**
Betapa anehnya kalimat William barusan, seakan pria itu ingin menegaskan bahwa Binar bukanlah istri sungguhan.
Kendati demikian, perempuan itu hanya mengangguk tanpa kata-kata. Ia meraih bathrobe untuk menutupi tubuh sebelum melangkah ke kamar mandi dan meninggalkan sang suami.
Tak menyadari jika William tengah menatap noda merah kecoklatan di atas seprai.
Pria itu menarik napas panjang. “Aku tidak pernah mengira akan melakukan ini. Aku harap Rachel akan mengerti. Aku melakukannya untuk kebaikan bersama dan sama sekali tidak berniat untuk mengkhianatinya.”
Satu jam kemudian, Binar dan William sudah duduk di atas kursi meja makan di lantai bawah, bersama seorang perempuan cantik mempesona, Rachel Aluna.
Istri pertama William yang berusia 29 tahun itu berprofesi sebagai foto model terkenal.
Seketika, Binar merasa begitu insecure dengan keberadaan Rachel yang berkilauan.
Rasanya, ia sungguh tak layak menyandang status istri William, walau hanya yang kedua.
“Binar, ini adalah Rachel, istriku. Tolong bersikap baik kepadanya,” tutur William memecah keheningan.
Binar seketika berusaha tersenyum. “Senang bertemu dengan Anda, Mbak.”
Rachel sendiri tampak membalas senyum Binar dengan setengah hati. Perempuan cantik itu melemparkan pandangan penuh penilaian sebelum membalas, “Aku harap kamu bisa melaksanakan tugasmu dengan baik. Kamu harus tahu, Willy menikahimu karena terpaksa. Jadi jangan pernah berharap apapun, Willy hanya mencintai aku.”
Sepotong roti yang baru Binar kunyah seperti berhenti di kerongkongan setelah mendengar penuturan dingin Rachel. Perempuan itu segera meraih air dalam gelas di hadapannya dan meneguknya banyak-banyak.
Kendati rasa hatinya mendadak sesak, Binar kembali menampakkan gestur baik-baik saja. “Saya tahu, Mbak. Saya akan berusaha menyelesaikan tugas saya secepatnya agar bisa lekas bercerai dengan Tuan William.”
“Bagus,” sahut Rachel dengan senyum jumawa. “Seharusnya memang begitu. Jangan sampai kamu keenakan dengan keadaan ini, sehingga lupa dengan posisimu.”
Kerutan halus seketika menghiasi dahi Binar.
Ini adalah pertemuan pertama dirinya dengan istri pertama William, namun perempuan itu sudah meninggalkan kesan yang begitu buruk. Ingin rasanya Binar berteriak kepada Rachel, berkata bahwa sesungguhnya ia juga terpaksa menikah dengan William dan sama sekali tidak senang dengan keadaan ini.
Namun Binar tahu, sebaiknya tidak membuat keributan pagi-pagi. Maka, perempuan itu hanya bisa diam hingga acara sarapan berakhir beberapa saat kemudian.
“Ada beberapa hal yang harus aku bereskan di kantor, jadi aku akan pergi sekarang,” kata William kemudian. “Aku akan kembali malam nanti. Kamu nggak perlu melakukan apapun, ada asisten yang akan menyiapkan semua kebutuhanmu.”
Binar hanya menjawab dengan anggukan pelan. Ia berharap dua orang di hadapannya ini secepatnya berlalu dari hadapannya, terlebih Rachel Aluna, yang sedari tadi melayangkan tatapan penuh intimidasi.
“Apakah kamu nggak apa-apa di rumah sendirian, Binar? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya William padanya.
“Sayang, dia bukan anak kecil. Dia sudah cukup tua untuk mengurus dirinya sendiri. Kamu nggak perlu sekhawatir itu. Lagian semuanya sudah tersedia di sini, kan?” Rachel Aluna menyela dengan nada datar. Mimik wajah perempuan itu biasa saja, namun Binar tahu, Rachel sedang menyembunyikan rasa tidak suka.
William mengangguk. “Kalau begitu kami pergi dulu.”
Ia mengulurkan tangan, yang disambut dengan mesra oleh istri pertamanya. Keduanya berjalan keluar menuju pintu depan mansion.
