Share

3. Pingsan

**

“Kalian dari mana?” Perempuan itu bertanya singkat. Ekor matanya sempat melirik kantong obat dengan gambar logo rumah sakit yang berada di tangan Binar.

“Ketemu dokter Ardi. Periksa kandungannya Binar,” jawab William lugas. Binar entah mengapa berharap sang suami memberikan jawaban yang lain saja, sebab raut wajah Rachel seketika berubah setelah mendengar hal itu.

“Kenapa harus diperiksa segala? Kalian bahkan baru saja menikah beberapa hari yang lalu, kan? Memangnya dia sudah akan hamil?”

“Hanya memastikan semuanya baik-baik saja, Rachel. Nggak ada salahnya mempersiapkan semuanya lebih awal, kan? Ada apa kamu menyusul ke sini?”

“Mansion ini kan punya kamu. Berarti milikku juga. Aku bebas datang kapan saja, kan?”

William mengangkat bahu. “Terserah kamu sajalah.”

Binar merasa keberadaannya tidak terlalu penting di antara suami istri yang sedang berdebat kecil itu. Maka ia memilih menjauh, kembali ke kamarnya di lantai atas dan beristirahat di sana saja. Lagi-lagi ia merasa bahwa Rachel tidak terlalu senang dengan pernikahannya dengan William, sekalipun perempuan itu sudah tahu bahwa ini hanyalah pernikahan kontrak.

Nah, Binar baru saja akan merebahkan tubuh di atas ranjangnya saat pintu kamarnya terbuka dengan tiba-tiba. Perempuan itu pikir, William yang datang. Tapi ternyata itu adalah Rachel Aluna.

“Mbak?” Binar kembali berdiri dengan terkejut. “Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?”

Rachel menggeleng singkat. “Aku hanya ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaanmu. Apa kamu maksa William untuk mengantarmu ke dokter hari ini?”

“Sama sekali tidak. Justru Tuan William yang mengajak saya periksa. Dokter bilang semuanya baik.”

Rachel mengalihkan pandang dari yang lebih muda. Ia mengangguk dengan terpaksa. “Yah, baguslah. Setidaknya kalau nggak ada masalah, ini semua bisa segera selesai.”

“Saya juga berharap begitu,” tukas Binar segera. “Semoga hasilnya seperti yang diharapkan semua orang.”

“Hasil yang diharapkan semua orang nggak sama dengan yang aku harapkan.”

Buru-buru Binar memandang Rachel setelah mendengar pernyataan barusan. Bukankah itu terdengar agak aneh? “Maaf, bagaimana maksudnya, Mbak?”

“Ah, Rachel, kamu di sini?”

Belum sempat Rachel menjawab pertanyaan Binar, William sudah datang dan menginterupsi percakapan dua perempuan itu.

“Aku hanya ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan dia.” Perempuan cantik itu menunjuk Binar. “Nggak salah kan kalau aku tanya-tanya sedikit sama orangnya langsung?”

“Tentu saja, justru itu bagus kalau kalian bisa berteman.” William tersenyum, sepenuhnya tidak menyadari raut wajah dua istrinya yang jauh dari kata ‘berteman’.

“Nggak begitu juga. Oh, ngomong-ngomong, aku ada pemotretan setelah ini. Bisa kamu mengantar aku ke depan, Sayang?” Rachel bertanya kepada William, yang segera disambut oleh pria itu.

“Binar, kamu bisa istirahat sekarang. Kami pergi dulu,” ujar sang suami sebelum beranjak pergi.

Meninggalkan Binar yang tenggelam dalam banyak pertanyaan.

“Mungkin aku saja yang belum terlalu mengenal Mbak Rachel. Aku yakin dia orangnya baik.” Binar berkata demikian, namun tetap tidak bisa yakin.

Jika istri pertama suaminya dari awal sudah bersikap seperti itu, akankah semuanya baik-baik saja?

Untungnya, Binar mulai bisa menyesuaikan diri, hingga waktu berlalu dengan cepat tanpa disadari meski terkadang dirinya harus menahan diri karena Rachel kerap datang tiba-tiba untuk melakukan inspeksi ke mansion tempat Binar tinggal.

