"Kau sungguh tidak apa-apa, Emily?" Morin bertanya untuk kesekian kalinya. Sungguh ia merasa tidak enak hati dengan perlakuan Ellard yang membuat gadis itu terjatuh.
"Terima kasih," sahut Emily begitu ia sudah berbaring di atas ranjangnya. "Entah kapan aku bisa berjalan dan tidak menyusahkanmu lagi," Emily mengulurkan tangannya ke udara yang dengan segera ditangkap oleh Morin.
Emily tersenyum, ia mengusap tangan Morin yang selama 5 bulan ini sudah menjaga dan merawatnya.
Morin menatap miris mendengar pernyataan Emily yang hanya menginginkan kesembuhan kakinya, tidak dengan penglihatannya.
"Sebentar lagi, kau pasti bisa berjalan, Emily. Kau seorang pasien yang sangat tangguh," Morin mengusap bahunya dengan lembut, memberi semangat pada wanita itu.
Morin mengetahui apa yang terjadi antara adiknya dengan Emily. Ia juga tahu betapa Ellard sangat membenci Emily dan berniat menjebloskannya ke dalam penjara. Dan selama lima bulan ini para wartawan dan pihak polisi selalu datang mengunjungi Emily. Emily tidak memberikan bantahan untuk membela dirinya sama sekali, wanita itu juga tidak menolak jika harus ditahan.
Morin masih mengingat dengan jelas, saat pertama kali polisi meminta kerja samanya. Emily tidak membantah sama sekali. "Jika tanggung jawabku dituntut atas kecelakaan yang terjadi aku tidak akan mungkar dari hal tersebut. Tapi lihatlah kondisiku sekarang, aku akan sangat merepotkan kalian dengan keadaanku ini," tukasnya yang membuat hati Morin merasa iba hingga ia melakukan permohonan kepada polisi agar menunda penahanannya sampai ia bisa berjalan setidaknya, karena untuk mencari donor mata untuk penglihatannya sedikit susah ditambah dengan situasi Emily, bahkan setelah 5 bulan, tidak satu pun keluarganya datang mengunjunginya.
Emily juga menolak untuk membahas keluarganya jika Morin menyinggung hal tersebut. Emily biasanya akan melakukan pengalihan pembicaraan. Bukan hanya tentang keluarganya, Emily juga menolak membahas prihal kecelakaan yang melibatkannya.
Morin juga ingin tahu cerita sebenarnya, di mana dari bukti yang ada semua memberatkan Emily. Dan kecelakaan itu membuat adiknya Ellard hampir kehilangan akal sehatnya. Ia memaklumi kemarahan Ellard, karena ia juga tahu melihat betapa adiknya sangat mencintai Naura.
Namun kebencian Ellard juga tidak mendorongnya untuk ikut serta membenci Emily. Ia dan suaminya mencoba bersikap netral dan realistis, di samping profesi mereka, Morin juga tidak bisa mempercayai serta merta apa yang diberitakan di televisi. Entah kenapa, ia menolak bahwa Emily adalah wanita cantik berwujud iblis seperti yang dituduhkan Ellard pada wanita itu.
"Ya, aku ingin segera cepat berjalan. Aku khawatir para pasien di rumah sakit ini ikut terganggu dengan kedatangan para wartawan dan polisi yang sepertinya sangat rajin mengunjungiku," tukasnya dengan senyum tipis. "Mungkin pemiliknya juga sudah merasa jenuh dan ingin agar aku agar segera dikeluarkan dari sini," imbuhnya lagi yang membuat Morin tersenyum tipis. Emily memang tidak mengetahui bahwa suami Morin lah pemilik rumah sakit tempat ia dirawat. "Kau sangat baik, mau merawatku begitu saja. Terima kasih, Morin."
"Itu sudah tugasku sebagai Dokter," Morin mengusap punggung tangan Emily yang masih menggenggam tangannya.
"Apa saat kau masuk, kau melihat seseorang di sini, di ruanganku?" tanya Emily. Dan percayalah selama 5 bulan dalam perawatan Morin, wanita itu baru mau berbicara padanya satu bulan terakhir ini. Selama empat bulan lamanya, Emily memilih bungkam setiap ada yang mengajaknya berbicara. Tadinya ia dan suaminya mengira ada yang salah dengan pita suaranya. Dan sekalinya ia berbicara saat ia tidak melakukan bantahan atas tuduhan yang ditujukan padanya. Ia bahkan mengatakan tidak keberatan jika dirinya harus ditahan.
Morin manarik napas panjang mendengar pertanyaan Emily. Apa yang harus ia jawab sekarang. Haruskah ia mengatakan itu adalah Ellard, calon suami korban yang meninggal dalam kecelakaan yang menimpa mereka.
"Jam berapa aku harus bertemu dengan dokter Jovan? Aku ingin cepat bisa berjalan."
"Mereka akan membawamu ke tahanan begitu kau bisa berjalan," Morin mengingatkan. Dan ia sedikit bersyukur bahwa Emily tidak menuntut jawaban atas pertanyaannya tadi.
"Aku pantas mendapat hukuman," sahutnya dengan nada getir. Dan hal yang membuat Morin kagum pada sosok di hadapannya ini adalah Emily yang mampu merubah raut wajahnya dalam hitungan detik. Emily tidak ingin orang lain melihat kesedihannya dan tidak ingin orang lain menaruh simpati atau kasihan terhadapnya.
"Tadi aku juga mendengar suara dokter Jovan. Apa aku salah mendengar?"Morin menggelengkan kepalanya, "Tidak," sahutnya dengan segera begitu sadar Emily tidak akan melihat gelengan kepalanya. "Kau tidak salah mendengar. Tadi dia memang ada di sini dan segera pergi karena kedatangan seorang tamu yang menyebalkan," sahut Morin dengan wajah kesal. Ellard memang menyebalkan.
"Sepertinya tamunya memang menyebalkan, aku bisa merasakannya dari nada suaramu,"
"Dia pria tampan yang sangat menyebalkan tapi juga menyedihkan," timpal Morin dengan nada getir. Sungguh ia juga sangat prihatin dan kasihan pada nasib hidup adik satu-satunya itu.
"Dia pasti pria yang sangat baik,"
Morin tercengang mendengar pernyataan ringan yang keluar dari mulut Emily. Apakah ia akan mengatakan hal yang sama jika tahu bahwa seseorang yang sudah mempermainkannya beberapa menit yang lalu tidak lain adalah Ellard.
Tok.Tok.
Terdengar ketukan membuat Morin menoleh ke arah pintu masuk. Dua pria yang sangat berarti dalam hidupnya kini berdiri di ambang pintu. Morin tersenyum manis ke arah Jovan dan ekspresinya seketika berubah begitu tatapannya ia alihkan pada adiknya, Ellard. Morin mendelik kesal yang disambut Ellard dengan dengkusan wajah datar tanpa ekpresi.
Jovan dan Ellard berjalan masuk, mendekat ke arah mereka. Morin segera memberikan tatapan peringatan pada Ellard agar tidak berbuat macam-macam. Elllard tidak menggubrisnya sama sekali. Ia menyoroti dengan tajam wanita yang sedang berusaha untuk duduk dari pembaringannya.
"Dokter Jovan sudah datang?" tanyanya.
"Ya, Emily, aku di sini. Apa kau siap untuk berlatih berjalan?"
Emily menganggukkan kepalanya dengan sangat antusias membuat Ellard yang melihatnya merasa muak. Rahangnya seketika mengeras. Wajahnya merah padam menunjukkan emosi nyata tatkala Emily menyunggingkan senyum tipis.
"Aku berharap bisa berjalan secepatnya, Dok."
"Baiklah, ayo kita lakukan." Jovan menarik kursi roda milik Emily dan segera membantu wanita itu turun dari ranjangnya. Emily berdiri sempurna dengan bantuan Jovan. Emily bertumpu pada tubuhnya.
Jovan mengulurkan sebelah tangannya untuk menarik kursi roda yang letaknya tidak pas. Tangan pria itu tidak berhasil menjangkaunya karena Ellard dengan entengnya mendorong kursi tersebut dengan kaki panjangnya yang refleks membuat Jovan bergerak untuk menggapai kursi tersebut sehingga membuat Emily kehilangan pegangan dan keseimbangan. Ia terjatuh dan hampir saja mencium lantai jika Ellard tidak sigap menahan tubuhnya.
Ya, refleks Ellard mengulurkan tangan menyelamatkan wnaita itu.
"Te..terima kasih," ucap Emily dengan wajah sedikit pucat karena panik.
"Tidak semudah itu," desis Ellard yang terdengar seperti gumaman. Ellard segera menarik kasar tangannya, alhasil Emily terjatuh dengan dagu yang mencium lantai marmer rumah sakit.
"Akh!" ringisnya.
"Apa yang kau lakukan?!" sentak Morin dengan memukul keras lengan adiknya.
