Home / Romansa / Istri Yang Tak Dirindukan / Bab 6 Mendapat Bea Siswa

Share

Bab 6 Mendapat Bea Siswa

last update Last Updated: 2021-09-24 09:28:55

Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri. 

"Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.

Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya.

"Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk  Bu Helmi.

Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.

Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.

Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari peruntungan nasib. Ia berpesan agar menjaga kedua anaknya. Bagaimana saat itu aku melihat air matanya berurai membasahi pipi saat memeluk dan mencium ke dua buah hatinya sebelum berpamitan untuk berpisah.

"Dek Ay, jaga anak-anak dengan baik, ya selama Mas pergi!" ucapnya lirih.

Mata Mas Anan terlihat berkaca-kaca. Lambat-laun air mata itu jatuh membasahi pipinya.

Aku mengangguk pelan. "Iya, Mas."

Sebelum Mas Anan pergi aku menyalaminya dengan takzim. Mas Anan membalas dengan pelukkan salam perpisahan.

Dengan derai air mata ia mengecup keningku. Aku dan anak-anakku dengan berat hati melepas kepergiannya. Keinginannya begitu kuat untuk pergi merantau ke Jakarta mencari peruntungan nasib. Dari kerja serabutan berharap bisa berubah nasibnya menjadi seorang jutawan sukses.

"Ay, " Bu Helmi menyapaku dengan menepuk pundakku hingga membuyarkan lamunanku seketika.  "Ayo kita lanjutkan keliling mall untuk membeli mainan anak-anak dan keperluan yang lain."

Aku mengangguk pelan dan mengikuti langkah bu Helmi. "Iya, Bu."

Hal selanjutnya yang di lakukan Bu Helmi untuk menghibur Habib dengan menunjukkan beberapa mainan yang ada di mall itu.

Bu Helmi juga membelikan mainan mobil-mobilan yang belum pernah aku belikan untuk Habib. Sementara Nara dibelikan mainan boneka beruang kecil yang lucu.

Aku tersenyum kali ini, di tengah orang-orang yang menjauh karena kemiskinanku masih ada orang baik seperti Bu Helmi yang mau berbagi rezeki dan kasih sayang yang tulus.

Setelah mendapat semua kebutuhan yang di perlukan Bu Helmi juga mengajak kami makan di restauran yang ada dalam mall tersebut. Habib tersenyum riang saat mendapat makanan mewah. Ia makan dengan lahapnya hingga tidak menyisakan nasi sedikit pun di piringnya.

"Makan yang banyak, ya, Bib? Biar cepat besar dan jadi anak yang pintar," ujar bu Helmi.

"Makanannya enak, Bu. Habib, suka," cerocosnya.

mengunyah ayam yang dibalut tepung yang di namai kentucky fried chicken.

Aku hanya mengelus kepala Habib saat ia makan dengan lahapnya memakai menu ayam goreng populer yang di sukai banyak anak-anak.

Dadaku bergemuruh menahan sesak, ternyata bahagia itu sederhana membuat anak tersenyum. Memberi makan enak dan mainan itulah yang seharusnya di lakukan oleh para orang tua. Tapi, berbeda denganku. Keadaanlah yang memaksa tidak bisa melakukan itu semua.

"Pelan-pelan makannya, Nak! Jangan buru-buru, nanti bisa kesedak," ujarku.

"Iya, Bunda," sahut Habib berkata dengan makanan penuh di mulutnya.

***

Dalam perjalanan pulang kami semua terdiam tanpa berbicara satu sama lain. Habib dan Nara sudah tertidur dalam pangkuanku dengan perut yang kenyang.

Hari ini mereka tidak akan kelaparan karena di teraktir Bu Helmi dengan makanan yang enak. Mereka tidak akan makan singkong rebus di rumah karena Bu Helmi juga membelikan tiga kotak makanan yang berisi ayam kentucky yang dibeli dari mall tadi. 

"Ayi, maafkan, Ibu karena tidak memberitahukan padamu kalau sebenarnya suamimu ada di kota ini," sela bu Helmi membuka percakapan.

"Maksudnya?"

