"Ah, Om? Siapa yang kamu panggil Om?" Mahardika mengerutkan keningnya.
"Ya, Om lah. Memangnya siapa lagi yang aku ajak bicara sekarang? Tidak ada orang di sini selain kita." Gadis itu berbicara ketus, melipat kedua tangannya di dada dan membuang pandangan ke arah berbeda.Mahardika merasa kesal dan mendidih aliran darahnya. Dia belum setua itu, untuk dipanggil om-om berkumis dan perut buncit."Hendak pergi kemana kamu? Jangan-jangan, kamu ingin kabur ya?" terka Mahardika, yang membuat gadis tersebut semakin membuang pandangannya."Ayo, ngaku kamu! Di saat yang lain ada di dalam, kenapa kamu ada di sini?" tambahnya semakin curiga.Gadis cantik yang akrab dipanggil Eka itu, menurunkan tangannya. "Om sendiri gimana? Kenapa ada di luar, bukannya di dalam?" sunggut Eka, membalikkan ucapan Mahardika.Sang pria sedikit menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Soal itu ..." Bola matanya berputar cepat. Mencari cela untuk menyusun kata-kata."Kenapa, Om? Jangan-jangan, Om Dika, mau kabur juga ya?" Kini Eka yang bertanya penuh selidik sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan Mahardika. Menuduh orang lain, demi menutupi kesalahannya sendiri."Apaan si? Saya bukan mau kabur, tapi saya harus menerima panggilan telpon tadi," sanggah Mahardika cepat."Ah, alasan. Aku bisa membaca pikiran Om, yang sebenarnya ingin kabur kan karena tidak mau menikah dengan aku? Mengaku saja, Om," cecar Eka terus menyudutkan Mahardika."Tunggu dulu! Kamu salah. Saya tidak seperti yang kamu tuduhkan itu. Ah, saya tahu. Jangan-jangan, yang sebenarnya ingin kabur tuh, kamu. Ngaku kamu!"Kini Eka yang merasa tersudut. Ya, apa yang Mahardika katakan benar. Namun, dia juga tidak bisa mengakuinya sekarang."Kalau begitu, ayo, ikut saya!" Mahardika menggenggam pergelangan tangan Eka sangat erat."Lepasin, Om!" Eka menepuk-nepuk tangan Mahardika cukup kencang, supaya pria yang hendak menikahinya itu melepaskan genggamannya."Kamu tidak bisa kabur lagi. Saya akan katakan semuanya kepada Om Teguh, kalau kamu berusaha untuk kabur."Mahardika tidak peduli, Eka terus memukuli tangannya dan berteriak minta dilepaskan. Bahkan digigit pun, Mahardika tidak merasa sakit, meskipun ada bekas gigitan di sana."Sebenarnya, tangan Om terbuat dari apa, kok enggak mempan digigit si? Om, bukan keturunan Iron Man kan, tangannya keras banget?" gerutu Eka, keheranan sekaligus pasrah lantaran tidak bisa lepas dari cengkraman Mahardika.Sedangkan, Mahardika terkekeh kecil. Tidak menyahut ucapan Eka, tapi dia merasa terhibur dengan tingkah polos gadis itu. Dia tetap menarik tangan Eka untuk masuk rumah.Ketika sampai di ruang tamu. Semua orang spontan berdiri dengan kedatangan dua anak manusia yang memiliki sifat saling bertolak belakang. Mahardika pun melepaskan tangan Eka."Ayah ... Dia memperlakukanku sangat kasar," adu Eka merengek, yang langsung menghampur dalam pelukan cinta pertama bagi seorang anak perempuan."Ada apa ini?" tanya Teguh Saputra, selaku Ayah Eka. Dia menjatuhkan tatapan penuh tanda tanya pada Mahardika."Sebelumnya maaf, Om Teguh, tapi Eka berusaha untuk kabur dari rumah ini tadi." Kini giliran Mahardika yang mengadu.Eka yang sempat ingin mengubah fakta pun, tertahan kalimatnya karena Mahardika sudah lebih dulu berkata."Benar, yang dikatakan Nak Dika?" tanya Teguh, pada sang putri tercinta. "Sungguh, kamu ingin kabur dari rumah ini?"Eka terdiam sejuta bahasa, kepalanya tertunduk malu. Tidak bisa menatap langsung mata ayahnya. Rasanya, Eka ingin mengumpat kasar dan memarahi Mahardika yang telah menggagalkan rencananya.Annata selaku wanita yang telah melahirkan Mahardika pun, menghampiri sang putra. "Sebenarnya, apa yang terjadi, Sayang? Mengapa kamu bisa datang