**
“Kalian dari mana?” Perempuan itu bertanya singkat. Ekor matanya sempat melirik kantong obat dengan gambar logo rumah sakit yang berada di tangan Binar.
“Ketemu dokter Ardi. Periksa kandungannya Binar,” jawab William lugas. Binar entah mengapa berharap sang suami memberikan jawaban yang lain saja, sebab raut wajah Rachel seketika berubah setelah mendengar hal itu.
“Kenapa harus diperiksa segala? Kalian bahkan baru saja menikah beberapa hari yang lalu, kan? Memangnya dia sudah akan hamil?”
“Hanya memastikan semuanya baik-baik saja, Rachel. Nggak ada salahnya mempersiapkan semuanya lebih awal, kan? Ada apa kamu menyusul ke sini?”
“Mansion ini kan punya kamu. Berarti milikku juga. Aku bebas datang kapan saja, kan?”
William mengangkat bahu. “Terserah kamu sajalah.”
Binar merasa keberadaannya tidak terlalu penting di antara suami istri yang sedang berdebat kecil itu. Maka ia memilih menjauh, kembali ke kamarnya di lantai atas dan beristirahat di sana saja. Lagi-lagi ia merasa bahwa Rachel tidak terlalu senang dengan pernikahannya dengan William, sekalipun perempuan itu sudah tahu bahwa ini hanyalah pernikahan kontrak.
Nah, Binar baru saja akan merebahkan tubuh di atas ranjangnya saat pintu kamarnya terbuka dengan tiba-tiba. Perempuan itu pikir, William yang datang. Tapi ternyata itu adalah Rachel Aluna.
“Mbak?” Binar kembali berdiri dengan terkejut. “Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?”
Rachel menggeleng singkat. “Aku hanya ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaanmu. Apa kamu maksa William untuk mengantarmu ke dokter hari ini?”
“Sama sekali tidak. Justru Tuan William yang mengajak saya periksa. Dokter bilang semuanya baik.”
Rachel mengalihkan pandang dari yang lebih muda. Ia mengangguk dengan terpaksa. “Yah, baguslah. Setidaknya kalau nggak ada masalah, ini semua bisa segera selesai.”
“Saya juga berharap begitu,” tukas Binar segera. “Semoga hasilnya seperti yang diharapkan semua orang.”
“Hasil yang diharapkan semua orang nggak sama dengan yang aku harapkan.”
Buru-buru Binar memandang Rachel setelah mendengar pernyataan barusan. Bukankah itu terdengar agak aneh? “Maaf, bagaimana maksudnya, Mbak?”
“Ah, Rachel, kamu di sini?”
Belum sempat Rachel menjawab pertanyaan Binar, William sudah datang dan menginterupsi percakapan dua perempuan itu.
“Aku hanya ingin tahu bagaimana hasil pemeriksaan dia.” Perempuan cantik itu menunjuk Binar. “Nggak salah kan kalau aku tanya-tanya sedikit sama orangnya langsung?”
“Tentu saja, justru itu bagus kalau kalian bisa berteman.” William tersenyum, sepenuhnya tidak menyadari raut wajah dua istrinya yang jauh dari kata ‘berteman’.
“Nggak begitu juga. Oh, ngomong-ngomong, aku ada pemotretan setelah ini. Bisa kamu mengantar aku ke depan, Sayang?” Rachel bertanya kepada William, yang segera disambut oleh pria itu.
“Binar, kamu bisa istirahat sekarang. Kami pergi dulu,” ujar sang suami sebelum beranjak pergi.
Meninggalkan Binar yang tenggelam dalam banyak pertanyaan.
“Mungkin aku saja yang belum terlalu mengenal Mbak Rachel. Aku yakin dia orangnya baik.” Binar berkata demikian, namun tetap tidak bisa yakin.
Jika istri pertama suaminya dari awal sudah bersikap seperti itu, akankah semuanya baik-baik saja?
Untungnya, Binar mulai bisa menyesuaikan diri, hingga waktu berlalu dengan cepat tanpa disadari meski terkadang dirinya harus menahan diri karena Rachel kerap datang tiba-tiba untuk melakukan inspeksi ke mansion tempat Binar tinggal.
