Share

MALAM PERTAMA TANPA SENTUHAN

Author: Benduls
last update Last Updated: 2025-12-15 03:35:46

Rumah itu terasa terlalu sunyi.

Saat mobil Ravindra berhenti di depan bangunan modern berwarna abu-abu, aku menatapnya sejenak sebelum turun. Lampu taman menyala temaram, memantulkan bayangan pepohonan di dinding kaca yang menjulang. Segalanya terlihat rapi, mahal, dan dingin seperti kehidupan yang akan kujalani mulai malam ini.

“Masuk,” ucap Ravindra singkat.

Aku mengangguk dan mengikutinya. Setiap langkah di lantai marmer terasa menggema, seolah rumah ini tidak pernah benar-benar dihuni. Lorong panjang itu bersih tanpa hiasan berlebihan. Tidak ada foto keluarga, tidak ada tanda kehangatan. Hanya ruang-ruang luas yang sunyi.

“Ini kamarmu,” katanya sambil membuka sebuah pintu.

Aku melangkah masuk dan refleks berhenti. Kamar itu luas, dengan tempat tidur besar berseprai putih, sofa kecil di dekat jendela, dan lampu tidur berwarna hangat. Jendela tinggi menghadap ke taman belakang yang gelap. Kamar ini terlalu sempurna dan terlalu asing.

“Ini kamar utama,” gumamku tanpa sadar.

Ravindra mengangguk. “Iya. Tapi jangan salah paham.”

Ia menunjuk ke pintu lain di sudut ruangan. “Kamarku di sebelah. Kita hanya perlu terlihat tinggal bersama. Itu saja.”

Napas yang sejak tadi kutahan akhirnya keluar perlahan. “Baik.”

Ia menatapku sejenak, lalu berkata dengan nada tegas, “Kita pastikan aturannya jelas sejak awal. Tidak ada sentuhan. Tidak ada urusan pribadi. Kita jalani sesuai kontrak.”

“Aku mengerti,” jawabku cepat.

Ravindra berbalik pergi, lalu berhenti di ambang pintu. “Besok pagi, sarapan bersama. Mulai saat itu, staf dan keluarga akan menganggap kita pasangan sungguhan.”

Pintu tertutup pelan.

Aku berdiri sendirian di tengah kamar itu, merasakan beratnya kesunyian. Malam pertama sebagai istri tanpa cincin, tanpa pelukan, tanpa kata lembut. Hanya status palsu dan peran yang harus kumainkan dengan sempurna.

Aku duduk di tepi ranjang dan melepas sepatu. Kakiku terasa pegal, tapi kepalaku jauh lebih berat. Ingatanku melayang pada satu wajah yang selalu hadir di saat-saat seperti ini.

Anakku.

Aku meraih ponsel dan membuka pesan terakhir dari perawat rumah sakit.

“Kondisi stabil. Tidur nyenyak malam ini.”

Dadaku menghangat, tapi mataku justru berkaca-kaca. Aku menutup layar dan memeluk bantal, menarik napas panjang. Demi dia. Aku harus bertahan.

Ketukan pelan terdengar di pintu, membuatku tersentak.

“Masuk,” kataku.

Ravindra berdiri di sana, kini tanpa jas. Kemeja putihnya sedikit kusut, dasinya sudah dilepas. Untuk sesaat, ia tidak terlihat seperti CEO dingin yang menawariku pernikahan kontrak, melainkan pria lelah yang pulang ke rumah kosong.

“Ada yang kamu butuhkan?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Tidak.”

Ia mengangguk, namun tidak langsung pergi. Tatapannya singgah sebentar ke arah jendela, lalu kembali padaku. “Kalau ada yang membuatmu tidak nyaman, katakan.”

Aku sedikit terkejut. “Baik.”

“Selamat malam,” ucapnya singkat.

“Selamat malam.”

Pintu tertutup kembali, dan langkahnya menjauh.

Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit. Jam dinding berdetak pelan, setiap detiknya terasa panjang. Aku memejamkan mata, mencoba tidur, tapi pikiranku terus berputar, tentang kontrak enam bulan itu, tentang kebohongan yang harus kujaga, tentang bagaimana aku akan hidup di rumah ini tanpa membuka rahasia terbesarku.

