Home / Romansa / He Is My Husband (INDONESIA) / 03. Alasan Yang Menyakitkan

Share

03. Alasan Yang Menyakitkan

last update Last Updated: 2020-11-16 19:00:28

“Lo nggak capek apa Jan kuliah dengan keadaan hamil kayak gitu?”

Anjani menghela nafas, pertanyaan yang sudah sering ia dengar. Katanya mereka prihatin dengan keadaan tubuhnya yang tengah hamil tapi masih harus disibukan dengan kegiatan perkuliahan. Padahal Anjani fine - fine saja menjalaninya.

Anjani tersenyum simpul, menatap Naura yang menunggu jawaban darinya, “Jangankan merasa lelah, ngeluh aja gue jarang. Keadaan gue yang kayak gini nggak menyusahkan gue sama sekali kok, serius!" 

Cecilia yang duduk disamping Naura ikut menyahut, “Mungkin belum kali, baru tiga bulan kan? Nanti kalo udah gede juga baru kerasa capeknya,” 

“Betul tuh! Lagian kok lo boleh nikah sebelum lulus kuliah, kalo gue sih udah diusir dari rumah kali,” Nah kalau ini Jiya yang bicara. Demi apapun, mendengar ocehannya membuat Anjani menahan diri untuk tidak menarik rambut cewek bermulut lemes itu. Tidak etis sekali membandingkan hidup mereka seperti itu.

Gigi Anjani menggertak, tapi sekuat mungkin ia menahan emosinya. Reputasinya di kampus tidak boleh rusak hanya karena ocehan sampah mereka. Hal seperti ini yang kadang bikin Anjani malas bergabung dengan teman – teman ceweknya. 

“Udah gitu nggak nunda buat hamil lagi, seenggaknya tunggu lulus gitu. Mana suami lo lanjut S2 di Jogja, kan? Nggak ngertiin keadaan lo banget sih,” ujat Cecilia mengompori. 

Anjani tertawa. Cecilia tersentak kaget, apa ucapannya tadi terdengar lucu ditelinga calon ibu muda itu? 

“Hahaha, aduh! Gak kuat hahaha,” Anjani masih tidak bisa menghentikan tawanya. Astaga, teman-temannya lucu sekali. Berbicara seenaknya seolah mereka paham betul tentang rumah tangganya dengan Arsya. 

“Kalian ngomong gitu karena nggak tau rasanya punya suami kayak Arsya” ujar Anjani setelah berhasil menghentikan tawanya. 

'Males ah jelasinnya, kalian nggak bakal ngerti, ini perihal rumah tangga,” kata Anjani lagi. 

Cecilia, Jiya dan Naura yang tadi semangat memojokkan dirinya kini menatapnya jengkel. Tersinggung dengan ucapan Anjani barusan. 

“Oiya, sekali pun gue harus kuliah dengan keadaan hamil besar juga nggak masalah. Malah gue menunggu momen itu, anak gue lahir dan gue hidup bahagia sama suami gue.” Anjani mengusap perutnya sayang. "Lagian wajar lah gue minta buru-buru di nikahin Arsya, laki gue ganteng, baik, sholeh. Sayang kalau nunggu lama-lama, nanti keburu di rebut yang lain."

Cecilia menggebrak meja. Dengan wajah kesal setengah mampus ia bangkit lalu pergi tanpa pamit. 

“Cece kenapa?” tanya Anjani memasang wajah polosnya. Padahal ia tahu Cecilia sedang ke panasan, dulu cewek itu sempat memiliki rasa sama Arsya. Sayangnya, Arsya sudah lebih dulu menjadi miliknya.

Belum sempat Jiya menjawab, kehadiran Ardan mengambil alih atensi mereka. 

“Anjani?” panggil Ardan. Anjani segera bangkit dari duduknya. 

“Iya, Pak,” sahut Anjani. 

Ardan tertawa kecil melihat antusias Anjani, “Kamu kenapa disini?” 

Jiya dan Naura saling pandang. Melihat momen langka dimana Dosen baru yang dikenal jutek dan tak banyak omong itu bertanya pada Anjani. Padahal kalau ada mahasiswa yang negur aja cuma dibalas anggukan kecil sama Ardan. Tapi sekarang Ardan malah sudi menghentikan jalannya hanya untuk bertanya ke Anjani tentang kehadiran cewek itu di area kampus. 

“Nungguin bapak, siang ini saya kan ada jadwal bimbingan sama bapak. Bapak lupa?” 

Ardan menggeleng, “Nggak kok, saya nggak lupa. Hm... Maksud saya, kamu mau bimbingannya di kampus? gak di luar aja seperti bimbingan sebelumnya?” 

Ardan menggaruk tengkuk kepalanya salah tingkah. Jiya dan Naura kembali saling pandang, lalu menggeleng, merasa ada yang tidak beres dengan dosen muda itu. 

“Iya, Pak, di kampus aja, masa dipolsek.” Jawab Anjani sambil cekikikan. 

“Ya sudah, nanti langsung keruangan saya aja,” 

“Siap, pak!” 

Ardan menggeleng kecil sambil memamerkan senyum indahnya. Mengusap kepala Anjani sekilas lalu melenggang pergi. Meninggalkan Anjani yang membeku dan Jiya yang sesak nafas melihatnya, sedang Naura sudah ambruk dilantai. 

“Itu sih Ardan nggak liat apa ya perut Anjani udah belendung,” cibir Jiya menatap punggung Ardan sengit. 

“Jan please, kasih tau gue gimana caranya jadi lo?!" tanya Naura menatap Anjani penuh harap. 

***

Sekali – kali Anjani rasa tidak masalah berbohong pada suami. Selama berbohong bukan buat hal yang macam-macam. Lagian yang ada Arsya yang macam-macam, seenak jidat memerintahnya buat ganti dospem, dikira semudah itu. 

Kadang Anjani jengkel sama sifat Arsya yang posesif banget. Semua hal yang berhubungan sama cowok lajang pasti dilarang, aduh, dikira dengan keadaan Anjani yang lagi hamil gini cowok-cowok mau apa nyepik dirinya? 

Anjani menatap lurus jalanan didepan. Sore ini jalanan lancar, mungkin karena belum jam pulang kerja. 

Selesai bimbingan dengan Ardan, Anjani langsung dijemput oleh supirnya. Bimbingan tadi berjalan lancar, ternyata Ardan asik juga, meskipun sangat teliti dan banyak memberi komentar pada progresnya yang sudah setengah jalan. 

Ardan masih menjadi dospem nya meski Arsya melarang dan meminta Anjani untuk ganti Dospem. Anjani mengiyakan hal itu ke Arsya dan mengatakan bahwa dospem nya yang sekarang adalah Bu Patmi. 

Bukannya Anjani ingin sekali Ardan menjadi Dosen pembimbing nya. Tapi sangat tanggung untuknya mengganti dospem. Udah gitu skripsinya pun sudah mau selesai, hanya tinggal beberapa kali pertemuan saja. 

Semoga kebohongan nya berjalan mulus, setidaknya sampai skripsi Anjani di-ACC. 

“Mau mampir dulu nggak, neng? Kali aja ada yang mau dibeli,” tanya Pak Sur yang fokus pada roda kemudinya. 

Anjani mengulum bibirnya kedalam, “Kemana ya? Ke kafe kak Bara aja deh pak, kita ngopi dulu. Bapak suka kopi kan?” 

Pak Sur tertawa kecil, “Suka sih neng, tapi kalo saya lebih suka ngopi di warkop pinggir jalan,” katanya membuat Anjani terkikik kecil. 

“Kopinya kak Bara juga gak kalah enak sama kopi warkop kok, pak,” sahut Anjani. Pak Sur terkekeh pelan menanggapi.

Dering ponsel Anjani membuat obrolan ringan mereka terhenti. Dengan segera Anjani merogoh tasnya, mengambil ponsel dan menerima panggil masuk dari nama kontak Suamiku. 

“Hallo...” 

“Berani menentang dan berbohong ya sekarang sama mas?” cecer Arsya langsung tanpa basa-basi. Perlahan senyum Anjani memudar, raut wajahnya menurun drastis. 

“Hm, nggak gitu, mas...” jawab Anjani panik seketika. Perasaannya tak enak dan firasatnya berkata kalau Arsya sudah mengetahui kebohongan yang ia lakukan.

“Terus gimana?”

Anjani diam. Anjani kira perasaannya akan baik-baik saja setelah Arsya mengetahui kebohongannya. Tapi ternyata, rasa bersalah mendesak didada. Dan juga, kenapa Arsya mengetahui kebohongan nya secepat ini ??? 

Padahal belum 24jam Anjani melakukan kebohongan nya itu. 

“Mas melarang kamu bukan bikin kamu jadi berbohong kayak gini. Kan bisa kamu yakinin mas soal sih Ardan Ardan itu. Kenapa harus berbohong?”

Anjani masih diam. Pelupuk matanya sudah penuh dengan airmata yang siap terjun dengan satu kali kedipan saja. 

“Kok diam?” 

