Share

07. Percintaan yang Sulit

"Bangun, Mas ... cepatlah! Kamu bisa telat kalau tidur terus." Kiandra mengulurkan tangan mengguncang sesuatu di sebelahnya dengan keadaan setengah sadar. Wanita itu menguap sambil beranjak dan melakukan peregangan.

"Mas, ayo bangun!!" ujarnya dengan suara yang lebih keras meski suaranya masih serak khas bangun tidur. Kiandra terus melakukannya, beberapa kali memanggil sosok yang ingin Dia bangunkan, sampai kemudian Dia menoleh dan membuang nafasnya kasar.

Tidak ada Alsen di atas tempat tidur dan yang sempat diguncang olehnya dalam keadaan setengah sadar hanyalah guling yang masih terletak di sana.

"Hahhh ... bagaimana Aku lupa kalau Dia sudah mengusirku. Apakah ini karena kami videocall sampai Aku ketiduran?" Kiandra memukul-mukul jidatnya lantaran kesal dengan dirinya sendiri yang masih terbiasa dengan kehadiran Alsen. Padahal umur pernikahan mereka terhitung masih seumur jagung. Mungkinkah semua ini akibat terlalu mudah beradaptasi dengan orang yang dicintai.

Kiandra mengusap wajahnya kasar, lantas berlalu memasuki kamar mandi dan menggelengkan kepala. "Hanya Aku yang mencintai, kenapa sulit memberi pengertian pada hati sendiri. Bodoh, ... Aku bahkan masih sangat berharap kami bisa kembali ...."

Kiandra memutar kran wastafel kemudian menampung airnya di telapak tangan dan menyapukannya kepermukaan wajahnya. Beberapa kali hal itu terus diulang sampai merasa dirinya bisa lebih baik dan lebih sadar.

"Cukup Kiandra, Kamu harus bisa mandiri. Ayo lupakan Alsen, anggaplah kehadirannya hanya angin panas yang tidak perlu dipusingkan!" motivasi Kiandra pada dirinya sendiri.

Merasa cuci muka tidak cukup, Kiandra menlanjutkan mandi pagi sekalian. Setelahnya Dia bersiap dan pergi ke kafe untuk bekerja. Ah, ya, Dia sudah libur hampir satu minggu, dan ini semua karena masalah pribadinya dengan sang suami.

Sampai siang hari, Kiandra hanya berdiam diri di ruang pribadinya. Duduk tanpa melakukan apapun di sana. Padahal adalah bos dan pemilik kafenya, sudah sewajarnya Dia mempunyai banyak hal yang harus diselesaikan apalagi setelah meliburkan diri beberapa hari. Namun, Kiandra masih belum mood  melakukannya. Paling buruk teleponnya tidak di isi dan baterainya juga sudah lowbet.

"Bu, seseorang mencari Anda di depan," ujar pegawai kafenya, setelah sebelumnya izin masuk dan Kiandra mempersilahkannya.

Keningnya mengerut bingung dan bertanya-tanya dalam pikirannya. Belum pernah ada yang mencarinya sampai mendatangi ke tempat kerja selama ini. "Siapa Dia, dan kenapa tidak menghubungi Aku sebelum kemari?!"

Pegawai tokonya segera melirik telepon bosnya yang terlihat mati dan terletak di atas meja. Terhubung dengan charger, tapi sayang charger-nya tidak terhubung dengan listrik atau dalam keadaan tidak dicolokkan. Kiandra mengikuti arah tatapan pegawainya lalu menghela nafasnya kasar.

"Baiklah Kamu bisa keluar dan katakan pada orang itu untuk masuk saja kemari," jelas Kiandra malas. Dia bukan kesal pada pegawainya karena terganggu dengan kehadirannya, namun Dia benar-benar dalam keadaan tidak mau diganggu siapapun untuk sekarang ini.

"Aku sudah menghubungimu beberapa kali, Aku ingin bertemu dan menyelesaikan masalah Kita Kiandra. Kenapa Kamu persis seperti orang yang melarikan diri?!" tanya sosok lelaki dengan porsi tubuh tinggi tegap, mengenakan jas yang membalut seragam formal perkantoran.

Dia CEO muda, pewaris tunggal perusahaan keluarganya yang bergerak di bidang properti khusus untuk bangunan. Sedikit kumis tipis membuatnya terlihat manis dan bahu lebarnya yang menjadi daya pikat tersendirinya untuk mendapatkan perhatian lawan jenisnya. Sayangnya Kiandra yang pernah mendapatkannya justru malah meninggalkannya.

"Kita sudah berakhir, Van. Bisakah Kita bersikap seperti orang asing?" Kiandra membuang nafasnya kasar.

Sepertinya kehadiran Vano di sana bukan karena akibat ponselnya tidak mempunyai daya baterai, tapi sesungguhnya Kiandra sudah memblokir nomor teleponnya. Hal itu memang terdengar kejam, tapi bukankah bersikap kejam itu lebih baik ketimbang memberikan harapan palsu dan penghianatan.