Lampu di kamar sebelah masih menyala. Aku tahu itu tanpa harus melihat. Kesadaran bahwa Ravindra berada begitu dekat, dipisahkan hanya oleh dinding, membuat dadaku terasa sesak. Begitu dekat, namun asing. Begitu jauh, padahal dulu pernah sangat dekat.

Sekitar tengah malam, aku terbangun oleh suara langkah kaki di lorong. Langkah itu berhenti tepat di depan pintuku. Jantungku berdegup kencang. Aku menahan napas, menunggu sesuatu yang tidak terjadi.

Pintu itu tidak dibuka.

Beberapa detik kemudian, langkah itu menjauh.

Aku menghembuskan napas lega, namun perasaan aneh menyusup di dadaku, campuran antara takut dan entah kenapa… kecewa.

Tidak ada sentuhan. Tidak ada percakapan. Tidak ada apa-apa.

Namun justru itulah yang membuat malam ini terasa berat.

Karena aku sadar, tinggal bersama pria ini akan menguji batas terkuatku,

batas antara diam dan jujur,

antara peran dan perasaan.

Dan malam pertama tanpa sentuhan ini hanyalah awal dari semua kebohongan yang harus kujaga…

demi satu kebenaran yang tidak boleh terungkap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   DI BALIK LANGKAH CEPAT

    Pagi itu terasa terlalu cerah untuk hari yang seharusnya tenang. Aku berdiri di depan cermin, merapikan rambut dengan tangan yang sedikit gemetar. Sejak pertemuan di kafe kemarin, perasaanku tidak benar-benar turun. Seolah ada bayangan yang mengikuti dari sudut pandang mata, lalu menghilang ketika kutoleh. Ravindra menungguku di ruang tamu. Ia mengenakan kemeja gelap dan jaket tipis. Tidak formal, tapi siap. Cara berdirinya tegak, waspada membuatku sadar betapa berbeda hari-hari kami sekarang. “Kita langsung ke sana,” katanya. “Tidak mampir.” Aku mengangguk. Di mobil, ia mengemudi tanpa banyak bicara. Jalanan pagi cukup padat. Aku menatap keluar jendela, menghitung napas, mencoba menenangkan degup jantung. “Kamu tidur?” tanyanya singkat. “Sebentar,” jawabku. “Kamu?” “Tidak,” katanya jujur. Kami berhenti di lampu merah. Aku melihat bayangan mobil hitam di kaca spion, terlalu dekat, terlalu lama. Saat lampu hijau, mobil itu ikut melaju. “Ravindra,” kataku pelan.

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   ATURAN BARU

    Aturan pertama datang tanpa tertulis. Kami tidak saling bertanya ke mana, selama pulang tepat waktu. Tidak ada interogasi, tidak ada laporan. Ravindra menyebutnya “kepercayaan fungsional", cukup untuk berjalan, tidak cukup untuk berlari. Aturan kedua: makan malam bersama, minimal tiga kali seminggu. Tanpa ponsel. Tanpa dokumen. Hanya kami dan percakapan yang tidak menyinggung masa lalu. Aturan ketiga yang tidak ia ucapkan, tapi kurasakan adalah jarak. Jarak yang terukur, dijaga, namun tak sepenuhnya dingin. Pagi itu, kami sarapan dalam diam yang tidak canggung. Ravindra menuangkan kopi untukku tanpa bertanya, menambahkan gula dua sendok seperti yang selalu kulakukan. Aku menatap cangkir itu sejenak. “Kamu ingat,” kataku. Ia mengangkat bahu. “Aku memperhatikan.” Itu bukan pengakuan, tapi cukup. Hari berjalan cepat. Aku menghabiskan waktu di rumah, menata ulang ruang

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   SETENGAH KEBENARAN

    Malam datang tanpa aba-aba. Lampu ruang keluarga menyala terang, terlalu terang untuk percakapan yang akan terjadi. Aku duduk di sofa dengan punggung tegak, telapak tangan dingin. Jam dinding berdetak seperti palu kecil yang memukul kesabaranku. Pintu terbuka tepat pukul delapan. Ravindra masuk tanpa kata. Jasnya tergantung rapi, rambutnya masih basah oleh hujan. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu berdiri beberapa langkah dariku. “Sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia tidak duduk. Ia berdiri seperti hakim yang belum memutuskan apakah ia akan menghukum atau membebaskan. Di tangannya ada map yang sama, kini lebih tebal. “Kamu berjanji,” katanya. “Aku menepati bagianku. Ini hasil lengkap.” Ia meletakkan map di meja. Aku tidak langsung membukanya. “Aku ingin kamu dengar dulu,” kataku. Ia mengangkat alis. “Aku mendengar sejak awal. Sekara