"Sebenarnya, Bapak dua hari yang lalu bercerita pada Ibu kalau suamimu ada di kota ini. Anan, juga akan membangun swalayan besar di pinggiran kota sebelah kampung kita dengan membeli tanah beberapa warga kampung."

Aku terperanga mendengar penuturan Bu Helmi.

"Jadi, Ibu sudah tahu kalau Mas Anan ada di kota ini?"

Bu Helmi mengangguk pelan. "Iya."

"Kenapa, Ibu diam saja tadi sewaktu, Habib hendak mengejar ayahnya."

"Ibu, tidak bisa menghalangi seorang anak yang ingin memeluk ayahnya. Di dunia ini hanya ada mantan suami atau istri, tapi tidak ada yang namanya mantan anak atau mantan orang tua," jelasnya.

"Tapi, Habib masih kecil, Bu. Belum mengerti keadaan. Alangkah baiknya bila tadi tidak bertemu dengan ayahnya," lanjutku.

Bu Helmi menarik napas panjang hingga terdengar desahannya. "Demi harta dan wanita suamimu tega berkhianat."

Aku terdiam mendengar ucapan Bu Helmi. Memang apa yang di katakannya sangatlah benar. Di dunia ini tidak ada yang namanya mantan anak atau mantan orang tua. Mas Anan sudah menyia-nyiakan darah dagingnya sendiri demi ambisinya mendapatkan kedudukkan tinggi dan terhormat.

Setiba di rumah,  mobil yang di kemudikan sopir pribadi Bu Helmi berhenti. Aku melihat Ustaz  Rahman sudah menunggu di depan rumah dengan duduk di atas motor meticnya.

Aku turun dengan menggandeng Habib dan membawa Nara dalam gendongan. Aku sapa Ustaz Rahman dengan mengucap salam.

"Asalamualaikum, Ustaz," ucapku.

"Waalaikumsalam," jawab Ustaz  Rahman.

Bu Helmi turun dari mobilnya. Ia menghampiri Ustaz  Rahman sembari membawakan barang belanjaan yang  dihadiahkan padaku.

"Eh, ada Ustaz Rahman. Apa kabar Pak Ustaz?" tanya Bu Helmi.

"Baik, Bu," jawabnya mengulas senyum.

"Ayi, Habib, ini barang kalian. Ibu, pamit pulang ya?" kata Bu Helmi sembari menyerahkan kantong plastik yang ia jinjing.

"Iya, Bu. Makasih ya, sudah ajak Habib, Adik dan Bunda jalan-jalan," ucap Habib.

Bu Helmi tersenyum ramah. "Iya, sama-sama."

Setelah itu ia membalikkan tubuhnya masuk ke mobil dan mengucap salam.

"Mari, Ustaz,  Ayi, Habib. Asalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam," jawab kami serempak. Mobil yang dinaikki Bu Helmi lambat-laun menghilang di balik tikungan.

Aku tidak menyuruh Ustaz Rahman masuk ke dalam karena takut menimbulkan fitnah. Kami hanya berdiri di depan rumah saja berempat.

"Maaf, Ustaz. Ada perlu apa datang ke sini?" tanyaku kemudian.

"Kami dari pihak sekolah sudah rapat bersama Dewan guru dan Kepala sekolah. Besok, Habib sudah bisa masuk sekolah kembali seperti biasa," jelasnya.

"Hore, besok Habib masuk sekolah kembali," sela Habib kegirangan.

Ia berjingkrak-jingkrak kesana-kemari mendengar kabar baik yang di sampaikan Ustaz  Rahman.

"Tapi, uang sekolah Habib belum  dilunasi, Ustaz," potongku.

"Pihak sekolah sudah meringankan biaya uang sekolah Habib dengan memberi biaya bea Siswa. Untuk uang sekolah yang menunggak tiga bulan aku sudah melunasinya secara pribadi," lanjut Ustaz Rahman.

Aku menarik napas panjang dan menghembuskan secara perlahan. "Maaf, Ustaz. Jadi merepotkanmu."

Ustaz  Rahman menggeleng pelan sembari tersenyum. "Tidak ada yang di repotkan, Ay. Habib, anak yang cerdas dan pintar, siapa pun akan tertarik untuk membantunya."