bersama Eka?""Tadi, selesai menelepon, Dika melihat Eka yang berjalan mengendap-endap seperti maling, menuju gerbang. Dika memergoki dia dan mengetahui bahwa Eka hendak kabur," paparnya bersikap tenang.Mendengar penuturan Mahardika, membuat Teguh merasa malu. Dia sudah mengangkat tangan kanannya, hendak memukul. Namun, Mahardika segera mencegahnya."Tunggu, Om! Eka tidak sepenuhnya salah. Mungkin dia merasa tertekan dengan pernikahan ini," kata Mahardika memberi pemahaman.Eka mengangkat kepalanya. Ucapan Mahardika, menariknya untuk menatap pria dengan jas hitam itu lekat. Cukup lama karena wibawa Mahardika yang tenang dan meneduhkan, seperti kalimat yang baru saja terucap.Eka merasa kagum karena menurutnya, Mahardika seolah bisa membaca isi hatinya."Sebaiknya, kita dengarkan terlebih dahulu, apa yang Eka inginkan. Kita tidak bisa mengambil keputusan yang membuat Eka merasa tidak nyaman," sambung Mahardika menjadi penengah.Teguh, selaku Ayah dan ibu bagi Eka, kini melonggarkan pelukannya. Menyentuh kedua pipi sang putri tercinta."Sekarang, ayah ingin bertanya. Apakah kamu, keberatan dengan pernikahan ini? Jika memang kamu keberatan, maka kamu bisa mengatakannya sekarang."Teguh pun mengikuti ucapan Mahardika. Sedangkan Annata menggenggam tangan putra semata wayangnya tersebut, lalu tersenyum bangga. Mahardika pun mengerjapkan matanya satu kali.Eka tidak buru-buru menjawab. Dia masih tertunduk. Tidak ada yang tahu isi pikirannya sekarang. Gadis itu benar-benar merasa dilema sekarang.Mendapati Eka yang tak kunjung bersuara, membuat Mahardika mengambil tindakan lagi. "Seandainya kamu belum siap, maka saya bersedia membatalkan pernikahan ini." Mahardika sedikit meninggikan suaranya, supaya terdengar oleh Eka."Mahardika!" Bambang Wijaya bereaksi lebih dulu."Kakek, tenang ya. Saya belum selesai berbicara," kata Mahardika tanpa emosi. Dia menjatuhkan tatapan tenang pada Bambang Wijaya, sebelum akhirnya kembali menatap Eka di sana."Saya akan menunggu kamu siap dengan pernikahan ini. Saya tidak akan memaksa kamu untuk menikah sesuai tanggal yang telah ditetapkan. Kamu yang menjalani kehidupan ini. Jadi, kamu jugalah yang harus mengambil keputusan ...""Saya lebih baik menunggu, dari pada membuat seseorang merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan saja, tetapi pernikahan menyatukan dua karakter yang berbeda."Mahardika tersenyum kecil. Kalimatnya mengalir dari awal hingga akhir dan membuat pendengarnya merasa tenang. Terutama Bambang Wijaya. Dia lah yang sedari awal menginginkan Mahardika menikah dengan Eka."Bagaimana, Sayang?" Teguh kembali bertanya.Eka pun mengangguk malu-malu. "Iya, Ayah. Aku bersedia melanjutkan pernikahan ini sesuai tanggal yang ditetapkan." Lalu dia berkata sangat lembut, setelah diam cukup lama.Selanjutnya, Eka menatap lurus Mahardika yang tersenyum di sana.Eka tidak tahu, sihir apa yang digunakan Mahardika, sampai membuat hatinya luluh. Padahal beberapa saat lalu, ia berencana untuk kabur dari rumah, guna membatalkan pernikahan tersebut.Sebegitu besarnya kah, pesona Mahardika?Hari yang dinanti-nanti pun tiba.Ruangan yang telah didekorasi sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti negeri dongeng di dunia nyata. Di bawah derasnya guyuran hujan, tidak menyulutkan semangat dua keluarga dan para tamu undangan yang sudah memenuhi ruangan. Mahardika sudah duduk berhadap-hadapan dengan Teguh Saputra. Ayah, sekaligus orang yang bertindak sebagai wali nikah di hari paling bahagia ini. "Saya nikahkan dan kawinkan, ananda Mahardika Wijaya bin Frans Adi Wijaya dengan putri saya, Eka Maheswari Saputra binti Tegus Saputra, dengan maskawin uang tunai sebesar 10 juta, emas lima gram, serta satu unit rumah dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinya Eka Maheswari Saputra dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" ucap Mahardika dengan satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" kata para Saksi serentak. Begitu juga dengan para tamu yang berteriak berbarengan. Selanjutnya Pak Penghulu memimpin doa. Mahardika mengangkat kedua tang
