"Bu, tapi..."
Brian mencoba membuka ruang negosiasi. Nada suaranya hati-hati, penuh pertimbangan.Namun Dina langsung memotongnya tajam, matanya menusuk ke arah Brian.
"Sekali lagi, tidak ada tapi-tapi. Saya hanya beri waktu satu hari. YA atau TIDAK?"
Hadi cepat-cepat menyela sebelum suasana makin tegang.
"Apa kami boleh berdiskusi sebentar, Bu?""Silakan." Dina bersandar di kursinya, menyilangkan tangan. "Tapi ingat, saya tidak menerima penambahan waktu. Hanya satu hari. Tidak ada tawar-menawar. Dan satu hal lagi..."
Tatapannya menusuk tajam. "Saya gak mau kalau yang ngerjain Citra lagi."Hadi dan Brian keluar ruangan dengan langkah cepat. Begitu pintu tertutup, mereka langsung berdiskusi di lorong depan ruang rapat.
"Ini bener-bener gak bisa satu hari?" tanya Hadi dengan suara rendah tapi penuh tekanan.
"Gak bisa, Pak. Gak cukup orang. Siapa yang mau kerjain? Citra l
"Bu, tapi..." Brian mencoba membuka ruang negosiasi. Nada suaranya hati-hati, penuh pertimbangan.Namun Dina langsung memotongnya tajam, matanya menusuk ke arah Brian."Sekali lagi, tidak ada tapi-tapi. Saya hanya beri waktu satu hari. YA atau TIDAK?"Hadi cepat-cepat menyela sebelum suasana makin tegang. "Apa kami boleh berdiskusi sebentar, Bu?""Silakan." Dina bersandar di kursinya, menyilangkan tangan. "Tapi ingat, saya tidak menerima penambahan waktu. Hanya satu hari. Tidak ada tawar-menawar. Dan satu hal lagi..." Tatapannya menusuk tajam. "Saya gak mau kalau yang ngerjain Citra lagi."Hadi dan Brian keluar ruangan dengan langkah cepat. Begitu pintu tertutup, mereka langsung berdiskusi di lorong depan ruang rapat."Ini bener-bener gak bisa satu hari?" tanya Hadi dengan suara rendah tapi penuh tekanan."Gak bisa, Pak. Gak cukup orang. Siapa yang mau kerjain? Citra l
"Maaf saya keluar agak lama, Bu," ujar Hadi sambil duduk kembali. "Citra belum sampai kantor. Ini saya perkenalkan Brian, atasannya Citra."Brian agak terkejut, tapi tetap menjulurkan tangan dengan sopan."Perkenalkan, saya Brian, Bu..." ucapnya sambil menjabat tangan Dina.Di balik senyum tipisnya, ia langsung menoleh pada Hadi dan membisikkan, "Kenapa tiba-tiba aku jadi atasan Citra?""Karena Aldo, Gino, Aska belum pada datang semua," bisik Hadi cepat. "Sementara kamu dulu. Nanti kita omongin lagi, tenang aja."Brian mengangguk perlahan, lalu mengalihkan fokus ke Dina."Baik, Bu. Sekarang boleh saya tahu kronologi sistem error-nya?"Dina bersandar di kursi, lalu mulai bercerita. Nada suaranya sudah lebih terkendali, tapi sorot matanya tetap tajam.Proyek dengan PT Sukses Maju sebenarnya sudah rampung beberapa hari lalu. Di hari pertama, semuanya berjalan normal. Tapi pada hari kedua, mulai muncul error yang mengganggu al
"Lit, kamu salah paham pasti sama Diana. Dia pasti cuma excited aja..."Nada suara Brian terdengar sedikit lelah, mencoba menjelaskan.Namun Lalita sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Wajahnya memerah, matanya berkilat—kecewa."Terserah! Aku cuma pengen kamu gak mesra-mesraan depan umum aja, Brian!" serunya dengan suara bergetar. "Di belakang, terserah kalian mau ngapain. Setidaknya... kalau kamu masih anggep aku temen, titip nama baikku aja sih."Suaranya melunak di akhir kalimat, namun tetap meninggalkan luka.Tanpa menunggu respons, Lalita membalikkan badan dan masuk ke kamarnya.Pintu ditutup agak keras, lalu sunyi. Hanya suara isak tangis yang samar terdengar dari balik dinding.***Beberapa hari kemudian, di lobby kantor Fort—"Ini sistemnya error kenapa?! Operasional perusahaan saya gak jalan! Mana bos kalian?! Cepat panggil!"Teriakan seorang wanita mengejutkan seisi ruangan. B
Lalita berdiri membeku di tengah kerumunan.Lampu menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya hangat yang memperindah gaun para tamu undangan malam ini.Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, menyatu dengan tawa dan obrolan santai dari sudut-sudut ruangan.Fauza menepuk pelan bahu Lalita, yang tengah berdiri di dekat buffet. Matanya menatap ke arah Brian dan Diana yang tertawa kecil di dekat panggung."Sejak kapan mereka akrab lagi?" tanya Fauza dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu.Lalita menelan salivanya, matanya tak lepas dari mereka berdua. “Brian gak bilang apa-apa sih ke gue,” jawabnya, mencoba terdengar tenang.Fauza mengangkat alis. “Jangan-jangan, mereka udah jadian,” tebaknya.Jantung Lalita mencelos. Tapi ia tetap menjaga ekspresinya. Wajahnya tetap datar, hanya sedikit kedipan yang tak bisa ia tahan.Dua jam pun berlalu. Acara reuni berlangsung meriah. Beberapa ora
Sore menjelang, langit menggantungkan semburat jingga yang menenangkan. Mobil dan motor para karyawan Fort satu per satu meninggalkan area panti.Anak-anak melambai dari pagar, beberapa bahkan menangis karena enggan berpisah. Udara sore terasa lembut, menyisakan kehangatan dari kegiatan yang baru saja usai.Lalita duduk di bangku taman kecil di samping lapangan, membiarkan angin menerbangkan beberapa helai rambutnya. Ia sedang membersihkan bekas cat air di tangannya dengan tisu basah.Tak jauh dari sana, Brian baru saja selesai membantu pengurus panti untuk bersih-bersih.Brian melihat Lalita dari kejauhan dan langsung menghampirinya.“Udah capek banget? Mau langsung pulang?” tanya Brian sambil duduk di sampingnya.Lalita hanya mengangguk, tersenyum kecil.“Capek, tapi hati adem.”Brian ikut tersenyum. Mereka diam beberapa saat, menikmati semilir angin dan suara jangkrik dari semak di belakang mereka.
Meski sedikit ragu, Brian tetap menatap Diana dengan sorot mata yang mantap. Suaranya pun tegas, tanpa goyah sedikit pun."Aku sama Lita gak menikah karena cinta, Di. Kita nikah cuma berdasarkan kepentingan doang…”Diana terdiam sejenak, menatap Brian penuh ketidakpercayaan."Kalian... gila." Dia menggelengkan kepala perlahan, seolah berusaha membuang informasi absurd yang baru saja ia dengar. "Kamu bercanda kan, Yan?""Aku gak bercanda, Di," jawab Brian lembut tapi serius. "Kalau kamu gak percaya, kamu bisa tanya langsung ke Lita."Ekspresi Diana berubah. Dia masih terkejut dan terdiam cukup lama.Setelah itu, sorot matanya tak lagi tajam, melainkan bingung dan perlahan melunak."Oke... okee... Terus gimana? Mantannya Lita yang racunin dia itu... ditangkep gak? Itu kan tindakan kriminal banget!" Suaranya meninggi, memancarkan kemarahan dan kepedulian yang tulus."Belum," jawab Brian dengan helaan nafas berat. "Tap