu mulai mengancingkannya satu per satu dengan gerakan pelan dan gugup.“Tidak seharusnya kita melakukan ini ... di kantor,” bisiknya dengan rona merah merambat di pipinya.Be
"Pak Martin baru saja mengabari kalau dia menyetujui proposal kita sebelumnya, Matthias. Kabar baik, dia memberi keputusan lebih cepat dari yang kita perkirakan."Luciana tersenyum sambil menyerahkan beberapa dokumen ke meja Matthias. Namun pria itu tidak bergeming. Tatapannya kosong, menembus lembar-lembar kertas seolah pikirannya sedang terdampar jauh dari ruangan itu."Matthias?"Luciana melambaikan tangan di depan wajahnya. Butuh waktu beberapa detik sebelum pria itu berkedip dan akhirnya menoleh padanya."Ya? Maaf, apa tadi?""Pak Martin setuju. Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan... tidak seperti biasanya. Ada yang mengganggu pikiranmu?"Luciana menatap penuh tanya. Dia mengenal pria ini cukup baik untuk tahu bahwa Matthias bukan tipe yang gampang kehilangan fokus—terutama saat sedang bekerja, tapi kali ini, jelas ada sesuatu yang mengusik ketenangannya."Setuju? Itu bagus... kabar baik," ucap Matthias pelan. Lalu menambahkan dengan nada ringan yang terdengar dipaksakan, "Aku ba
Keesokan harinya.Sarapan pagi diisi oleh ketegangan yang masih belum reda sejak semalam. Meja makan itu penuh keheningan. Hanya suara sendok, garpu serta gesekan pisau yang terdengar.Matthias tidak mau repot-repot bicara. Dia fokus pada makanannya. Bahkan tak memedulikan meski Victoria meliriknya. Sampai keheningan itu dipecahkan oleh suara ponselnya yang berdering. Luciana. Matthias berkedip dan mengambil ponselnya segera. Victoria tak sengaja melihat nama di layar ponsel itu, mengepalkan tangannya kesal. Tak mampu berbuat banyak ketika Matthias mengangkatnya tanpa pikir panjang. Ada kedipan kebahagiaan di mata Matthias. Senyum tipis yang nyaris tidak pernah Victoria lihat. "Selamat pagi, Luci. Ada apa? Apa semuanya baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?""Pagi, Matthias. Aku baik-baik saja berkatmu, terima kasih. Maaf aku mengganggu, aku ingin bertanya, apa aku harus ke rumahmu sekarang atau ke kantor saja langsung?"Matthias mengernyit. "Kantor? Kau mau bekerja? Luci, apa setid
Mobil milik Matthias berhenti tepat di halaman rumahnya. Sudah lewat makan malam saat dia akhirnya tiba di rumah, yang harusnya menjadi tempat bernaung sekaligus tempat penuh cinta. Namun justru, Matthias menemukan arti kata rumah di tempat lain, bukan di sana. Tidak dengan istrinya yang bahkan terasa begitu asing. Matthias membanting pintu mobil dan keluar segera. Dia berjalan santai dan membuka pintu rumah dengan kunci. Tempat itu masih terang. Tanda jika penghuni rumah kemungkinan belum tidur. Setiap langkahnya bergema di lantai marmer yang dia pijak. Menjadi pengisi di tengah keheningan, yang dia pikir tidak ada siapa pun dan istrinya belum pulang, tapi detik berikutnya, langkah dibuat terhenti ketika sebuah suara menyambut kedatangannya. "Pulang juga kau? Kupikir, kau tidak akan peduli rumah setelah bersenang-senang dengan wanita itu." Suara itu di belakangnya. Victoria. Menyindir langsung dia dan Luciana. Matthias pun berbalik cepat dan menatapnya. Di sana Victoria
Tok-tok-tok. Luciana mengetuk pintu ruang kerja Matthias. Dia berdiri dengan secangkir teh di tangan. "Matthias, ini aku, Luciana. Boleh aku masuk?""Masuklah."Setelah terdengar suara jawaban dari dalam, dia pun segera membuka pintu perlahan. Penandangan pertama yang dilihatnya, adalah Matthias sedang duduk serius di depan laptopnya. Luciana masuk dan menutup pintu dengan hati-hati. Dia melangkah sambil berusaha tak mengganggu pria itu bekerja, tapi Matthias segera mengangkat kepala tepat saat dia sudah ada di hadapannya. Pria itu menatap sesuatu di tangannya. Luciana tersenyum dan meletakkannya di atas area meja yang kosong. "Aku membuatkan teh untukmu. Aku minta maaf sudah membuatmu kerepotan seperti ini."Matthias berkedip. Menatap Luciana dengan tatapan tajam. "Kau membuatnya? Kenapa kau tidak diam saja di kamar? Kondisimu belum pulih sepenuhnya, Luci."Luciana tersentak ketika ditatap tajam seolah dimarahi. "Iya, aku membuatnya. Aku sudah sembuh kok. Tadi Dokter Raven kan bil