"Boleh melihat, maksud, Om?" Saking terkejutnya, Eka sampai terperanjat bangun. Kini pandangnya dan Mahardika saling bertemu dalam garis lurus. Semula tersulut emosi, kini terkesan canggung karena baru sadar jarak yang tercipta hanya beberapa sentimeter saja. Mahardika tertawa kecil, "kamu itu, memang polos, Dek." Dia menekan kening Eka, hingga sedikit terdorong. "Apa yang kamu pikirkan? Kamu mau lihat punya saya sekarang?" godanya kemudian.Eka yang gelagapan buru-buru berbalik badan, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Dih, Om kegeeran. Siapa juga yang mau lihat? Udah lah, aku ngantuk. Mau tidur aja," kata Eka mengelak, lalu mengayunkan kakinya menjauh dari Mahardika.Dia bisa gila dan lepas kendali, jika terus disudutkan seperti ini.Mahardika melipat kedua tangannya di dada, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Astaga ... Dia sangat menggoda dan menggemaskan. Pantas saja, kakek sangat menyukainya," gumamnya dan menyentuh kening dengan sebelah tangan. Menertawakan ting
Beberapa jam berikutnya. Lebih tepatnya pukul 08:00 WIB.Pintu kamar pun ada yang mengetuk. Mahardika kebetulan sudah bangun pun, lantas mengayunkan kakinya menuju pintu. Penasaran, siapa yang pagi-pagi sudah datang bertamu."Iya, sebentar." Suaranya tidak terlalu besar karena takut akan membangunkan Eka, yang masih terlelap dalam mimpi.Mahardika menggenggam kenop pintu, kemudian menariknya dan pintu pun terbuka."Bunda?" katanya setengah terkejut."Kamu sudah bangun, Sayang? Bunda ganggu kamu ya?" tanya Annata ragu."Enggak kok, Bun. Ada apa Bunda datang? Masih pagi ini loh, Bun.""Mana Eka? Dia belum bangun ya?" Annata melayangkan pertanyaan lain. "Iya, Bunda. Sepertinya dia sangat kelelahan. Jadi, belum bangun deh. Memangnya kenapa, Bunda?" Kening Mahardika sedikit mengerut. Annata terkekeh geli, "heum, tidak perlu dibangunkan. Biarkan dia tidur. Pasti dia capek setelah ... Ehem."Wanita lima puluh tahun itu, tak melanjutkan kalimatnya. Dia menutupi mulutnya dengan sebelah tanga
Eka melipat kedua tangannya di dada, wajahnya sedikit ditekuk. Mahardika melirik sang istri yang seperti sedang melafalkan mantra."Ah, sekarang aku tahu!" Eka langsung berdiri, tindakannya yang mendadak membuat Mahardika terkejut."Tahu apa?" tanya Dika sedikit meninggikan suara. Saking terkejutnya, dia mengelus dada. Spontan, jantungnya seperti ingin berpindah tempat. Istrinya memang kadang-kadang ya."Iya, aku tahu, alasan Bunda tidak marah." Eka memandang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya itu."Mungkin dia berpikir untuk tidak memarahiku karena kita baru saja menikah. Aku yakin, beberapa hari kemudian, Bunda akan marah dan jengkel kalau aku tidak bangun pagi."Eka pun memulainya lagi. Mahardika geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. Kesabarannya sedang diuji sekarang. Dia tidak habis pikir kenapa istrinya masih saja membahas hal sepele dan tidak penting? Sudah begitu, menuduh yang bukan-bukan."Bagaimana ini, Om. Aku sangat malu bertemu Bunda nanti," celotehnya