"Sekali lagi makasih, Ustaz.  Sudah membantu meringankan biaya sekolah Habib," tukasku.

"Sudah kewajiban sesama manusia tolong-menolong, Ay," sahutnya tersenyum. "Kalau begitu aku permisi pulang. Asalamualaikum."

Aku mengangguk. "Waalaikumsalam."

Kami bertiga mengantar kepulangan Ustaz Rahman sampai di pinggir jalan. Habib melambaikan tangan kepada Ustaz Rahman.

"Da ... Ustaz."

Ustaz  Rahman membalas dengan lambaian tangan kembali sembari tersenyum. Setelah itu motor yang di kenderainya melaju menyusuri jalanan desa hingga menghilang menjadi titik terkecil.

Setelah kepergian Ustaz Rahman kami bertiga masuk ke dalam rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika Habib berpamitan untuk pergi mengaji ke rumah Ustaz  Rahman sekaligus mengajari anak-anak yang lain.

Habib adalah anak yang cerdas dan juga pintar mengaji. Di usianya yang memasukki 11 tahun sudah bisa membaca Al-Qur'an dengan fasih dan juga merdu. Sering kali ia dipanggil mengisi pengajian para Ibu-Ibu kampung hanya untuk sekedar membaca Al-Qur'an. Biasanya untuk mengisi atau membuka pengajian ia akan dihadiahi makanan atau uang jajan ala kadarnya sebagai ucapan terimakasih.

"Bunda, Habib mau mengaji dulu, ya," pamit Habib.

Aku mengiyakannya dengan mengangguk. Ia pergi mengaji dengan memakai baju koko pemberian Mas Anan kemarin lengkap dengan pecinya.

"Hati-hati di jalan, Nak!" ucapku.

"Iya, Bunda. Asalamuaalaikum," ucapnya sebelum melangkah keluar rumah.

Tak lupa mencium tanganku sebelum berpamitan.

"Waalaikumsalam," jawabku melepas kepergiannya.

Habib melambaikan tangan padaku dan juga Nara saat berada di jalan. 

***

"Asalamualaikum," ucap Habib memberi salam ketika masuk ke dalam rumah Ustaz Rahman.

"Waalaikumsalam," jawab Ustaz  Rahman.

Anak-anak sudah berkumpul di dalam rumah Ustaz  Rahman dalam ruangan kusus yang disediakan untuk anak mengaji. Mereka berkumpul dan berbaris rapi dan tertib menghadap ke arah papan tulis. Sebelum mengaji Ustaz  Rahman akan terlebih dahulu memberikan materi tentang huruf-huruf hijaiyah.  Setelah selesai menjelaskan huruf hijaiyah maka akan di mulai pengajian. 

Habib mengajar anak-anak yang masih tahap iqro satu dan dua. Sementara Ustaz  Rahman akan mengajari anak yang lain dari tahap selanjutnya hingga sampai Al-Qur'an. Hingga menjelang isya baru akan selesai acara ngaji dan sholat isya bareng di rumah Ustaz Rahman.

Acara ngaji dan salat isya sudah selesai di laksanakan. Anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing dengan di jemput para orang tua. Kalau Habib sendiri tidak pernah aku jemput pulang dari rumah Ustaz Rahman karena ia selalu mengantarkan Habib pulang tepat waktu sehabis salat isya. 

Deru suara mesin motor berhenti tepat di depan rumah. Ustaz  Rahman datang dengan mengantar Habib pulang. Biasa ia akan pulang langsung setelah mengantar sampai depan rumah. Berbeda dengan malam ini, sengaja singgah karena akan memberi kabar baik. Dari wilayah propinsi akan mengadakan lomba MTQ. Ustaz Rahman ingin mengajukan Habib agar mengikuti perlombaan tersebut dengan hadiah besar.

"Asalamualikum," ucapnya sopan.

"Waalaikumsalam," jawabku sembari menyambutnya di depan pintu.

Aku tidak pernah mengizinkan Ustaz Rahman untuk masuk setiap kali berkunjung kerumah, takut menimbulkan fitnah.

"Ayi, aku punya kabar baik untuk Habib," ucapnya.

"Kabar baik apa Ustaz?" tanyaku penasaran.

"Wilayah sepropinsi dari seluruh Indonesia akan mengadakan lomba MTQ yang di adakan pada bulan depan nanti di kota DKI Jakarta. Aku berniat mendaftarkan Habib ikut lomba, agar dia bisa mengembangkan ilmunya," jelas Ustaz  Rahman.

"Tapi, aku tidak punya biaya untuk pergi ke sana, Ustaz," sahutku jujur.

Ustaz  Rahman tersenyum. "Kamu tidak usah kawatir masalah biaya. Jika, Habib lulus seleksi maka semua biaya akan di tanggung oleh pihak penyelenggara," lanjutnya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Ustaz  Rahman yang memilih Habib untuk mengikuti lomba MTQ tingkat propensi.

***

Bersambung.

Jangan lupa like dan komen ya guys. Kasih dukungan sama author.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Sudarti Darti
Ya Allah..masih ada kehidupan yg seperti ini.. rasanya pilu banget..hati terasa diiris-iris.sabar ya Habib..
goodnovel comment avatar
Wagirin
Dimana sekolah bayar, terus mengapa jarik dan baju sekolah Habib yg pudar warnanya tdk di belikan Bu Hilmi.. sebenarnya tanpa kita sadari di sekitar kita, banyak anak2 yg kurang beruntung seperti Habib..
goodnovel comment avatar
Nur Shilvana
sumpah pengen nangis baca ini, rasa dada ini mak serrr...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 102 Tamat

    Bab 102 TamatMendung bergelayut manja disertai hujan gerimis saat itu. Aku dan rombongan Ustaz Rahman tiba di pelabuhan. Tuan Saga dan anak buahnya memutuskan untuk berpisah. Mereka kembali ke asalnya. Kemudian, kita meminjam telepon seseorang untuk menghubungi pondok pesantren. Agar mereka menjemput di daerah dermaga. Sudah lebih dari satu bulan kami menghilang. Ketika menghubungi pihak pondok, mereka terkejut melihat kami bisa selamat sampai tujuan. Tak lama kemudian, Ustaz Dian dan rombongan Kyai Lukman datang menjemput. Sengaja tidak aku hubungi Habib dan Nara ingin membuat kejutan. Juga Syawal yang mungkin saat menghilang mengkhawatirkan keadaanku."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Ustaz Dian."Ustaz Rahman menyambut sahabatnya dengan penuh suka. Mereka saling berpelukan satu sama lain. Senang rasanya bisa melihat mereka lagi kembali akrab. "Aku tidak percaya kalian bisa kembali dengan selamat sampai di sini," ucap Ustaz Dian."Alhamdulilah. Berkata kemurahan yang di atas ka

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 101 Kembali ke Asal

    Bab 101 Kembali ke AsalAku mundur satu langkah ke belakang. Namun Jirayu masih mendekat hingga nyaris tidak ada jarak di antara kami. Malam ini, adalah malam pengantin kami sudah pasti dia meminta haknya sebagai suami. Dia menatapku dalam diam. Tatapan gelapnya terlihat sangat menakutkan seperti ingin membunuhku. Kemudian, aku menyapanya dengan suara bergetar."Apa yang akan Anda lakukan, Tuan Jirayu?"Saat itu, aku baru menyadari dia sudah membuka baju kebesarannya. Setengah tubuhnya sudah telanjang dan memperlihatkan dadanya yang kekar. "Kau harus mengganti bajumu. Atau kau akan tidur dengan pakain seperti Cleopatra?""Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Jirayu. Aku kira Anda tidak perlu begitu."Sambil mengatakan itu, Jirayu memberikan sebuah gaun baju tidur. Bahannya sangat halus seperti kain sutra. Namun tipis dan transparan bisa tembus pandang. Dia tentu sudah mempersiapkan semua ini untuk malam pengantin kami."Ha!" Jirayu tersenyum meremehkan. "Kenapa kau sangat tegang begi

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 100 Pernikahan

    Bab 100 Pernikahan Aku masih melihat tatapan Tuan Jirayu dengan penuh nafsu. Meski dia bukan pria yang berumur tua, namun membuatku merasa jijik. Tuan Jirayu berasal dari negeri Thailand, tetapi dia pemeluk agama islam. Dia membawaku ke negaranya. Berbagai pemandangan telah kulihat selama berada di negeri Gajah Putih. Dia memperlakukanku seperti seorang ratu di sini. Bukan berarti aku suka dengan sikapnya. Tuan Jirayu telah mempunyai istri enam. Dia bermaksud ingin menjadikanku istri yang ke tujuh. Saat itu, pesta iringan pengantin diadakan di aula untuk menyambut pengantin wanita."Ratu Panraya, Anda akan harus memakai mahkota ini untuk acara adat." Pelayan membawakan mahkota emas dan juga gelang berkepala ular. Melihat bentuknya yang unik, aku seperti berada di dalam dunia legenda masa silam. Gelang ular emas itu dari dinasti sebelumnya. Menurut pelayan akan diberikan kepada ratu ketujuh bila raja mereka berhasil menikah untuk yang ketujuh kalinya. Sialnya, aku adalah ratu terak

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 99 Tuan Jirayu

    Bab 99 Tuan JirayuJantungku berdetak dengan kencang. Ketika Tuan Saga membawaku ke sebuah bar. Di sana ada pria Thailand yang wajah mirip dengan artis Prin Supirat. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Kulitnya putih, hidungnya juga mancung. Matanya sipit mirip penduduk Korea. "Tuan Jirayu, saya bawakan wanita cantik untuk Anda. Silahkan sepuasnya untuk mengobrol dengannya."Pria bernama Jirayu tersenyum. Dia berbicara dengan Tuan Saga menggunakan bahasa Thailand. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan apa. Namun dari tatapan Jirayu, jelas dia punya niat tidak baik. Tatapan matanya liar penuh dengan nafsu. Dia memperhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Hei, kau. Tuan Jirayu menyukaimu. Beruntung sekali dirimu malam ini. Layani dia dengan baik. Kau akan menjadi ratu yang dimanjakan.""Tuan Saga, sepertinya kau memilih orang yang salah. Aku tidak sudi melayani pria mesum seperti Tuan Jirayu.""Kau pasti akan menyesal telah menolak tawaran Tuan Jirayu, Nyonya Ayi.""Mengapa

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 98 Bajak Laut

    Bab 97 Bajak LautKapal nelayan yang membawa kita langsung menuju ke tengah laut. Beberapa dari anak buah kapal memperhatikan kami dengan tatapan aneh. Namun Ustaz Rahman segera mencairkan suasana untuk meredakan ketegangan.Angin laut bertiup kencang, ombak setinggi dua meter menghantam kapal yang sedang kami tumpangi. Kapten yang memimpin anak buahnya segera melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, terlihat bendera putih dari negara lain. Di sebelahnya jelas, bendera milik negara Thailand. Sedikit terkejut dengan bendera yang berkibar di tengah lautan. Mengapa ada penyusup dari negara Thailand masuk ke perairan Utara. Aku melihat mereka seperti penyusup. Tapi siapakah yang sudah memberi peluang negara Gajah Putih. "Tuan Sadam, sepertinya itu kapal dari Thailand. Mereka sedang mendekat ke arah kita sekarang," ucap Ustaz Rahman. Mata Tuan Sadam langsung tertuju kepada dua kapal nelayan yang saling berjajar bersebelahan. "Ustaz Rahman, kau benar. Mereka adalah penyusup yang sering m

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 97 Kami Selamat

    Bab 97 Kami SelamatAngin laut melambai mempermainkan hijabku ke sana ke sini. Udara di bibir pantai terasa menusuk tulang. Aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Bibirku gemetar merasakan sakit yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. Namun kenapa harus mati di sini? Bagaimana nanti jika jasadku tidak bisa dikuburkan dengan layak. Aku masih berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan kami dari pulau kecil ini.Sudah beberapa hari kami bertahan di tempat ini. Namun tidak ada tanda-tanda kapal penyelamat akan datang. Ustaz Rahman sudah baikan dan sembuh dari luka-lukanya karena terhempas kapal. Kini, giliranku yang harus sekarat di tempat ini. Entah untuk berapa lama aku bisa bertahan. "Ayi, bertahanlah. Aku akan berusaha mencari bantuan di sekitar sini," ucap Ustaz Rahman berbisik. Samar aku mendengar suaranya penuh kekhawatiran. Beberapa saat aku terdiam, dan hanya bersandar pada pohon kelapa yang hampir rubuh. Lama menanti, tetapi dia tak kunjung kembali.

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 96 Seandainya

    Bab 96 Seandainya Hujan turun dengan deras di atas permukaan air laut. Prediksi mengatakan hari ini cerah. Namun entah kenapa tiba-tiba air laut menjadi pasang. Ombak bergulung-gulung setinggi empat meter menyapu sampan kecil yang kami tumpangi. Hingga pecah dan menenggelamkan penumpangnya. Kayu untuk mengayuh sampan ini tidak kuasa melawan arus. Meski dua tenaga orang dewasa sudah dikerahkan. Ustaz Rahman dan nelayan akhirnya harus menyerah. Membiarkan sampan terbawa arus dan pecah. Kami semua panik, terutama aku yang baru pertama kali menyeberang di lautan luas. Terbiasa hidup di darat membuatku tidak nyaman dalam situasi ini.Aku ingat Tuhan pada Sang Pencipta. Aku juga ingat pada masa laluku yang suram. Ketika hidupku bersama Anan. Aku berdoa di dalam hati, mudah-mudahan akan dikabulkan hingga doaku bisa menembus langit ketujuh. Sebelum ajal menjemputku, aku ingin melihat anak dan cucu. "Jangan panik, Ay. Aku akan menolongmu." Ustaz Rahman menggapai tanganku. Dia menggenggam y

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 95 Perjalanan

    "Bunda jadi berangkat ke Aceh?""Jadi, Nak. Ini kan kegiatan sekolah untuk study tour. Semua ustaz dan para guru akan menemani santri. Hanya murid kelas sembilan saja yang berangkat. Semuanya berjumlah enam puluh orang." Aku menjawab sambil menyusun pakaian ke tas ransel. Habib hanya terdengar menarik napas panjang ketika dia melihatku. Seolah sedang ada pikiran yang mengganggu jiwanya. "Aku tidak setuju sebenarnya melihat Bunda pergi ke sana." "Loh kenapa? Bunda kan pergi karena tugas. Bukan karena ingin jalan-jalan. Ini adalah kegiatan perpisahan murid-murid kelas sembilan. Tidak tiap bulan kita pergi.""Perasaan Habib kali ini tidak enak, Bun.""Sepertinya kamu harus banyak- banyak istigfar, Nak. Bunda tidak ingin kamu berburuk sangka dengan yang di atas."Habib hanya diam tak ingin melanjutkan debat lagi denganku. Alasan apa pun tidak akan bisa mencegahku untuk berangkat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan anak-anak. Mereka sudah menyelesaikan pendidikan tiga tahun di pondok pes

  • Istri Yang Tak Dirindukan   Bab 94 Malaikat Penolong

    "Astagfirullah!" Aku menjerit ketika sebuah mobil sedan menyerempet dari samping. Motorku langsung jatuh dan menabrak trotoar. Darah segar langsung mengalir dari kaki. Seorang pria dan wanita langsung turun menghampiri. Tapi yang membuatku terkejut adalah perempuan yang ada di sampingnya. Tak lain adalah Nurul. Dia dengan sombongnya melangkah mendekat, dan mencecar dengan kata-kata kasar."Hei kalau jalan pakai mata! Sudah tahu ini tempat umum, masih jalan pakai melamun." Cibirnya dengan nada tinggi."Maaf, ya? Aku sudah jalan di pinggir. Tapi mobil yang kalian kemudikan telah menyalip jalanku.""Tuh kalau orang miskin pasti cari-cari alasan untuk memeras orang kaya.""Ma, sudahlah. Jangan bertengkar di jalan. Ini tempat umum. Malu dilihat orang.""Perempuan miskin seperti dia memang harus diberi pelajaran, Pa. Biar gak kurang ajar minta biaya pengobatan dan biaya kecelakaan.""Aku rasa di sini aku yang jadi korbannya. Tapi kamu bukannya meminta maaf malah mencela.""Ha!" Nurul menc

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status