Hari ini usai sarapan pagi yang sedikit dramatis, Aldino mengantarkan Malati berangkat ke kampus. Jika pernikahan yang terjadi normal, seharusnya mereka saat ini tengah menikmati Honeymoon. Sayangnya, mereka menikah secara diam-diam sehingga tidak ada orang lain yang tahu soal status pernikahan mereka kecuali keluarga terdekat.Jarak kediaman Aldino dan kampus Prabu Agung Cakrabuana sekitar sepuluh delapan sehingga cukup lama menghabiskan waktu di perjalanan.Sepanjang perjalanan, atmosfer terasa hening mirip pemakaman.Aldino mengira jika Malati masih marah soal morning kiss yang ia lakukan pagi tadi di hadapan Eyang Waluyo dan Bude Ratna. Pasalnya, setelah pagi tadi Malati berwajah muram, meski sebelumnya selalu muram. Namun kini semakin muram. Begitulah pikiran yang berseliweran di kepala Aldino.Ragu-ragu, Aldino ingin membahas soal perkara tadi, namun ia gengsi. Toh, dalam perjanjian tertulis Malati harus bisa bersandiwara dengan baik sebagai istrinya.Sebaliknya, meski Malati k
Sejenak Malati mengabaikan pesan yang masuk pada ponselnya. Ia memasuki ruang kelas dan mengikuti perkuliahan hari itu. Hingga tak terasa waktu sudah siang. Malati harus bersiap-siap pergi ke sekolah SMA nya dulu untuk mengajar para calon peserta Olimpiade Matematika.Malati memesan ojek online agar tiba di sana. Jarak universitas Prabu Agung Cakrabuana menuju MA Al Fatma cukup jauh, membutuhkan waktu hingga setengah jam dengan kendaraan beroda dua jika jalan lengang.Kebetulan hari itu jalan mulus tanpa hambatan sehingga Malati bisa tiba di sekolah di mana dulu ia mengenyam pendidikan saat SMA tepat waktu.Aldino orang yang disiplin maka jika Malati datang terlambat, ia pasti akan kena marah.“Makasih Teh!” ucap Malati pada driver onjol perempuan seraya memberikan ongkosnya.“Sama-sama, Neng!” sahutnya.Malati menghela nafas. Karena wajahnya baby face sehingga ia masih dikira anak SMA. Padahal ia sudah menjadi anak mahasiswi tingkat tiga. Ia belajar lebih cepat sebab pernah mengikuti
Tak terasa petang beranjak. Setelah membeli buket bunga, Aldino mengajak Malati pergi ke sebuah rumah sakit kota yang elit. Namun sebelumnya mereka memutuskan sholat magrib di masjid agung.Ia akan mengunjungi kekasihnya yang sedang dirawat di rumah sakit. Hampir setiap minggu ia membesuknya demi mengobati rasa rindu yang meradang.Kakinya mengayun lesu setiap kali datang ke sana. Sejujurnya ia tak tega melihatnya namun ia selalu ingin mengetahui kondisinya. Apakah ada perkembangan atau tidak. Ia berharap ada sebuah keajaiban yang hadir! Karena doa-doa Aldino senantiasa melangit untuk kekasihnya!Aldino memarkirkan kendaraannya di area parkir rumah sakit dan meminta Malati untuk menunggu di mobil.“Mala, kau tunggu di sini! Jangan kemana-mana!” Begitulah Aldino memperingati Malati seperti pada anak kecil.Seperti biasa Malati hanya akan mengangguk untuk menjawab, namun ketika teringat Aldino yang selalu marah melihat responnya maka kini Malati mulai bersuara.“Iya, Pak! Saya akan m
Malati mulai merasa jenuh dan letih menunggu Aldino yang keluar meninggalkannya selama lebih dari tiga puluh menit. Beberapa kali Malati menengok jam pada arloji yang melingkari di pergelangan tangan kanannya. Namun Aldino tak urung datang.Bukan tanpa alasan, hari ini jadwal kegiatan Malati sangatlah padat. Pagi hari ia mengikuti jadwal kuliah. Sore hari ia harus mengajar adik kelasnya di MA Al Fatma.Perutnya sudah keroncongan karena tak sempat makan siang. Rasanya ia ingin segera pulang bersantap malam dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Untuk mengusir rasa suntuk dan lapar, Malati membaca buku. Sudah tiga buku berjilid tebal yang ia baca. Malati yang diberkati daya ingat yang kuat tak butuh waktu lama dalam membaca sebuah buku. Hanya dengan membaca sekilas, ia bisa memahami isi buku. Tiba-tiba merasa ada panggilan alam. Ia ingin buang air kecil. Namun ia khawatir jika Aldino datang saat ia tak menunggunya. Ia takut Aldino marah karena sifat aslinya temperamen. Oleh karena