"Ya, untuk kamu lah, Dek. Masa iya untuk selingkuhan saya? Kamu kira, saya akan sekejam itu ke kamu?" Mahardika memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Ada setitik senyuman di wajah tampan nan menawan itu. "Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu tidak mau satu ranjang dengan saya. Jadi, saya minta Bi Endang, untuk menyiapkan satu kamar lagi untuk kamu," sambungnya dan mengakhiri kalimatnya.Eka diam. Ada keheningan di antara keduanya. Isi kepala yang semula seperti rak buku itu, kini kosong melompong. "Kenapa diam, Dek? Apa ada yang salah dengan keputusan saya?"Pertanyaan Dika, sedikit menyadarkan Eka dari pikirannya sendiri. "Baiklah, kalau Om ingin yang seperti ini. Bi Endang, antarkan saya ke kamar."Setelah berkata demikian, Eka langsung melenggang pergi. Bi Endang mengangguk pelan, lalu mengekor di belakang. Sementara Mahardika sedang geleng-geleng kepala, ketika melihat istrinya seperti memiliki dua kepribadian ganda. Semula diam, seperti orang ketakutan. Namun, han
Sore hari sebelum Maghrib. Eka keluar dari kamarnya setelah beristirahat sejak siang. Sebenarnya tidak ada hal yang Eka lakukan saat di kamar, selain bermain ponsel. Sesekali ia keluar kamar dan bertanya pada Bi Endang soal Mahardika. Sang suami sedang sibuk di ruangannya. Eka pun tidak ingin mengganggu. Terlebih lagi, dia dan Mahardika tidak seakrab itu, meskipun sudah sah menjadi suami istri. Eka menuruni anak-anak tangga. Hidungnya kembang kempis, mencium aroma yang sangat harum dan menggugah selera makannya. Eka membayangkan saat menyantap makanan ini dengan nasi hangat, tempe goreng dan lalapan. Cacing-cacing dalam perutnya pun langsung berdemo. Minta diberi makan secepatnya. "Aromanya enak banget. Ini pasti, Bi Endang yang masak," tebak Eka sambil mempercepat langkahnya karena penasaran, siapa yang sedang memasak.Tepat di ujung anak tangga, Eka pun melihat Bi Endang yang sedang berjalan dari arah luar sambil menenteng tas belanjaan di tangan kiri dan kanan. "Bi Endang," pa
"Om, besok aku mau ke rumah ayah," kata Eka sambil mengelap bibirnya dengan tipis, setelah menyelesaikan makan malamnya. "Iya, Dek, tapi maaf saya tidak bisa anter kamu. Nanti, kamu diantar supir aja ya," balas Dika sembari meraih buah apel yang ada di sana. "Soalnya saya harus menghadiri rapat besok," sambungnya dan mengupas kulit apel itu. "Enggak mau! Om harus anter aku pokoknya. Titik, enggak pake koma!" tegas Eka dengan tatapan mengarah tajam pada sang suami."Lagian kenapa si, Om udah kerja aja? Kita kan baru selesai nikah. Ngapain harus sibuk sama pekerjaan? Masih ada waktu nanti-nanti untuk pekerjaan," terusnya mengomel.Dika mengerjapkan matanya pelan dan mengulas senyuman tipis. "Baiklah, Tuan Putri. Saya akan minta Robi untuk mewakilkan saya dalam rapat tersebut. Jadi, saya bisa mengantarkan kamu ke rumah Ayah. Apa kamu puas, Dek?""Terima kasih, suamiku yang ganteng," ucap Eka sambil mengambil buah apel yang sudah dikupas kulitnya itu dari tangan Dika. Tanpa merasa bers
Adzan subuh pun berkumandang. Eka perlahan-lahan membuka matanya, bersamaan dengan suara lembut memanggilnya."Bangun, Dek. Sudah waktunya sholat subuh."Suara lembut itu terus mendorong Eka untuk bangun dari alam mimpi. Lambat laun kesadarannya mulai terkumpul."Heum, iya, Om," gumam Eka sembari mengucek matanya."Ya udah, saya wudhu duluan ya, nanti kamu nyusul," kata sang pemilik suara lembut, yang tidak lain adalah sang suami.Eka mengangguk. Sepasang mata indah itu, masih terbuka sebagian saja. Namun, bayangan ketampanan sang suami sudah terlihat. Meskipun belum sepenuhnya.Lima menit kemudian, Eka pun keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah terlihat sangat segar, setelah membasuhnya dengan air."Om Dika." Eka menghampiri Dika yang duduk di atas sajadahnya."Iya, Dek?" "Maaf, Om. Aku enggak sholat subuh ... Soalnya itu ..." Eka menjeda kalimatnya karena ragu untuk dilanjutkan.Dika mengerjapkan matanya, lalu tersenyum lembut. "Ya sudah, kamu istirahat aja. Kemarin saya sudah min