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   BUKTI YANG TIDAK BISA DIABAIKAN

    Hujan berhenti menjelang subuh. Aku terbangun dengan perasaan tidak enak, jenis perasaan yang datang sebelum sesuatu runtuh. Rumah masih sunyi. Tidak ada suara langkah Ravindra, tidak ada aroma kopi dari dapur. Aku tahu ia bangun lebih awal. Ia selalu begitu saat pikirannya bekerja terlalu keras. Aku bersiap tanpa terburu-buru, memilih pakaian yang rapi dan netral. Ketika keluar kamar, pintu ruang kerjanya tertutup rapat. Lampu di dalam menyala. Ia sudah mulai. Aku membuat teh dan duduk di meja makan, mencoba mengatur napas. Jam dinding berdetak pelan. Setiap detik terasa seperti langkah mendekat ke tepi jurang. Pukul tujuh lewat lima, pintu ruang kerja terbuka. Ravindra keluar dengan kemeja abu-abu, lengan digulung, ekspresinya tenang, tenang yang berbahaya. Ia meletakkan sebuah map tipis di meja, tepat di hadapanku. “Kita bicara sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia duduk berseberangan. “Aku tidak akan berputar-putar.” “Baik.” “Aku menemukan dua catatan yang t

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   PERTEMUAN YANG TAK BOLEH TERLIHAT

    Aku menatap layar ponsel terlalu lama. Pesan itu masih terbuka, seolah menunggu keberanianku untuk menjawab. Tanganku dingin. Dadaku terasa sempit. Ravindra sudah mulai menyelidiki dan pesan ini berarti satu hal: lingkaran aman yang selama ini kujaga mulai runtuh. Aku membalas singkat. > Di mana? Balasan datang cepat. > Kafe lama di Jalan Seruni. Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun. Aku menutup mata sejenak. Jalan Seruni terlalu dekat dengan pusat kota. Terlalu berisiko. Tapi menunda bukan pilihan. Aku bersiap tanpa menarik perhatian. Gaun sederhana, sepatu datar, rambut dibiarkan terurai. Aku meminta sopir mengantar ke toko buku, lalu turun dua blok sebelum tujuan. Sisanya kutempuh dengan berjalan kaki di bawah gerimis tipis. Kafe itu kecil dan redup, nyaris tak berubah sejak terakhir kali aku mengingatnya. Aroma kopi tua dan kayu basah menyambutku. Aku memilih meja di sudut, membelakangi jendela. Ia datang lima menit kemudian. Wajahnya lebih tirus dari ingatanku

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   JEJAK YANG TERTINGGAL

    Pagi datang tanpa suara. Aku bangun dengan perasaan diawasi, meski kamar terasa kosong. Tirai tertutup rapi, ranjang di sisi Ravindra tak tersentuh. Jarak yang ia ciptakan semalam masih terasa, seperti garis tak kasatmata yang memisahkan kami, jelas, tegas, dan dingin. Aku bersiap dalam diam. Memilih pakaian sederhana, mengikat rambut seadanya. Setiap gerakan terasa terukur. Aku harus berhati-hati. Terlalu hati-hati. Di dapur, pengurus rumah menyapaku dengan senyum kecil. “Tuan Ravindra sudah berangkat.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Beliau minta berkas dikirim ke ruang kerjanya,” tambahnya, seolah itu informasi biasa. Ruang kerja. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku tidak pernah masuk ke sana tanpa diundang. Hari itu berjalan lambat. Aku mencoba mengalihkan pikiran, membaca, menata bunga, berjalan di taman, namun setiap langkah terasa seperti di atas kaca. Ravindra sudah mulai menyelidiki. Aku tahu caranya bekerja: tenang, sistematis, dan tak pernah bergera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status