Malati tersentak kaget ketika tubuhnya tiba-tiba melayang ke udara. Tanpa seijinnya, ke dua tangan kekar Aldino membopong tubuhnya. Tatapannya yang tajam kini berubah menjadi teduh.Karena khawatir jatuh, reflek, tangan Malati mencengkram baju Aldino, berpegangan.“Pssttt! Jangan berisik! Apa kau tak lihat Bude Ratna sedang memperhatikan kita,” lirih Aldino.Malati pun menutup bibirnya rapat-rapat. Ia masih berupaya keras menormalkan debaran jantungnya yang tiba-tiba jedag-jedug. Ekor mata Malati menangkap sosok wanita tengah berdiri mematung dekat lemari pendingin. Mungkin Bude Ratna kehausan sehingga mengambil air dingin di sana.Namun Malati seringkali dibuat pening tiada ampun dengan tindakan Aldino yang berada di luar nalar. Penuh kejutan dan tak bisa ditebak!Mengapa harus ada adegan menggendong. Lama kelamaan Malati mulai berpikir jika Aldino diam-diam merupakan penggemar drakor. Pikirannya mungkin dipenuhi oleh adegan-adegan roman picisan. Usia boleh tua tetapi jiwa masih mu
Malati tersenyum mendengar pertanyaan Bude Ratna. Ia pun menjawab dengan penuh keyakinan.“Biasa Bude. Kami menghabiskan waktu jalan-jalan di luar. Kami makan malam dan berhenti di masjid agung untuk menunaikan sholat.”Tangan Aldino menggapai lemon tea tanpa gula dan meneguknya perlahan.Ia merasa tenang dengan jawaban Malati. Untung saja sebelumnya Malati sudah dibreafing terlebih dahulu. Aldino seorang guru yang berwibawa dan pemaksa sedangkan Malati murid yang cerdas namun penurut sehingga menjadikan mereka kombinasi yang cocok.“Bude dan Eyang, kami berangkat,” ujar Aldino tampak masam, tak seperti biasanya. Ia langsung menggamit tangan Malati untuk ikut bersamanya.Eyang Waluyo hanya menatap dingin cucunya. Ia memang tak pandai berbasa-basi.“Al, Bude mau menginap di rumah Mas Dirga!” seru Bude Ratna sesaat mereka pergi. Malati masih bisa mendengar perkataan Bude Ratna. Ia merasa tak enak hati karena meninggalkan meja makan begitu saja. Namun hidupnya kini tergadaikan pada so
“Hei, beraninya kau ikut campur urusan orang?” seru salah satu teman Siska menatap Malati yang berdiri di hadapan mereka.Malati mencari mati.Leni-wanita yang dianggap mencuri kalung sampai menoleh padanya dengan tatapan yang berbinar. Ia lantas meminta teman yang lain untuk tidak meninggalkan kedai terburu-buru. “Tunggu! Mungkin anak ini melihat siapa pelaku yang menaruh kalung dalam tasku.”Leni berusaha membujuk kawan-kawannya, terutama Siska yang sudah ia anggap bestie. “Siska, please!” Ia mengatupkan ke dua tangannya di dada. Berharap semua percaya padanya.Siska dan teman-temannya yang lain lantas mengerumuni Malati seperti pasukan semut yang tengah mengerumuni gula merah.Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Untuk pertama kalinya Malati merasa diserbu kegugupan yang tinggi karena menjadi pusat atensi. Jantungnya juga berpacu kencang. Namun ini adalah kesempatan perdana baginya untuk menguak sebuah kasus sederhana. Bukankah Malati ingin sekali menguak kasus kematian
Tunggu?!Malati menyadari seseorang tengah menguntitnya. Dengan keahliannya berlari, Malati mengubah arah tujuan kepergiannya. Menyeret tubuh mungilnya, Malati memilih berbelok dan bersembunyi di balik salah satu rumah yang belum layak ditinggali. Rumah baru itu sudah berdiri kokoh tetapi belum dicat dan dipagari.Ia menundukan tubuhnya di balik gundukan pasir, sisa bangunan. Batinnya berisik, merapal doa. Semoga Aldino tak menyusulnya hingga menemukannya di sana.Meskipun sejujurnya ia agak gamang.Hidung Aldino yang mancung seolah bisa mencium aib para murid. Ia bisa mengendus sesuatu yang tak beres-terjadi pada anak didiknya tanpa harus berusaha sangat keras apalagi mencak-mencak!“Ya Allah, semoga Pak Aldino tidak bisa menemukanku. Amin,” ucap Malati menyandarkan punggungnya pada balok kayu yang tersusun rapi di balik gundukan pasir.Sisi lain, Aldino terus melebarkan matanya, mencari istri kecilnya yang menghilang begitu cepat.“Hem, Malati, awas kau! Aku akan mencari tahu siapa