"Indah, bagaimana? Apa kamu sudah membuat keputusan?" Indah baru saja duduk di mobil bagian belakang, tetapi sudah ditodong pertanyaan oleh Bara yang baru saja masuk. "Indah, kenapa enggak jawab? Ini udah tiga hari dari hari yang kamu janjikan." Bara menegur ketika Indah hanya diam saja. Tidak langsung menjawab, Indah menatap Bara sejenak. Helaan napas panjang terdengar sebelum akhirnya Indah menjawab, "Bismillahirrahmanirrahim, saya terima Bapak."Mata Bara melebar dengan sempurna. Untuk beberapa saat Bara diam--mencerna ucapan Indah. Ketika sudah mencerna, tanpa aba-aba Bara menarik Indah ke dalam pelukannya.Jelas Indah yang sedang menunduk--terperanjat dengan tindakan Bara. "P-pak, mohon lepaskan saya." "Sebentar aja Indah, aku terlalu senang. Akhirnya kamu mau menikah sama aku." Bara masih memeluk Indah. Rasanya nyaman, membuat Bara betah dan tidak ingin melepaskan. Sangat berbeda dengan Indah yang merasa risih dan ingin segera menjauh. Hanya saja, Bara terlalu erat memelukn
"Indah, apa Ayah kamu tidak bisa pulang dulu?" Untuk yang kesekian kalinya Indah mendengar pertanyaan seperti itu dari Bara. Rasanya cukup kesal, tetapi Indah berusaha untuk bersikap biasa saja. "Tidak bisa, Pak." "Aku udah enggak sabar. Kenapa waktu rasanya lama banget?" Bara terus saja mengeluh karena menunggu ayah Indah pulang. Pria itu sudah tidak sabar untuk melamar Indah lalu meminangnya. "Tinggal empat hari lagi, Pak." "Empat hari itu lama, Indah.""Lama kalau Bapaknya enggak sabar. Sabarnya harus ditambah, Pak." "Emang bisa?" Bara antusias. "Bisa kalau lebih sabar."Terdengar dengusan pelan dari hidung mancung Bara. "Kalau itu aku enggak bisa!" Indah menggeleng pelan dan memilih tidak menanggapi. Perempuan itu melihat ke arah jendela. Mereka sedang dalam perjalanan pulang. Bara tidak kehabisan akal--pria itu menggeser tubuhnya agar mepet kepada Indah. Jelas hal itu membuat Indah kurang nyaman. "Pak, jangan mepet-mepet! Masih ada ruang sebelah sana.""Aku maunya deke
Dodi terkekeh mendengar Bara yang sudah tidak sabar. Karena tidak ingin membuang waktu, pria paruh baya itu mengajak Bara untuk berdiskusi. Tentu Bara tidak akan menolak. Sementara Indah hanya bisa menggeleng pelan. Perempuan itu memilih masuk ke kamarnya. "Aku harap ini yang terbaik." Ketika Indah baru saja membuka kerudungnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Sosok Mega berjalan menghampiri. Membuat Indah yang akan rebahan mengurungkan niatnya. "Bunda," ucap Indah. Mega tersenyum tipis lalu duduk di samping Indah. Ia mengusap paha Indah dengan sayang. "Apa kamu sudah yakin dengan pilihanmu, Indah?" "Hemm, iya." Indah menjawab ragu. "Bagaimana dengan Dirga?" Raut wajah Indah berubah sendu. Dirga--sosok yang sedang ia tunggu. Hanya saja, Indah tidak mungkin terus menunggu sesuatu yang tidak pasti. Lagi pula Indah menerima Bara karena ingin menolong. Iya, karena permintaan Dona dan Roki yang membuat Indah mempertimbangkan menerima Bara. Meski begitu, Indah berharap pernikahan
[Indah, besok enggak usah kerja. Aku sama Mama, Papa mau ke rumah buat lamar kamu.] Sebuah pesan yang Indah terima dari Bara saat ia akan tertidur--membuatnya mengurungkan niat. Indah gelisah membaca pesan tersebut. Entah kenapa hatinya menjadi tidak tenang dan Indah merasa ragu dengan keputusannya. "Ada apa ini? Kenapa perasaanku enggak enak?" Indah bergumam sambil bangkit dari tidurannya. Dalam hati Indah terus meyakinkan jika keputusannya sudah tepat. [Indah, kenapa cuman dibaca doang pesannya?] Kembali Bara mengirim pesan. Indah hanya membacanya saja. Jelas hal itu membuat Bara yang ada di sudut kamarnya heran."Apa Indah baik-baik aja?" gumam Bara sambil menatap layar ponselnya. Tanpa pikir panjang Bara langsung menghubungi Indah. "Ayo angkat, Indah." Sementara Indah yang dihubungi Bara hanya menatap layar ponselnya dengan perasaan gamang. Ragu-ragu Indah menerima panggilan telepon tersebut. "Halo, assalamu'alaikum, Pak." "Indah, kenapa pesanku cuman dibaca aja?" "Pak,
Satu minggu--waktu yang disepakati kedua belah pihak setelah pertemuan dua hari yang lalu. Meski perdebatan sedikit menghiasi karena Bara merasa tidak terima jika harus menikah dalam jangka waktu yang katanya lama. Akhirnya pria itu mau menerima setelah diberi pengertian. "Indah, beneran kamu bakal nikah sama Pak Bara?" Indah yang sedang berjalan di koridor kantor pun harus mendapatkan pertanyaan dari temannya--Rosi yang langsung menariknya untuk bicara berdua. Memang setelah Indah menjadi sekretaris Bara--Ia menjadi tidak memiliki banyak waktu bersama Rosi. Hal itu karena Bara yang selalu menempel kepada Indah. Beruntungnya kali ini Rosi memiliki kesempatan karena Indah tanpa sengaja melihat Indah berjalan seorang diri. "Iya," jawab Indah apa adanya. Rasanya tidak ada lagi yang perlu Indah sembunyikan tentang hubungannya dengan Bara. Bagaimanapun Bara terlalu terang-terangan. Lagi pula pernikahan sudah berada di depan mata. "What? Jadi bener ya gosip tentang kamu yang mau nikah?
