Share

06. Selalu Curiga

Alsen mendesah kasar, ketika tak menemukan sosok istrinya lagi di sana, padahal Dia hanya meninggalkannya sebentar. Hanya pergi memeriksa kondisi Shifa, tapi wanita menghilang begitu saja.

"Kemana dia? Sial. Apakah Kiandra kabur ...."

"Mau kemana Kak, kakiku masih sakit bisakah Kakak menemani Aku?" Shifa menghampiri Alsen lalu menggandeng tangannya manja. "Ayolah Kak ... Aku tidak punya siapa-siapa di sini selain Kakak," lanjutnya mengingatkan.

Sebetulnya walaupun saudara sepupu, orang tua Shifa memang tidak tinggal di kota yang sama. Mereka memutuskan untuk tinggal di luar negeri, Shifa juga sempat menetap di sana. Hanya saja setelah dewasa menetap di Indonesia.

"Kamu bisa pulang sendiri Shifa," jawab Alsen kesal, sebab tak terima ditinggal Kiandra begitu saja.

"Tapi Kakak sepertinya kakiku masih sakit, bisakah Kakak menemani Aku lagi untuk bertemu dokter?" ujar Shifa dengan manja.

Kali ini Alsen merasa jengkel dan tak mood dengan Shifa. Menurutnya sepupunya itu tidak kenapa-napa, melihat bagaimana kondisinya saat Dia hampiri. Gadis itu terlalu berlebihan dan Alsen menyadarinya.

"Melvin!" panggil Alsen tegas dan kemudian dihampiri oleh asistennya Melvin.

"Iya, Tuan," jawab Melvin.

"Temani Shifa periksa ke dokter!" tegas Alsen membuat Shifa tak percaya dan Melvin terlihat keberatan. Sial. Dia sudah hapal tabiat sepupu bosnya yang suka dikasih hati malah minta jantung dan ginjal sekalian. Melvin tak suka Shifa, tapi apa boleh buat inilah pekerjaannya. Dia tak mungkin menolak perintah orang yang berperan besar dalam mengisi dompetnya.

"Baik Tuan!"

"Cih, Aku nggak mau! Aku maunya sama Kakak!" tolak Shifa bersikeras. "Pokoknya Kakak harus menemani Aku!"

Bukannya menurut, Alsen malah berjalan meninggalkannya. Pria itu pergi begitu saja, tanpa memperdulikan Shifa. Tak ada yang bisa mencegahnya, walau teriakan sekalipun.

"Hm, sekarang kemana Aku harus mencari Kiandra?" Alsen terpikirkan istrinya. Lalu teringat soal Kiandra yang di rumah sakit, Alsen pun menghubungi Melvin untuk memastikan sesuatu.

"Cepat cari tahu, apa yang Kiandra lakukan di rumah sakit!" perintah Alsen dengan serius, tapi setelah mengatakan itu, Dia dengan seenaknya justru memutus sambungan telepon begitu saja.

"Sial. Bagaimana bisa perempuan itu mempermainkan Aku?!" geram Alsen tak habis pikir.

Namun, Dia malah terus memikirkan Kiandra. Memikirkan kemana wanita itu pergi saat Dia usir dari rumah dan apa saja yang dilakukannya. Anehnya Dia malah sangat tertarik pada semua yang berhubungan dengan Kiandra, setelah sekarang mereka berpisah, padahal sebelumnya meski tidak abai, Alsen tergolong lebih suka mengabaikannya.

*****

Malam itu, Kiandra baru saja selesai berbicara dengan orang tuanya lewat video call. Wanita itu terlihat bahagia, meskipun hari yang dilewati olehnya tidak baik. Namun, setelah melihat keluarganya, ibu, ayah, saudarinya, Kiandra merasa sakit serta kecewanya seharian, tergantikan oleh sapaan, perhatian dan candaan dari mereka. Rasanya itu seperti obat, meski hanya melihat lewat persegi panjang yang pipih, tapi Kiandra sangat terhibur.

Menatap ke arah langit, Kiandra mengusap perutnya yang masih sangat rata. "Mama pikir Kita tidak akan kekurangan kasih sayang, Nak. Meskipun tanpa ayahmu. Mama mengerti sekarang, mungkin kehadiranmu yang tidak tepat ini adalah hal tepat untuk menyadarkan Mama. Kalau Mama dan Papamu memang tidak diciptakan untuk bersama."

Perih rasanya mengatakan itu. Memilih menerima kenyataan memanglah sangat sulit. Ketika mendapatkan orang yang dicintai sebagai suami sendiri, tapi hatinya milik orang lain. Rasanya tak sebaik yang diharapkan. Mungkin lebih baik, Kiandra tak pernah mendapatkan Alsen, ah tapi tidak mungkin inilah jalan hidupnya. Menyakitkan dengan pria itu, tapi mungkin dengan calon bayinya, Kiandra bisa bahagia.