"Apa Aku pernah setuju Kita mengakhiri hubungan ini?!" sarka Vano tegas.

"Aku penghianat Vano, Aku sudah meninggalkanmu lalu menikah dengan orang lain bahkan sedang mengandung anaknya, Aku seperti melemparkan kotoran secara tidak langsung padamu! Apakah Kamu sadar hal itu, Aku tidak pantas untuk laki-laki sebaik dirimu dan Kamu berhak mendapatkan yang terbaik!!" jawab Kiandra tak mau kalah dan menaikkan nada suaranya.

"Aku tidak perduli!" bentak Vano keras, membuat kedua bola mata Kiandra berkaca-kaca.

Tidak, Dia tak sedih karena bentakan Vano. Kiandra sadar kalau Dia pantas dibentak atau bahkan dibenci oleh mantan kekasihnya itu terlepas dari apapun alasannya berhianat. Entah itu terpaksa, dipaksa atau tak punya pilihan, Dia pantas mendapatkannya.

"Aku sudah tahu semuanya, tante Linda memaksamu menikah dengan pria itu untuk menutupi rasa bersalahnya terhadap keluarga pria itu. Kamu tidak salah, Ki atau bahkan keluargamu. Pria itu saja yang terlalu terobsesi dan gila mau menikahi Lia kakakmu, wanita bersuami dan bahkan sedang mengandung anak suaminya. Kalau tante Linda akhirnya sadar dan berhenti mendukungnya untuk bersama Lia kakakmu, maka itu bukan kesalahan, tapi sudah seharusnya," ungkap Vano yang kini ikut berlinang air mata. Akhirnya laki-laki tahu alasan dibalik pernikahan pacarannya, itulah kenapa Dia kembali bersemangat untuk mengejarnya dan bahkan menemuinya sampai ke kafe tempat kerjanya.

"Persiapan pernikahan dan bahkan undangan yang tersebar, seharusnya Kamu tidak membayar mahal untuk semua itu Kiandra. Dari awal bajing*n itu yang salah, kenapa Kamu yang menanggungnya?!"

Kiandra segera menggelengkan kepalanya, air matanya segera menetes karena tak terbendung lagi. Andai saja Vano tahu, Kiandra tak pernah terpaksa, Dia bahkan merasa bersyukur, dan memanfaatkan keadaan yang ada. Nyantanya Dia sangat egois dan terlalu mencintai Alsen sampai melupakan dunianya sendiri.

"Vano ... terlepas apapun yang sudah terjadi. Hal itu sudah terjadi dan itulah kenyataannya. Tidak ada yang perlu disesali, dan Kamu berhak membenciku atau bahkan menghinaku, tapi Kita tidak bisa bersama lagi!" jelas Kiandra serius.

'Aku sudah sadar Vano, hatiku cuma untuk Alsen dari dulu dan bahkan saat Aku belajar mencintaimu atau bahkan saat Dia membuangku. Hatiku terlalu keras untuk diberi pengertian Vano, jika tidak bisa memiliki orang Aku cintai, maka bukan berarti Aku berhak mendapatkan orang lain untuk menjadikannya pelampiasan. Cukup apa yang sudah Aku lakukan, Aku tak mau menyakitimu lagi Van,' batin Kiandra melanjutkan. Dia tak sanggup jika mengutarakannya langsung.

"Kiandra, Aku tidak perduli soal kehamilanmu. Jika itu yang Kamu takutkan Aku bisa menerima anak pria itu sebagai anakku sendiri. Kembalilah, Kiandra ... Aku sangat mencintaimu!" ujar Vano penuh pengharapan.

Di saat tangannya mencoba meraih tangan Kiandra, wanita itu segera menepisnya, lalu mundur dan menjaga jarak. Setiap manusia itu berharga dan berhak atas kebahagiaannya. Mungkin selama menjalin kasih dengan Vano, Kiandra sudah khilaf menjadikannya pelarian, tapi sekarang Dia takkan melakukannya. Dia sadar, Vano bukan barang atau mainan, di mana saat butuh Dia mendatanginya, lalu saat bosan Dia membuangnya. Laki-laki di hadapannya berharga, meskipun dia bukan siapa-siapa di hati Kiandra.

"Vano tolong jangan seperti ini terus. Aku tak pantas untukmu. Pergilah dan cari perempuan yang jauh lebih baik dari Aku!" jelas Kiandra membuang muka. Dia bukan kesal, tapi tak sanggup menatap laki-laki yang sesungguhnya benar-benar dikhianatinya dengan egois.

"Baik!" ujar Vano akhirnya menyerah. Lama-lama Dia tak sanggup juga menatap Kiandra yang terlihat menangis. "Mungkin Kamu butuh waktu, tapi ingatlah Kiandra. Aku akan kembali, karena Aku sangat mencintaimu!"

*****

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status