"Indah, kenapa kamu diam aja?" tanya Bara ketika mereka baru saja selesai rapat. Bara terus menganggu Indah yang kini sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. "Indah, ayolah. Kenapa kamu jadi pendiam setelah tadi siang?" Indah menghela napas lalu menyimpan pensil yang ia pegang. Kepalanya mendongak--menatap Bara yang ada di atasnya. "Saya kesal karena Bapak pake mata-matai saya." "Ya gimana ... habisnya kamu enggak ada kabar. Bilangnya sebentar ternyata lama, aku enggak punya pilihan." Jawaban Bara yang sama sekali tidak merasa bersalah membuat Indah mendesah. Rasanya percuma saja jika dirinya terus membahas. Sementara Bara sendiri malah biasa saja. Akhirnya Indah memilih tidak memperpanjang. "Bapak tidak akan ke ruangan? Sebentar lagi masuk jam pulang. Apa Bapak berniat lembur?" Dengan cepat Bara menggeleng. "Tentu saja enggak! Kamu lupa kalau kita akan menikah? Jadi aku harus simpan stamina buat lembur sama kamu." Wajah Indah langsung berubah merah karena Bara mengatakan yang
"Indah, kamu cantik sekali." Mega menatap kagum putrinya yang kini dalam balutan kabaya putih. Indah tersenyum mendengar pujian dari ibunya. "Terima kasih, Bun." "Bunda enggak nyangka, sebentar lagi kamu akan menikah dengan Bara. Kamu bukan lagi tanggung jawab Bunda sama Ayah, Indah." Tanpa mengatakan apa pun, Indah langsung berhambur memeluk Mega. Rasa haru bercampur sedih Indah rasakan sekarang. Ia ingin menangis, tetapi sudah diwanti-wanti oleh tukang rias untuk tidak melakukannya. Mega segera membalas pelukan Indah. Wanita paruh baya itu mengusap punggung ringkih anaknya dengan lembut. Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan, sampai akhirnya seseorang meminta Indah untuk segera ke tempat ijab kabul. "Ayo, Indah, ijab kobul sebentar lagi di mulai." "Iya, Bun." Kedua wanita beda usia itu keluar dari kamar hotel lalu melangkah menuju balroom yang sudah disulap menjadi tempat ijab kobul yang sakral. Begitu tiba Indah langsung disuruh duduk di samping Bara yang sejak tadi s
Bara menuntun Indah yang berjalan sedikit kaku. "Aku gendong ya?" "Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri," tolak Indah membuat Bara mendengus."Tadi udah sepakat buat panggil aku dengan sebutan 'Mas', terus kenapa sekarang balik lagi jadi Bapak?" Bara protes--merasa tidak suka dengan Indah yang terus mengulangi kesalahan yang sama dalam memanggil namanya. Indah menyengir kuda---merasa bersalah. "Lupa terus, Mas.""Masih muda udah pelupa!" cetus Bara sambil terus menuntun Indah. Tiba di kamar pengantin, Bara langsung meminta Indah untuk duduk di sofa. Tidak ada penolakan dari Indah--karena memang ia sudah merasa pegal sejak tadi menyambut tamu yang begitu banyak. Indah terkesiap ketika tiba-tiba Bara berjongkong di hadapannya. "Ma-mas mau apa?" tanya Indah tergagap. "Mau buka sepatu kamu." Saat Bara akan menyentuh kaki Indah, dengan cepat Indah menarik kakinya. Sehingga Bara belum sempat menyentuhnya. Jelas tindakan itu membuat Bara langsung mendongak--menatap Indah dengan satu a