Meninggalkan Binar yang masih terpaku di depan meja makan. Memandang betapa serasi kedua orang itu. Tampan dan cantik, serta sama-sama memiliki value tinggi. Binar jadi merasa bersalah, sudah menyisipkan diri di antara keduanya.
“Aku harap semuanya cepat berlalu, jadi aku nggak perlu berurusan lagi dengan William Aarav dan istrinya,” gumamnya pelan seraya mengayun langkah kembali ke kamarnya di lantai atas. “Rasanya Rachel Aluna nggak terlalu senang dengan ide ini, tapi aku sangat mengerti. Istri mana memangnya yang senang suaminya menikah lagi, walau dalam keadaan terpaksa?”
Binar justru bersyukur saat ini William pergi, sehingga ia bisa sendirian saja. Ia rasa lebih baik seperti itu.
Seperti yang William katakan, pria itu kembali datang pada malam harinya. Dan seperti yang terjadi pada malam pertama kemarin, ia tetap menyentuh Binar dengan lembut dan hati-hati.
“Apakah masih sakit?” tanyanya ketika melihat wajah sang istri kedua yang bersimbah keringat selepas kegiatan malam mereka. Tentu saja berkeringat, William sudah melakukan itu setidaknya tiga kali.
Binar mengangguk lirih. “Sedikit. Tapi nggak apa-apa, Tuan. Saya baik-baik saja.”
“Biasakan dirimu sampai setidaknya satu bulan ke depan. Saat kamu sudah positif hamil, kita nggak akan melakukannya lagi.”
Entah bagaimana Binar agak terkejut mendengar itu walaupun ia seperti biasa, tetap menampakkan wajah tenang.
“Besok kita ke dokter untuk memeriksakan keadaanmu.”
“Baiklah, Tuan.”
“Aku nggak bisa menginap di sini malam ini. Aku akan pulang ke rumah, karena Rachel sendirian. Apa kamu nggak apa-apa?”
Lagi-lagi Binar mengangguk. Ia tidak punya hak untuk mencegah apapun yang dilakukan William, sebab ingat seperti apa posisinya. Ia hanyalah alat yang dibutuhkan William untuk memiliki keturunan, bukan benar-benar istri yang ia nikahi karena rasa cinta.
Maka pada sisa malam itu, Binar menghabiskan waktunya sendirian di dalam kamar mansion megah yang sama sekali tidak menyenangkan.
William memenuhi perkataannya pada keesokan hari.
Ia membawa Binar ke dokter obgyn kepercayaannya. Dokter yang juga membantu William dan Rachel melakukan program hamil selama lima tahun ini, namun sampai sejauh ini masih belum membuahkan hasil.
“Keadaan Nyonya Binar sangat baik, Tuan William,” tutur dokter laki-laki itu setelah beberapa saat melakukan berbagai pemeriksaan.
“Hasil dari pemeriksaan HSG, semua organ reproduksi dalam keadaan bagus. Riwayat kesehatannya baik, serta kadar hormon juga seimbang. Saya pikir nggak akan ada masalah kali ini. Saya nggak merekomendasikan program apapun, kita tunggu saja hasilnya sampai satu bulan ke depan.”
Sang dokter melayangkan senyum kepada pasangan pengantin baru di hadapannya, sementara William menghela napas lega. Teringat pemeriksaan sebelumnya, yang mana dokter menyatakan Rachel mengalami premature ovarian failure atau rahim yang tidak bisa berfungsi secara normal, sehingga program hamilnya kerap gagal, kali ini William seperti mendapat harapan baru. Dengan Binar, ia bisa secepatnya memiliki keturunan.
“Jangan lupa, kamu harus menjaga kesehatan dan minum vitaminnya setiap hari.” William mengingatkan saat keduanya dalam perjalanan kembali ke mansion. “Ini harus berhasil, Binar. Aku nggak bisa gagal lagi seperti kemarin-kemarin.”
Binar baru saja akan bertanya mengapa kemarin-kemarin William gagal, namun saat itu mobil sudah berbelok ke halaman mansion, dan sudah ada mobil lain yang berhenti di sana.
“Oh, Rachel menyusul ke sini?”
Mendengar nama itu, Binar mendadak ciut. Ia memandang ke arah dalam, di mana istri pertama suaminya tampak berjalan keluar dari sana.
***
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit