Share

BAB 3 : Merasa Seperti Wanita Panggilan

Arsenio, “Baiklah, aku tidak akan pernah menciummu.”

Mereka tidak berniat untuk membangun rumah tangga yang dipenuhi oleh cinta, sehingga tidak ada gunanya untuk memperdebatkan hal sepele seperti ciuman.

Hanna mencengkram seprai begitu Arsenio kembali memulai permainan mereka. Ada rasa sakit yang menyerang tubuh bagian bawahnya, tetapi Hanna sama sekali tidak protes karena berpikir rasa sakit itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan yang bisa ia dapatkan setelah ini.

Sayangnya, pikiranya tidak dapat mengontrol tubuhnya. Tanpa sadar, air mata menuruni pipi Hanna karena tidak kuasa menahan rasa sakit tersebut. Kedua tangannya kemudian mencengkram lengan kekar Arsenio, lalu menancapkan kuku-kukunya sampai meninggalkan bekas cakaran di lengan Arsenio.

“Apa kau ingin membunuhku?!” pekik Hanna pada akhirnya.

Arsenio mendengus pelan, “Pertama kali memang terasa sakit, tapi cobalah tahan sebentar.”

Hanna meringis, dia awalnya tidak mempercayai kata-kata Arsenio karena menganggap semua ucapan pria hanyalah dusta belaka. Akan tetapi, setelah beberapa saat tubuhnya menyesuaikan diri dengan benda asing itu, Hanna mulai merasakan sensasi aneh yang belum pernah dia rasakan.

Rasanya sakit.

Perlahan, suara erangan keluar dari bibir Hanna, menjadi alunan musik yang menyertai hubungan mereka malam itu.

Di sepanjang malam, tubuh mereka saling terjalin dikuasai oleh hawa nafsu yang membara. Hanna bahkan tidak lagi menghitung sudah berapa lama mereka di atas ranjang.

Pada malam itu juga, Hanna dilanda oleh dilema yang berkepanjangan. Dia tidak mencintai Arsenio, tapi tubuhnya dengan senang hati selalu menyambut tubuh Arsenio.

• • •

Tatkala Hanna membuka kedua matanya di pagi hari, dia merasa tubuhnya tidak nyaman akibat rasa lengket. Selain itu, rasa sakit yang tajam juga Hanna rasakan ketika dia berusaha untuk duduk.

Pinggulnya bahkan terasa sakit karena terus dipaksa bergerak oleh Arsenio sepanjang malam.

Di dalam hati, diam-diam Hanna mengatai Arsenio sebagai kuda jantan karena mempunyai stamina sebesar itu.

Kemudian Hanna menoleh ke samping dan mendapati kekosongan di bagian samping kasurnya. Permukaan kasurnya terasa dingin dan tampak rapih, pertanda bila Arsenio sudah lama meninggalkan kamar hotel.

Secarik kertas tergeletak di atas meja bersama dengan sebuah cincin pernikahan milik Arsenio.

‘Aku pergi bekerja, supirku akan menjemputmu nanti siang.’

—   Arsen.

Di samping kertas juga terdapat sebuah kartu kredit berwarna hitam dengan catatan dari Arsenio.

‘Pakailah sesukamu.’

Hanna meringis pelan, tiba-tiba merasa seperti seorang wanita bayaran yang menjadi simpanan dari pria kaya.

Tapi apa perdulinya, selama Hanna bisa menghabiskan uang sesuka hatinya, maka dia tidak akan protes.

Sesungguhnya, Hanna juga bukan orang susah. Dia adalah seorang penyanyi papan atas yang karirnya sudah melejit sejak usianya baru menginjak 18 tahun sampai 24 tahun. Jika dihitung secara kasar, tabungan uangnya pasti bisa mencapai triliunan.

Namun, sayangnya bukan Hanna yang memegang semua uang itu, melainkan ayah tirinya, Aditya Pramana.

Selama bertahun-tahun, Hanna belum pernah menghabiskan uang secara bebas. Karena semua keuangannya dikontrol habis-habisan oleh Aditya.

Jika Hanna protes, maka dia akan dihukum oleh Aditya sampai wanita itu memohon ampun.

Kring! Kring!

Secara mengejutkan ponsel Hanna tiba-tiba berdering dan menampakkan tulisan ‘ayah’ di layar ponselnya.

“Ada apa, ayah?” tanya Hanna dengan suara lembut.

“Aku hanya mau menanyakan kabar putriku, Thumbelina,” balas Arsenio.

Saat mendengar nama ‘Thumbelina’, tiba-tiba saja Hanna langsung merasa ada gejolak mual di dalam perutnya, sehingga membuat dia tidak nyaman.

“Thumbelina baik-baik saja, Ayah.” Intonasi suara yang dipakai oleh Hanna terdengar manis dan sedikit tinggi, memberikan kesan seolah-olah itu adalah suara anak kecil.

“Apa suamimu memperlakukanmu dengan baik?”

Atau dengan kata lain, Aditya ingin tahu apakah Arsenio cukup baik untuk memberikan hartanya kepada Hanna.

“Dia baik.” Hanna memegangi pelipisnya yang terasa sakit. “Dia tidak kasar kepadaku dan juga berjanji akan membantu karirku supaya lebih melejit.”

Ada jeda selama sekian detik sebelum Aditya membalas, “Apa sekarang kamu lebih senang tinggal bersama suamimu itu daripada bersama Ayah?”

Seketika Hanna membeku, tangan yang sedang memegang ponsel tanpa henti bergetar, dan rasa mual di perutnya semakin menjadi-jadi.

“Ti … tidak! Aku lebih senang tinggal bersama Ayah!” Hanna berusaha keras menekan suaranya supaya tidak terdengar bergetar. “Aku bahkan tidak bisa berhenti memikirkan Ayah sepanjang malam.”

Omong kosong.

Hanna bahkan ingin muntah saat melihat wajah Aditya.

Tapi kalau dia mengungkapkan rasa jijik di hatinya, Aditya mungkin akan langsung mendatanginya dan memukuli Hanna sampai wanita itu mengatakan cinta kepada Aditya.

Aditya tertawa pelan, tapi suara tawa itu malah membuat Hanna merinding. “Apa kamu mencintai Ayah sebesar itu sampai tidak mau pergi meninggalkan Ayah?”

“Mhm, Hanna sangat sedih karena harus meninggalkan Ayah,” kata Hanna dengan suara tangisan palsu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status