Mobil itu melaju cepat, suara mesin meraung bagai jeritan panik yang tak terucapkan. Gavin menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus pada jalanan di depan, tapi dari sudut kaca, ia terus mencuri pandang ke arah belakang. Ke arah tuannya dan perempuan yang tengah sekarat dalam pelukannya.Liora berada di dada Adrian, tubuhnya gemetar dalam dingin dan nyeri. Napasnya dangkal. Kepala terkulai lemah. Darah membasahi ujung pakaiannya… dan kini, juga membasahi celana jok yang diduduki dan lantai mobil.Adrian tak berkata sepatah kata pun.Ia hanya merangkul tubuh itu erat-erat, seolah pelukannya bisa menahan jiwa Liora agar tidak pergi. Matanya yang biasanya tajam, kini kosong namun penuh kegelisahan. Ia tidak menangis. Tapi matanya tampak basah.Tidak ada satu detik pun ia alihkan pandangan. Tidak ke jalanan. Tidak pada Gavin. Hanya pada wajah Liora. Pada tiap hembusan napas lemahnya.Napas Adrian pun terasa tercekat melihat betapa lemahnya Liora.
Di dalam ruang kantor dengan pencahayaan temaram, suara keyboard terdengar cepat dari balik meja kerja. Gavin duduk di samping Adrian, sementara seorang pria dengan headphone dan laptop terbuka memperlihatkan rekaman CCTV yang telah disiapkan.“Ini titik awal,” ujar rekan Gavin sambil menunjuk layar. “Mobil melaju dari arah jalan pertama ke rumah itu. Terekam di simpang pertama lalu—”Ia berhenti sejenak. Menekan beberapa tombol cepat.“—di persimpangan kedua, tiba-tiba hilang. Kamera di situ mati total sejak lima menit sebelum mobil itu sampai. Sabotase. Bukan rusak biasa. Potongannya rapi.”Adrian menyipitkan mata. “Dan setelah itu?”“Mobil muncul lagi di simpang ketiga. Tapi ini aneh... plat sudah terlihat jelas, tapi posisi kamera memberi gambaran jelas, mobil berbeda. Warna cat pun sedikit lebih mengkilap. Mungkin niatnya ingin mengalihkan agar mereka terus diikuti dari persimpa
Keesokan harinya, Adrian tidak ikut sarapan. Ia masih terbaring di ranjang besarnya, menatap kosong langit-langit kamar yang tak pernah terasa sepi seperti pagi ini. Kepalanya berat, pikirannya kalut. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar dari Liora membuat dadanya semakin sesak. Seolah dunia hanya menunggu kehancuran, dan ia, penyebab sekaligus korban dari semuanya.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pelan, sopan, tapi cukup membuatnya tersadar dari lamunannya.“Masuk,” gumamnya malas. Ia pikir itu ART yang biasa mengantarkan makanannya.Namun yang muncul bukanlah sosok berseragam abu-abu itu, melainkan Clara.Adrian mengerutkan kening. Ia bahkan tidak tahu kalau wanita itu masih di rumah ini, apalagi sampai bermalam. Clara melangkah masuk membawa nampan berisi bubur dan teh hangat. Dengan santai, ia meletakkannya di atas meja kecil di dekat sofa, lalu berjalan mendekati ranjang tanpa dipersilakan.Seolah-olah tidak pernah ada ancaman dari Lior
Cepat-cepat Adrian menjawab panggilan dari Gavin. Sambil melangkah ia ke lantai atas untuk mendengarkannya. Berharap ada kabar baik.“Tuan… untuk malam ini pencarian belum bisa dilanjutkan. Kami sudah menemukan ke arah mana mobil itu pergi di persimpangan pertama, selanjutnya belum ditemukan. Kalau terus dipaksa, rekanku ini akan kehilangan fokus jika tidak istirahat.”Adrian terdiam beberapa detik. Hatinya kecewa mendengar kabar itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Ka- kalau begitu lanjutkan pencariannya besok sepagi mungkin! Aku ingin Liora segera ditemukan, Gavin!” tegasnya.“Mengertu Tuan!” jawab Gavin.Panggilan berakhir.Perasaan Adrian hampa. Namun emosinya meninggi. Apalagi saat mengingat perdebatan yang baru saja terjadi di meja makan.Sementara itu di ruang yang minim cahaya, Liora masih terduduk lemah dengan kaki dan tangan di rantai. Ia memegang perutnya. Bukan hanya karena l
Kening Adrian mengerut melihat gambar di layar handphone itu. Terlihat jelas mereka menggunakan topeng.“Topeng? Sudah pasti ini pelakunya!” ucap Gavin.Tangan Adrian kembali mengepal. Semakin erat.“Ikuti mobil ini, cari ke mana dia pergi!”“Ada banyak sekali persimpangan. Ke mana mereka pergi dan sejauh apa, itu pasti membutuhkan waktu—”“Aku tidak peduli, Gavin! Cepat temukan Liora, segera! Aku tidak peduli berapa sulit, berapa pun bayaran orang-orang itu, aku akan bayar!” potong Adrian.Gavin mengangguk. “Maaf. Kalau begitu, aku harus segera menemui seseorang. Sebaiknya aku antar Tuan pulang.”Adrian tidak ada pilihan lain. Berdiam diri di sana pun tak akan membuat Liora tiba-tiba kembali. Akhirnya dia diantar pulang oleh Gavin.Sampai hari sudah malam, kabar kelanjutan ke mana mobil itu pergi, belum di temukan. Seperti prediksi Gavin. Terlalu banyak persimpangan. Tidak semua ada cctv. Semua harus di cek satu per satu. Memakan waktu.**Clara datang malam itu dengan gaun pastel el
Adrian berbalik dengan cepat, mendekati Gavin yang masih berdiri mematung dengan ponsel di tangannya.“Cari CCTV di sekitar lingkungan ini. Semua. Mulai dari pintu masuk kompleks sampai jalan utama,” perintahnya tajam. “Periksa siapa pun yang terlihat mencurigakan dalam tiga hari terakhir.”Gavin tampak ragu. “Itu... akan memakan waktu. Kita harus koordinasi dengan pemilik rumah, toko, bahkan kantor kelurahan untuk aksesnya. Belum lagi kalau harus menelusuri rekaman jam per jam—”“Aku tidak peduli berapa lama,” potong Adrian, suaranya seperti belati yang menancap. “Dan aku tidak mau alasan. Aku butuh hasil. Secepat mungkin.”Ia melangkah ke arah ruang tengah. Gavin mengikutinya."Aku tidak bisa melibatkan polisi. Tapi aku juga tidak bisa duduk diam."Adrian menoleh ke Gavin lagi. “Kerahkan siapa pun yang kau butuhkan. Aku akan biayai semuanya. Gunakan koneksimu, sewa ahli IT, hacker pun kalau perlu. Buka semua kamera, dan cari tahu siapa yang membawa Liora pergi.”Gavin menarik napas,