Wanita itu mencoba tersenyum, berusaha berdamai dengan keadaannya, namun belum juga beberapa menit berlalu teleponnya kembali berdering, memperlihatkan nama Alsen sebagai pemanggil dari teleponnya. Kiandra ragu untuk menjawab, tapi Dia akhirnya melakukannya.

"Apa yang Kau lakukan, kenapa begitu lama? Jangan-jangan Kau sedang bersenang-senang dengan selingkuhanmu itu," tuding Alsen tanpa basabasi, membuat Kiandra tertegun merasa nyeri di ulu hatinya. Segitu hinanya Dia di mata suaminya, sampai tuduhan keji begitu mudah untuk dia ucapkan.

"Tidak Mas, apa yang Kamu katakan tidak benar. Aku tidak bersama siapapun sekarang," jelas Kiandra apa adanya.

"Cih, kalau begitu kirim lokasimu sekarang. Aku akan ke sana!" ujar Alsen menantang Kiandra.

Namun wanita itu langsung menggelengkan kepala meski Alsen tidak akan melihatnya. Mengalihkan telepon ke video call, Kiandra memperlihatkan seluruh isi apartemennya, membuktikan kalau dirinya benar-benar sendirian di sana.

"Kamu sudah lihat Mas, jadi tidak perlu repot-repot kemari. Aku tidak akan bersama pria lain, meskipun Kita tidak bersama lagi," jelas Kiandra.

Sebelum menikah untuk melupakan cinta diam-diamnya Alsen. Kiandra menjalin hubungan dengan Vano, hal itu berhasil meski tak sepenuhnya, sebab saat kesempatan bersama Alsen datang, Kiandra tanpa pikir panjang mencintai Alsen kembali dan bahkan sampai hati mengkhianati Vano.

Namun setelah semua ini, Kiandra tak mau mengkhianati atau menyakiti siapapun lagi. Dia tak mau ada Vano yang kedua dan mungkin lebih baik Dia akan menyendiri seumur hidupnya. Mencintai tak bisa memiliki orang yang dicintainya dan orang juga tak bisa memiliki dirinya.

"Ck, baguslah. Aku tak harus membuang waktuku percuma!" jelas Alsen dengan egonya yang besar.

"Kalau begitu, Kamu sudah memastikannya. Bisakah teleponnya Kita tutup?" tanya Kiandra masih dengan ketenangan meskipun hatinya berjuang ditengah kesakitan yang dialaminya.

"Tidak! Kau pikir Aku bodoh. Jangan pernah menutup teleponnya sampai Kau tertidur. Aku tidak mau dibohongi lagi. Bisa saja selingkuhanmu keluar sebentar dan kembali setelah Kita menutup teleponnya!" ujar Alsen bersikeras.

Kiandra menghela nafasnya kasar. "Baiklah terserahmu saja!" ungkapnya mulai jengkel pada Alsen. "Aku mau makan."

Wanita itu kemudian melakukan apa yang dia katakan, setelah meletakkan teleponnya di atas nakas tanpa mematikannya. Gila saja, makan sambil videocall.

Namun rupanya hal itu membuat Alsen kesal dan tak terima, meski anehnya Dia juga tak mematikan videocall-nya. Menjadi penonton setia yang cuma diberi tonton langit-langit ruangan.

"Lama sekali!" dengus Alsen kasar saat wajah Kiandra kembali muncul di layar teleponnya. Artinya wanita itu sudah menyelesaikan makan malamnya.

"Aku tidak memintamu menunggu, Mas. Kamu sendiri yang memaksa untuk tetap videocall sepanjang malam. Kalau mau matikan saja," jawab Kiandra mengingatkan.

Alsen tak menjawab apapun dan Kiandra mulai jengah. "Apa Kamu tidak mempunyai pekerjaan apapun sampai mempunyai waktu yang sangat luang untuk mengawasiku?"

"Cih, Aku hanya tak ingin Kau curangi!"

"Kita bisa bercerai, bukankah Kamu sudah tak sudi denganku lagi?!"

"Lalu Kau bisa bahagia dengan selingkuhanmu?!"

Kiandra membuang nafasnya kasar. "Pikiranmu terlalu jauh Mas. Asal Kamu tahu, Mas. Laki-laki yang Kamu pikir orang ketiga dalam hubungan Kita, adalah laki-laki yang kutinggalkan demi bisa menikah denganmu!!"

*****

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status