Selama menjadi suami, sekalipun Arsya tidak pernah berbicara tanpa intonasi ke Anjani. Selalu ceria meski Anjani tau Arsya lelah karena baru pulang kerja. Tapi sekarang, suara Arsya terdengar sedang sangat kecewa. 

“Mas nggak marah kalo kamu jelasin,” 

Anjani masih diam, sampai – sampai Pak Sur menoleh kearah Anjani yang mematung sambil memegang ponselnya yang menempel di daun telinganya. 

“Yaudah nggak usah jelasin---“

“Mas...” Anjani memotong ucapan putus asa Arsya dengan cepat. 

“Iya, sayang?” sahut Arsya mengubah nada bicaranya jadi sedikit melembut. 

“Maafin aku.” Kata Anjani. Spontan Pak Sur menoleh lagi mendengar suara melemah anak majikannya itu. 

“Kesalahan kamu apa?”

“Bohong sama mas”

“Kenapa bohong?”

Anjani menggigit bibirnya. Anjani tidak berbohong karena Ardan kan? Tapi kenapa bibirnya seolah mengelak untuk itu. 

“Aku gak mau ganti dospem, aku mau Pak Ardan jadi dospem aku,” 

Disebrang sana, Arsya memejamkan matanya, merasakan sesak yang teramat didalam dada. Arsya mengatur nafasnya, ia harus tenang. Tidak boleh marah dan bikin Anjani kepikiran, karena itu tidak baik untuk kondisi janin yang Anjani kandung. 

Arsya menghembuskan nafas pendek, “Ya sudah gakpapa. Kalo gitu mas tutup ya, mau mandi.” 

“Mas---“

Tut---

Panggilan terputus sepihak. Arsya sudah memberinya izin, sudah mengetahui kebohongan nya, bukan kah seharusnya Anjani merasa plong? 

Tapi kenapa dadanya berdesir tak enak?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bee Kwon
jani strong
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • He Is My Husband (INDONESIA)    69. Ending

    7 Tahun KemudianHari libur bagi Arsya bukan lagi hari dimana ia bisa bersantai dan beristirahat di rumah. 8 tahun umur pernikahan, ia dan Anjani sudah di karunia 4 orang anak yang membuat waktu liburnya di sibukan dengan bermain dan mengurus buah hatinya.Sih sulung Arjeno Shakeel Cakrawala, bocah tampan yang sebentar lagi akan menduduki bangku sekolah dasar.anak kedua ada Archie Javier Cakrawala, anak laki-laki kedua yang umurnya 2 tahun lebih muda dari Jeno, tapi ia lebih aktif bermain di luar rumah bersama teman - temannya berbeda dengan Jeno yang lebih suka bermain di dalam rumah saja.Arjuno Keenan Cakrawala, sih bungsu gak jadi. Selain sudah lancar berbicara dan berjalan, Juno juga sudah lancar mengganggu kedua abangnya ketika sedang belajar.Kemudian ada sih bungsu yang baru berumur tiga bulan, anak ke empat Arsya dan Anjani yang satu ini berjenis kelamin perempuan, namanya

  • He Is My Husband (INDONESIA)    68. Motif Sih Pelaku

    Anjani menatap cemas kearah Nisya yang tengah terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit, entah apa yang terjadi pada cewek itu hingga membuat ia hampir saja kehilangan nyawanya. Nisya kritis, urat nadinya hampir terputus, namun masih bisa tertolong karena Anjani bergerak cepat memanggil bantuan medis.Anjani belum tau jelas sebab dari goresan luka di urat nadi cewek itu, entah ia sendiri yang melukai tangannya, atau laki - laki tak di kenal yang memukuli wajah Arsya.Jeno menggeliat di dalam gendongannya, membuat Anjani bangkit dari duduknya kemudian menimang Jeno yang mungkin mengantuk."Kenapa, sayang?" tanya Anjani dengan nada lembutnya kepada Jeno."Ooo.." gumam Jeno seraya berontak dari gendongan Anjani."Shuttt, gak boleh nakal, tante Nisya lagi istirahat.." ujar Anjani seakan melarang anaknya untuk menangis.Tangan Anjani menepuk bokong Jeno pelan, biasanya kalau J

