“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia.“Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini.Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu.“Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya.“Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.”“Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.”Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!”Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemburu dan
Decit ban memekakkan telinga, sepesekian detik beikutnya tabrakan pun tak bisa dihindari. Tubuh terguncang dan suara tulang beradu terasa sangat jelas terdengar di telinga, bau bahan bakar yang menguap dan suara teriakan adalah hal terakhir yang ia ingat. Intan pun kemudian membuka mata dalam kegelapan. Suara napas tak teratur beradu dengan cucuran keringat di suhu ruangan yang dingin ini sungguh sesuatu yang kontras tetapi seolah nyata seperti mimpi buruknya.Katukan di pintu kamar membuatnya kembali tersentak dan seketika menoleh ke arahnya. Dari lubang bawah pintu telihat bayangan yang menutupi celah cahaya redup dari lampu dinding. Ia mengejap cepat mencerna keadaan saat ini di mana dirinya berada dan sekaligus meneba siapa gerangan sosok tak sabaran di balik pintu.“Intan, Sayang. Kamu baik-baik saja?”Suara berat itu. Ah ya, Intan baru ingat sekarang. Pria itu berada di rumahnya bersama dengan mimpi buruk peristiwa kecelakaannya kembali datang. Pertanyaan penuh nada khawatir it
“Aku harus pulang,” ujar Intan seraya berusaha melepaskan tangan dari genggaman tangan Abraham. Pria itu tertahan di Rumah Sakit Daerah karena demam, beberapa paku payung yang menancap sungguh sudah sangat berkarat dan menyebabkan peradangan. Bakteri tetanus terpapar dalam tubuh dengan masa inkubasi pada 3 dan 21 hari.“Jangan.”“Ini sudah 7 hari dan aku harus bekerja. Aku sudah melapor ke polisi untuk mengusut kejadian itu. Aku tidak mau disalahkan karena kejadian itu di rumahku.”“Memang begitu, kamu selalu membawa kesialan dalam keluarga kami!” Novita berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah tertuju kepada Intan.“Dan kamu,” tunjuknya kepada Abraham yang terbaring bersandar kepala ranjang rumah sakit. “Dasar anak keras kepala sekaligus kepala batu. Sudah berapa kali Mami bilang ….”Novita balik menujuk ke arah Intan. “Wanita ini tidak pernah memberikan kebahagiaan seja hadir dalam hidupmu. Saat kamu bertemu dengannya pertama kali. Dia adalah wanita penuh kesialan, bahka
“Kamu ini memang benar-benar laki-laki tidak punya harga diri, Bram,” tegur Harjo, ayah dari Dharma.“Kamu juga ngapain ngantar anak ini ke sana. Sekarang malah gossip kalian sampai ke mana-mana.”“Bu. Saya baru balik dari sana sekitar 10 menit. Masa sudah ada gossip.”“Kamu tidak tahu bagaimana kompaknya warga kita. Semua berita bisa cepat tersebar,” timpal Hesty yang menatap kedua pria muda itu dengan raut jengkel.“Lagi pula gossip apa sih?” tanya Abraham santai.“Kamu diusir secara kasar dari sana,” jawab Hesty cepat.“Apa?!” ucap Abraham dan Dharma bersamaan.“Siapa yang menyebarkan berita bohong itu. Kami bahkan tidak bertemu dengan Intan. Dia sedang beristirahat.” Apa yang dikataan Dharma memang benar adanya. Ia tahu karena bisa melihat punggung Intan yang tidur miring di sofa ruang tamu. Wanita itu pasti sangat capek meningguin sepupunya yang bisa menjadi sangat menyebalkan seperti drama saat ia menjemputnya dan tak berhenti mengomel menyalahkan dirinya karena Intan pulang leb
