LOGIN“Lihatlah, Daddy! Princess kecil kita yang cantik ini sudah bisa buka mata…” Suara lirih Alya nyaris tak terdengar di tengah dengung lembut mesin infus. Sean yang baru saja kembali dari ruang administrasi langsung menghampiri, matanya menatap ke arah ranjang tempat Ruelle berbaring. Tubuh mungil putrinya masih lemah, wajahnya pucat, tapi kelopak matanya perlahan bergerak.“Ruelle?” bisik Sean, menunduk, jemarinya menggenggam tangan kecil itu. “Sayang, ini Daddy…” Ada sedikit gerakan. Napas Alya tercekat. Air mata yang ditahannya sejak malam sebelumnya akhirnya jatuh juga. Ia menunduk, mencium punggung tangan Ruelle, suaranya parau. “Mama di sini, Sayang. Maafin Mama, ya…”Sean menarik napas panjang, lalu menepuk punggung Alya lembut. “Jangan salahkan
“Ruelle, sayang… Mama di sini, ya. Dengar suara Mama, kan?” Suara Alya bergetar, hampir tenggelam oleh bunyi mesin infus yang berdetak pelan di sisi ranjang. Udara ruang ICU anak itu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun bagi Alya, yang kini menggenggam tangan kecil putrinya erat-erat, dunia serasa berhenti berputar. Malam sudah berganti pagi. Cahaya matahari menembus tirai tipis di balik kaca besar, membentuk semburat lembut di wajah pucat Ruelle. Anak itu masih lemah, tapi tidak lagi demam. Oksigen sudah dilepas, dan matanya sempat terbuka sesaat sebelum kembali terlelap. Alya belum tidur sedikit pun. Rambutnya acak-acakan, mata sembab, tapi ia tidak peduli. Setiap napas kecil Ruelle adalah doa baginya.&n
Suara alarm monitor masih terngiang di kepala Alya bahkan setelah ruangan mendadak sunyi. Ia tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak perawat dan dokter berlarian masuk. Tangannya gemetar hebat, sementara Sean berdiri di sampingnya dengan wajah tegang, rahangnya terkunci, matanya menatap kosong ke arah pintu.Ketika akhirnya suara langkah kaki keluar dari dalam ruangan, Alya hampir tak bisa berdiri. “Bagaimana anak saya, Dok?” suaranya parau, hampir tak terdengar.Dokter menatap mereka dengan ekspresi lelah. “Kami sudah berhasil menstabilkan kondisinya. Tapi untuk saat ini, kami pindahkan ke ruang ICU anak agar bisa dipantau lebih intensif.” Kedua bahu Alya langsung ambruk dalam pelukan Sean. Napasnya terputus-putus di antara tangis lega yang sekaligus masih menyimpan ketakutan besar.&nb
Seharusnya jadwal kepulangan Alya dari Lombok adalah lusa. Namun, rasa rindunya pada rumah sudah tak terbendung lagi. Jadilah dia memohon pada panitia untuk merampungkan kegiatan lebih cepat. Entah kenapa perasaannya kali ini tidak baik-baik saja. Mungkin karena memang pertama kali meninggalkan keluarga barangkali. Alya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir begitu melihat Bu Rina menyambut kedatangannya di balik pagar rumah. Perempuan itu memberikan kode agar asisten rumah tangganya tersebut tidak terlalu terkejut.“Mereka di mana, Bu?” tanya Alya setengah berbisik.Sambil tersenyum Bu Rina menjawab, “Masih seliweran di ruang tamu, Nyonya.”Alya mengangguk lalu menyerahkan kopernya pada petugas keamanan yang sedang berjaga lalu berkata, “Nanti oleh-oleh kalian di plastik biru ya. Kopernya
“Aku berangkat dulu, ya, Sayang.” Suara Alya terdengar dari depan pintu ruang kerja Sean. Ia berdiri sambil memegang map tebal berisi proposal kegiatan universitas yang akan ia presentasikan. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tampak segar meski semalaman ia begadang menyusun materi.Sean yang duduk di depan laptop, menoleh pelan. “Meeting lagi?”“Ya, kali ini sama pihak universitas dan sponsor lokal. Kalau lancar, minggu depan aku ke Lombok buat survei lokasi.”Sean menghela napas kecil. “Padahal kau baru dua minggu sibuk terus. Aku bahkan lupa terakhir kali kita sarapan bersama.”Alya tersenyum lembut, lalu mendekat dan mencium pipi suaminya. “Nanti malam aku akan masak yang kau suka, janji.”“Kalau aku tidak ketiduran sebelum makan malam,” gumam Sean, setengah menggoda, setengah sungguh-sungguh.&n
“Kami mau ikut!” rengek Ruelle. “Kata Mama malam tadi boleh ikut!”Alya menunduk, mencoba menenangkan dengan senyum lembut. “Sayang, Mama belum bisa bawa kalian kali ini. Lagian mama Cuma ke kampus. Tidak pergi jauh.”“Tapi Mama bilang janji!” seru Renzo dengan mata berkaca-kaca.Sean menghampiri, berjongkok di depan mereka. “Renzo, Ruelle, dengar Daddy ya. Mama pergi cuma sebentar. Kalian tunggu di rumah sama oma dan Nenek Rina, nanti Mama pulang bawa oleh-oleh.”“Tapi aku tidak mau Mama pergi…” suara Ruelle makin pelan, nyaris seperti bisikan. Alya berlutut, memeluk keduanya erat. Aroma tubuh mereka menyesak di dadanya, membuat matanya berair. “Mama harus pergi menolong teman-teman kecil yang sedang sedih, Sayang. Kalian anak baik, kan?”Renzo mengangguk pelan, tapi air matanya jatuh