Seperti hari ini, Binar sedang menyiram bunga-bunga yang tumbuh di halaman samping mansion milik William ini.
Tidak ada yang menyuruhnya melakukan hal itu. Binar berinisiatif sendiri, sebab sangat bosan jika sepanjang hari ia melewatkannya di kamar saja, menunggu sang suami datang pada malam hari.
Ponsel perempuan itu berdering saat ia sedang asyik dengan kegiatannya, sehingga ia harus berhenti sejenak.
“Halo?” Binar menjawab panggilan dari William.
“Apa kamu di rumah, Binar?”
“Saya nggak pernah meninggalkan rumah, Tuan,”
“Oke. Aku hanya mau bilang, aku nggak bisa pulang malam ini. Rachel sedang sakit.”
Binar terdiam sesaat. Ini adalah pertama kalinya William tidak bisa datang selama lebih dari satu bulan usia pernikahan mereka. Perempuan itu mengangguk singkat, sebelum sadar bahwa sang suami tidak bisa melihatnya.
“Baiklah, Tuan. Nggak apa-apa, saya mengerti.”
“Jangan lakukan apapun, Binar. Kamu bisa meminta kepada para pegawai rumah kalau kamu membutuhkan sesuatu.”
“Saya sedang berbaring di kamar, Tuan.”
“Bagus. Aku akan datang besok, saat keadaan Rachel membaik. Jangan lupa minum obat dan vitaminmu.”
Binar bergumam mengiyakan sebelum William menutup panggilannya. Perempuan itu kemudian kembali terdiam sembari memandangi layar ponsel yang sudah padam.
Ia tahu, semua perhatian yang William berikan semata-mata hanyalah karena jabang bayi yang pria itu harapkan segera hadir di dalam rahim Binar. Tidak akan pernah ada rasa apapun yang William khususkan untuknya.
Nah, Binar sudah terbiasa ditinggal sendirian di dalam mansion mewah ini ketika siang hari. Namun, tidak melihat William pada malam harinya, rasanya agak sedikit aneh. Meski kadang tidak menginap, namun pria rupawan itu tidak pernah absen hadir setiap malamnya. Dan karenanya, Binar menjadi terbiasa.
“Aku tetap nggak boleh lupa dengan posisiku.” Perempuan dua puluh lima tahun itu berujar sendirian sembari mengangkat bahu. “Mbak Rachel tetaplah pemenangnya. Itu nggak bisa diganggu gugat.”
Binar membereskan selang air yang baru saja ia pakai saat senja menyepuh langit barat dengan cahaya jingga. Ia lantas kembali ke dalam mansion untuk membersihkan diri sebelum makan malam.
“Tuan William nggak akan datang malam ini, jadi nggak usah siapkan makan malam buat beliau, ya,” ujarnya kepada para pegawai rumah yang sedang membereskan meja makan. Mereka semua mengangguk dengan patuh.
“Nyonya Binar mau makan sekarang?”
“Nggak, aku akan mandi dulu. Lagian ini masih sore,” tuturnya seraya tersenyum. Para pegawai rumah kembali mengangguk sembari mundur. Mereka menutup kembali beberapa dish yang sudah tertata rapi di atas meja.
“Apa menu yang mereka masak hari ini? Kok baunya agak aneh?” Binar bergumam seraya melemparkan lirikan kepada meja makan, sementara ia naik tangga menuju kamarnya.
Sebelum ke kamar mandi, ia duduk sejenak di atas ranjang dan memijit pundaknya. “Sepertinya aku kelamaan menganggur. Sampai hanya siram tanaman saja, rasanya capek banget. Mungkin mandi air hangat bisa membantu.”
Membayangkan betapa menyenangkan berendam di dalam bathup berisi air hangat dan busa yang wangi, Binar buru-buru kembali berdiri.
Ia baru saja mengayun dua langkah saat tiba-tiba dunia di sekitarnya berputar hebat.
“Ya Tuhan ….” desisnya lirih seraya menekan pelipis. “Kenapa ini? Kok mendadak aku–”
Binar tidak sempat mencari bantuan saat gelap tiba-tiba menyelimuti pandangannya.
Bugh!
Ia jatuh tersungkur di atas lantai, pingsan.
***
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit