Keesokan harinya, mereka membawaku ke krematorium sesuai keinginanku, tungku kremasiku juga mewah. Aku mengikuti jasadku memasuki tungku pembakaran, melihat jasadku perlahan dilahap api, berubah menjadi abu sedikit demi sedikit.Di tengah pembakaran, samar-samar aku mendengar suara tangisan dari luar.Aku tak terlalu memedulikan, yang jelas aku berhasil menempati kotak abu yang kupiliih semasa hidup.Awalnya, aku berpikir jika mereka tidak memahami keinginanku, aku akan masuk ke mimpi dan menghantui mereka.Untungnya, semuanya berjalan lancar. Lagipula, aku tidak terlalu ingin memiliki hubungan lebih lanjut dengan mereka.Sherwin mengangkat kotak abuku, mengantarnya ke pemakaman. Aku melihat sekeliling, tempat ini cukup bagus, bahkan ada pemandangan gunung dan air yang indah.Dia membelai fotoku, bibirnya bergerak dan saat mendekatinya, aku mendengar dia berbisik pelan, "Maaf."Maaf? Apa gunanya minta maaf sekarang? Aku bahkan sudah tak punya harapan apapun terhadap mereka.Lagipula,
Stephen menundukkan wajahnya ke dalam syal, tubuhnya gemetar pelan. Dia ingat saat melihatku mengambil potongan-potongan syal itu dari tempat sampah. Saat itu, dia berdiri di belakang dan mengejekku."Bagaimanapun kamu menyatukannya, dia tetap sudah hancur dan nggak akan kembali seperti semula."Kata-katanya itu penuh makna. Aku mengerti maksudnya, tanganku yang memegang syal pun terhenti. Namun pada akhirnya, aku tetap keras kepala membawanya pergi.Dari dalam kamar terdengar suara tangis Stephen yang terpendam. Sherwin dan Samuel bersandar di pintu, memandangi apa yang ada di dalam.Sepertinya ini pertama kalinya mereka melihat isi kamarku yang kecil dan gelap.Samuel tampak terkejut, dia belum pernah menginjakkan kaki di kamarku.Dia mendekati lemari pakaianku. Lemari kecil dan agak tua yang menyimpan semua pakaianku di berbagai musim.Semua benda di sini sudah berumur, kecuali ranjang kecil di tengah kamar.Itu diganti karena ranjangku pernah runtuh di suatu malam dan serpihan kay
Bu Dokter, kakak resepsionis di studio foto dan penjual bakpao, mereka semua pernah memberi sedikit kehangatan padaku.Saat aku larut dalam pikiranku, semua saudaraku pun mulai datang satu per satu. Mendengar suara mereka, ekspresi dingin Sherwin kembali seperti biasanya.Selina menutup mulutnya, terkejut dan tak lama kemudian matanya bergenang air mata."Kakak ... kakak, kenapa bisa begini?"Isak tangisnya membuat orang sekitarnya merasa kasihan.Samuel memeluknya dan dengan lembut menenangkan, "Selina, jangan menangis, semua orang sudah ada takdirnya!"Takdir?! Gampang sekali dia mengatakannya?!Aku tidak percaya dengan takdir, tapi terkadang takdir memang suka mempermainkanku, menjadikanku orang yang berbeda ini.Aku melihat senyuman terselip di sudut bibir Samuel. Dia tersenyum, sepertinya senang akan kematianku.Mereka mengelilingi tubuhku, mungkin karena melihat fotoku dan kotak abu, mereka terdiam cukup lama.Dengan suara berat, Sherwin berkata, "Samantha baru saja menghubungik
Saat jiwaku mulai melayang, aku masih berpikir, kenapa diriku masih bisa melihat sekeliling?Baru ketika melihat tubuhku yang tergeletak di meja dan tidak bernapas lagi, aku pun menyadari sesuatu.Oh, ternyata aku sudah mati.Suara dari arah pintu menarik perhatianku. Aku menoleh, ternyata hanya pelayan yang pulang.Harapan terakhirku pun lenyap, mereka tidak kembali.Pelayan itu terkejut saat melihat tubuhku yang tergeletak di meja dengan foto pemakaman berdiri di sampingnya.Perlahan pelayan itu mendekatiku dan mengulurkan jarinya ke hidungku, setelah memastikan aku tidak bernapas lagi, wajahnya pucat dan dia pun menjerit.Dia mengambil ponselnya dan dengan suara gemetar, dia menelepon seseorang, suaranya menunjukkan betapa panik dirinya."Halo! Maaf, ada yang meninggal di sini ... ya benar, alamatnya di ... "Setelah menutup telepon, dia tampak berusaha menenangkan dirinya dengan menepuk dadanya. Namun tiba-tiba, dia menoleh melihatku.Tiba-tiba, ekspresinya berubah ragu.Seolah men
Kata-kata yang selama ini kupendam akhirnya terucap dan aku bisa mendengar jelas detak jantungku sendiri.Dulu, aku selalu merasa bisa menerima kematian dengan tenang. Tapi saat ini, tiba-tiba aku merasa ingin melihat dunia ini sekali lagi.Ruangan menjadi sunyi, hanya suara napasku yang terdengar sedikit tersengal.Ketika aku berpikir dia tak akan menjawab, suara dari balik telepon justru mematahkan harapanku, langsung menjatuhkanku ke neraka."Samantha, kamu pikir dengan berbohong seperti ini kami akan merasa kasihan padamu?""Kamu benar-benar bisa menggunakan segala cara agar kami pulang. Kamu pikir kami masih sebodoh saat masih kecil dan mudah tertipu olehmu?""Jangan lupa bagaimana ayah, ibu dan kakek meninggal."Hatiku jatuh ke dasar jurang. Bukan ... bukan seperti itu!Aku berteriak dalam hati dengan penuh keputusasaan, tapi tidak ada satu pun kata yang bisa keluar dari mulutku.Air mata mengalir di pipiku, menetes ke lantai.Seperti boneka yang kehilangan kendali, aku hanya bis
Seketika, tubuhku langsung membeku, lagi-lagi Selina.Aku sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya, pasti Stephen.Wajar saja, sejak kecil aku dianggap sebagai pembawa sial. Jika bukan karena diriku, mana mungkin keluargaku meninggal satu per satu?Mengingat ancaman Samuel, tubuhku gemetaran tak terkendali.Dulu, saat ibu baru saja meninggal, aku pernah diantar pulang oleh seorang dokter wanita yang baik hati.Tiga hari penuh, aku dikunci di gudang kecil rumah oleh Samuel. Tak ada yang memberiku makan dan minum.Pengalaman itu menjadi trauma masa kecil yang sulit kulupakan hingga saat ini.Pada hari ketiga, saat aku merasa hidupku akan segera berakhir, kakak pertamaku, Sherwin tiba-tiba muncul seperti malaikat penyelamat.Dia melepasku keluar.Meskipun setelah itu, dia tak pernah benar-benar peduli padaku, setidaknya dia adalah orang yang paling baik padaku di rumah ini.Aku yakin kabar tentang permintaanku tadi pagi sudah sampai ke telinganya.Melihatku hanya diam, Samuel mengira di