  • He Is My Husband (INDONESIA)    67. Pesan Dari Nisya

    "Sya, ibu sama bapak pergi dulu ya, kamu jangan kemana - mana sebentar lagi mas mu pulang." ujar Tuti berbicara kepada Nisya yang sedang duduk melamun diatas tempat tidurnya. Cewek itu hanya menetap kearah Tuti sejenak kemudian memutuskan kontak matanya.Tuti yang melihat respon Nisya hanya menghembuskan napas berat saja, ia lantas menutup kembali pintu kamar Nisya dan berjalan menghampiri suaminya yang sudah menunggu diatas motor.Nisya menggigit kuku jempolnya, keadaannya cewek itu masih sama, tatapan matanya masih kosong, ekspresi wajahnya pun hanya satu, datar. Tak ada minat hidup dan aura yang keluar dari wajah manis gadis itu.Nisya beranjak turun dari tempat tidurnya, ia berjalan kedepan jendela, menatap lurus kearah luar rumahnya. Cuaca hari ini cukup bagus, mengingat kan Nisya pada suasana di kampusnya, biasanya di cuaca yang seperti ini ia bersantai di gazebo sembari menikmati bakso atau mie ayam bersama teman -

  • He Is My Husband (INDONESIA)    66. Ketakutan Terbesar Arsya dan Anjani

    "Jeno, lihat Ayah. Yeayyy Jeno bisa terbang!!!" seru Arsya yang tampak asik bermain bersama Jeno. Ya, bagi Arsya itu menyenangkan, namun jika Anjani melihatnya mungkin Arsya akan di cubit keras-keras, sebab saat ini Arsya mengangkat tubuh Jeno tinggi-tinggi di atas tubuhnya, siapapun yang melihat hal itu mungkin akan berteriak karena mengerikan. Tapi anehnya, baik Arsya dan Jeno malah tertawa menikmati."Jeno terbang lagi ya, hushhhh" ujar Arsya kembali mengangkat Jeno tinggi - tinggi. Ya beginilah jika ia lepas dari pengawasan Anjani, bermain dengan Jeno semauanya.Jeno tertawa menampilkan gusinya yang belum tumbuh gigi, bermain terbang - terbangan seperti ini sudah menjadi kegiatan rutin yang Arsya dan Jeno selepas Arsya pulang kerja. Karena kalau Arsya pulang kerja, Anjani akan pergi mandi, di sana itu lah ia melakukan aksinya bersama Jeno."Mas"Mendengar namanya di panggil Anjani, dengan cepat Arsya langsung menurunkan Jeno dan duduk manis di a

  • He Is My Husband (INDONESIA)    65. Back Home

    Usai kepulangan keluarga kecil Juna ke Bandung beberapa jam lalu, kini Gerry harus melepas kepergian Anjani dan Arsya karena satu jam lagi jadwal penerbangan pesawat yang akan membawa Anjani dan Arsya ke Jogjakarta.Arsya dan Anjani berangkat ke bandara di antar Gerry, Renya, Neisya dan Deka. Keempatnya meluangkan waktu untuk mengantar Arsya dan Anjani ke bandara. Sesampainya di bandara mereka duduk menunggu sembari mengobrol dan bercanda."Deka, kapan - kapan main dong ke Jogjakarta, sama Handa juga." ujar Anjani tersirat rasa meledek, ia baru saja dapat bocoran dari Renya kalau ternyata Deka berpacaran dengan Handa.Jelas Anjani mengenal Handa, sebab saudara laki-laki Handa adalah sahabat baik Anjani. Rumah mereka juga bersebelahan. Padahal dulu Handa dan Deka gemar sekali bertengkar dan menjadi rival. Tapi entah bagaimana ceritanya mereka bisa saling jatuh cinta. Entahlah, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu

  • He Is My Husband (INDONESIA)    64. Family Time

    "Kalian ini bawa bayi pulang malam - malam." ujar Gerry yang baru saja memergoki anak dan menantunya yang baru tiba di rumah usai berkelana kerumah teman lama mereka.Sekarang sudah jam sebelas malam tapi Arsya dan Anjani baru pulang kerumah bersama Jeno yang sudah tertidur pulas di gendongan Anjani. Gerry yang melihat itu tentu saja menggelengkan kepalanya, tak habis pikir kenapa mereka pulang kerumah larut malam bersama Jeno yang seharusnya sudah tertidur dengan nyaman di atas kasur empuk nya, bukan di gendongan Anjani."Maaf, pah." ujar Arsya merasa bersalah, ia mengangkat pandangannya menatap Gerry dengan tatapan memohon.Gerry berdecak, "Anjani, bawa Jeno masuk. Arsya, kamu temanin papah main catur." ujar Gerry kemudian beranjak pergi.Anjani dan Arsya yang mendengar itu saling melempar tatapan dan tersenyum tipis, kalau Gerry mengajak Arsya main catur itu tandanya Gerry sudah memaafkan mereka.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status