Seperti hari ini, Binar sedang menyiram bunga-bunga yang tumbuh di halaman samping mansion milik William ini.

Tidak ada yang menyuruhnya melakukan hal itu. Binar berinisiatif sendiri, sebab sangat bosan jika sepanjang hari ia melewatkannya di kamar saja, menunggu sang suami datang pada malam hari.

Ponsel perempuan itu berdering saat ia sedang asyik dengan kegiatannya, sehingga ia harus berhenti sejenak.

“Halo?” Binar menjawab panggilan dari William.

Apa kamu di rumah, Binar?

“Saya nggak pernah meninggalkan rumah, Tuan,”

Oke. Aku hanya mau bilang, aku nggak bisa pulang malam ini. Rachel sedang sakit.

Binar terdiam sesaat. Ini adalah pertama kalinya William tidak bisa datang selama lebih dari satu bulan usia pernikahan mereka. Perempuan itu mengangguk singkat, sebelum sadar bahwa sang suami tidak bisa melihatnya.

“Baiklah, Tuan. Nggak apa-apa, saya mengerti.”

Jangan lakukan apapun, Binar. Kamu bisa meminta kepada para pegawai rumah kalau kamu membutuhkan sesuatu.

“Saya sedang berbaring di kamar, Tuan.”

Bagus. Aku akan datang besok, saat keadaan Rachel membaik. Jangan lupa minum obat dan vitaminmu.”

Binar bergumam mengiyakan sebelum William menutup panggilannya. Perempuan itu kemudian kembali terdiam sembari memandangi layar ponsel yang sudah padam.

Ia tahu, semua perhatian yang William berikan semata-mata hanyalah karena jabang bayi yang pria itu harapkan segera hadir di dalam rahim Binar. Tidak akan pernah ada rasa apapun yang William khususkan untuknya.

Nah, Binar sudah terbiasa ditinggal sendirian di dalam mansion mewah ini ketika siang hari. Namun, tidak melihat William pada malam harinya, rasanya agak sedikit aneh. Meski kadang tidak menginap, namun pria rupawan itu tidak pernah absen hadir setiap malamnya. Dan karenanya, Binar menjadi terbiasa.

“Aku tetap nggak boleh lupa dengan posisiku.” Perempuan dua puluh lima tahun itu berujar sendirian sembari mengangkat bahu. “Mbak Rachel tetaplah pemenangnya. Itu nggak bisa diganggu gugat.”

Binar membereskan selang air yang baru saja ia pakai saat senja menyepuh langit barat dengan cahaya jingga. Ia lantas kembali ke dalam mansion untuk membersihkan diri sebelum makan malam.

“Tuan William nggak akan datang malam ini, jadi nggak usah siapkan makan malam buat beliau, ya,” ujarnya kepada para pegawai rumah yang sedang membereskan meja makan. Mereka semua mengangguk dengan patuh.

“Nyonya Binar mau makan sekarang?”

“Nggak, aku akan mandi dulu. Lagian ini masih sore,” tuturnya seraya tersenyum. Para pegawai rumah kembali mengangguk sembari mundur. Mereka menutup kembali beberapa dish yang sudah tertata rapi di atas meja.

“Apa menu yang mereka masak hari ini? Kok baunya agak aneh?” Binar bergumam seraya melemparkan lirikan kepada meja makan, sementara ia naik tangga menuju kamarnya.

Sebelum ke kamar mandi, ia duduk sejenak di atas ranjang dan memijit pundaknya. “Sepertinya aku kelamaan menganggur. Sampai hanya siram tanaman saja, rasanya capek banget. Mungkin mandi air hangat bisa membantu.”

Membayangkan betapa menyenangkan berendam di dalam bathup berisi air hangat dan busa yang wangi, Binar buru-buru kembali berdiri.

Ia baru saja mengayun dua langkah saat tiba-tiba dunia di sekitarnya berputar hebat.

“Ya Tuhan ….” desisnya lirih seraya menekan pelipis. “Kenapa ini? Kok mendadak aku–”

Binar tidak sempat mencari bantuan saat gelap tiba-tiba menyelimuti pandangannya.

Bugh!

Ia jatuh tersungkur di atas lantai, pingsan.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status