Rizky baru saja keluar dari warung yang tak jauh dari rumah Intan saat melihat Surdi melompat dari pagar rumah wanita pujaannya dari samping. Tanpa mengulur waktu ia segera menghidupkan sepeda motor dan mengejar Surdi. Surdi yang tahu dibuntuti segera berbelok di sebuah gang dengan jalan tanah menuju kebun milik warga. Namun suara teriakan dari Rizky menghentikan langkahnya dan berbalik menatap pria yang segera turun dari motor dan menghampirinya.“Mas Rizky saya kira siapa,” ujarnya dengan tatapan yang tampak lega ta seperti tadi yang sangat panik, tapi bentakan Rizky membuatnya kembali waspada dan ketakutan.“Kamu ngapain loncat dari pagar rumah Intan? Kamu sudah lupa arah gerbang depan?!”“Eh… bukan gitu, Mas,” balasnya tergagap.“Lalu apa yang kamu lakukan di sana? Mau maling kamu ya?”“Wah, jangan asal Mas. Saya nggak semiskin itu sampai harus mencuri. Lagi pula apa yang mau dicuri. Intan itu nggak punya apa-apa yang bisa dimaling.”“Apa kamu bilang?! Jadi kamu memang menyusup ke
Suara Guntur bersautan bersaing dengan deru berisik angina yang tak mau kalah memekakkan telinga dan membuat dahan bandel pohon mangga menggebrak daun jendela kamar tidur Melia. Wanita muda itu menatap kekacauan badai diluar sana dengan sorot mata penuh amarah.“Katakan jika kamu hanya bercanda.”“Tidak, aku tidak bercanda,” balas pria bertelanjang dada setengah rebahan di ranjang, yang tak lain adalah Bagus.“Bagaimana bisa Mas Bram bersama dengan Intan. Dia menyusul ke sana? Rasanya tidak mungkin, sudah pasti Intan merayunya.”“Tidak hanya merayu, dari info yang aku dapatkan bahkan mereka satu hotel.”“Apa?!” Melia berbalik badan dan melotot marah kepada Bagus.“Bukan satu hotel tapi satu kamar hotel.”“Jangan mengada-ada. Mana mau Mas Bram dengan perempuan cacat seperti Intan.”“Kamu lihat wajahku, apa aku terlihat sedang berbohong. Bram keluar lebih dulu dari kamar dan Intan bersama dengan pesuruhnya itu keluar tidak lama kemudian.”“Kenapa kamu nggak bilang sama aku?” tanya Mel
Intan meraih cangkir berisi teh jahe hangat. Pagi ini hujan masih turun dan depan rumah sudah bising. Abraham bersama dua tukang sedang membetulkan kanopi di depan ruang Bimbel yang lepas karena kencangnya badai semalam. Sudah seminggu lamanya pria itu setiap hari datang ke rumahnya. Dari pagi sampai sore hari. Seolah ia sama dengan para pekerja di sana. Tanpa mengeluh sedikitpun jika Intan sibuk dan tidak sempat menyapa. Bukan, bukan tidak sempat sebetulnya hanya saja Intan mengurangi kedekatan fisik. Desas-desus semakin merajalela, sindiran selalu ada untuknya yang dikatakan wanita tidak punya malu. Wanita yang tak punya harga diri sudah diperlakukan semena-mena tetapi masih mau menerima. Itu tuduhan dari mereka para pembenci pria, alias mereka yang memang sudah merasakan pahitnya dikhianati sehingga menganggap Intan orang yang lemah. "Kamu nggak harus melakukan itu," Kata Intan begitu Abraham berhadapan dengannya. Pria itu menghentikan kegiatannya begitu melihat Intan datang de
Amanda membuka gorden di jendela kamar melia dengan kasar. Ia muak melihat kakaknya terpuruk dan sangat mengenaskan seperti ini. Amanda sangat tahu apa yang terjadi dengan kakaknya, aduan dari salah satu pembantu sudah sampai padanya. Begitu juga bau seks yang masih kental. Ia menengok pada keranjang sampah dan mendapati kondom yang habis terpakai. Hanya saja dengan siapa ia tidak tahu.Amanda menghela napas panjang, menatap ke arah ranjang yang berantakan sama dengan perempuan yang tidur tertelungkup dengan mulut terbuka dan lingkaran gelap berada di kedua kantung matanya.“Bangun!” ujarnya jengkel seraya menampar salah satu telapak kaki Melia yang mengintip dari balik selimut.Terdengar erangan protes dari si Empunya telapak tetapi tak kunjung bergerak.“Bangun pemalas!” bentak Amanda kali ini dengan berkacak pinggang.“Ngapain sih kamu ganggu aja!” balas Melia tanpa masih dalam posisi yang sama. “Kepalaku sakit banget.”“Jelas. Dari mana kamu dapat Vodka ini?” tunjuk Amanda ke boto