"Tanganku licin," tukasnya dengan enteng lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Wueekk!" Emily memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat pasi, seakan menahan sakit yang luar biasa.Ellard pun terbangun begitu mendengar Emily muntah. Dengan sigap ia berlari ke dalam toilet."Kau baik-baik saja?" tanya Ellard penuh khawtir. "Wajahmu pucat. Apa kau memakan sesuatu yang salah?"Emily mengernyit, menatap bingung ke arah Ellard melalui cermin besar yang ada di hadapannya."Aku suamimu, kita sudah menikah beberapa tahun," jelas Ellard sebelum Emily sempat bertanya."Aku merasa mual," adu Emily dengan wajah meringis menahan sakit."Akan kupanggil Morin untuk memeriksa," Ellard pun menuntun Emily ke luar dari dalam toilet. Ia juga membantu Emily untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang lalu mengambil ponse untuk menghubungi saudarinya -Morin."Emily mual dan muntah. Tolong kau periksa dia," ucap Ellard to the point begitu panggilannya terhubung. "Sekarang juga!" imbuhnya penuh tekanan."M
Emily melihat jam tangannya. Pukul 16.01. Belum waktunya pulang jam kantor tapi Ellard sudah berada di kamar mereka."Kau pulang cepat hari ini?" Emily berjalan mendekat ke arahnya.Ellard mengangguk sambil tersenyum. "Mulai hari ini aku akan bekerja dari rumah," menarik Emily agar duduk di atas pangkuannya."Kenapa?""Perusahaan membosankan. Kau juga selalu ingkar janji. Tidak pernah datang tepat waktu," Ellard mengecup tengkuk Emily.Emily hanya diam karena tidak tahu harus memberi reaksi seperti apa."Apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Emily mengalihkan topik."Aku sedang mencari fotoku yang paling keren," sahut Ellard sembari menunjukkan layar laptopnya."Untuk apa?" tanya Emily dan mulai memperhatikan satu persatu foto Ellard."Aku akan memajangnya di kamar kita. Di setiap sudut ruangan." Ellard menatapnya teduh. Kembali perasaan berkecamuk menghampirinya. Pembicaraan Emily dan Frans kini terdengar jelas di telingan
"Aku akan datang membawakan makan siang untuk kita," Emily berjinjit dan mendaratkan satu kecupan hangat di pipi kanan Ellard."Aku sudah memasukkan nomorku di ponselmu. Segera angkat teleponku jika aku menghubungimu," Ellard mengusap lembut kepala Emily.Sesungguhnya ia tidak ingin meninggalkan Emily disaat benaknya menyisakan banyak tanya yang menuntut jawaban ada apa gerangan yang terjadi dengan istrinya.Kejanggalan-kejanggalan sikap Emily sangat mengusiknya. Jika mengikuti kata hatinya, ingin rasanya ia membawa Emily ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.Ellard sebenarnya sudah memiliki dugaan-dugaan atas apa sebenarnya yang sedang dialami Emily. Apa pun itu sesungguhnya ia tidak peduli. Hanya saja yang ia khawatirkan hal itu bisa melukai dan menyakiti Emily. Sungguh ia tidak akan sanggup lagi untuk melihat Emily terluka. Untuk itu lah ia juga menahan diri agar tidak bertanya secara terang-terangan kepada Emil
"Argghhhhh!!" teriakan Emily sontak saja membuat Ellard terbangun dari tidur nyenyaknya."Ada apa, sayang?" Ellard menatap Emily khawatir. Apa gerangan yang membuat Emily histeris di pagi hari. Ya, Ellard melirikkan mata ke arah nakas dan melihat jam weker yang menunjukkan jam 05.30."Apa kau mengalami mimpi buruk?" mengulurkan tangan berniat untuk memeluk dan menenangkan Emily.Plak!Emily dengan kasar menepis tangan Ellard dan baru lah pria itu menyadari cara Emily menatapnya begitu berbeda. Seperti orang asing yang takut melihat keberadaannya."Emily?" panggil Ellard penuh hati-hati, tapi jangan tanya jantungnya yang memompa, berpacu lebih cepat. Ke mana tatapan teduh yang selalu Emily tunjukkan padanya selama ini. Apakah Emily mulai berubah fikiran. Pertanyaan demi pertanyaan menyerang batinnya, membuat perasaannya semakin tidak menentu."SIAPA KAU?! KENAPA KAU ADA DI KAMARKU?!"Butuh beberapa d
“Selamat datang!” Emily merentangkan kedua tangannya menyambut kepulangan Ellard.Mendapat sambutan ceria dari Emily, Ellard mengulum senyumnya. Segera meletakkan tas kerjanya, Ellard pun membawa Emily ke dalam pelukannya. “Kau sangi sekali,” bisik Ellard dengan nada menggoda.“Aku sengaja melakukannya untuk membuatmu senang. Apa kau terhibur? Aku berdandan untukmu,” seru Emily dengan wajah merona.Perasaan Ellard dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Tadinya ia menolaj untuk bekerja dalam waktu dekat. Namun Emily terus saja membujuknya, dengan syarat akan sering mengunjungninya ke kantor. Baru hari pertama bekerja, Emily sudah mengingkari janjinya. Ellard menantikan kedatanganya namun istrinya tak kunjung datang. Ia uring-uringan tidak jelas. Mencoba menghubungi telepon rumah, namun istrinya tidak berada di sana membuatnya semakin galau.Namun begitu melihat sambutan Emily yang manis, kegalau
“Apakah kita akan tinggal di sini?” tanya Ellard begitu mereka kembali ke dalam kamar. Ellard masih merasa tidak nyaman jika berlama-lama duduk bersama Rebcca. Beruntung Morin dan Jovan ada jadwal operasi sehingga mereka segera pergi setelah sarapan.“Apa kau keberatan?” Emily yang merapikan tempat tidur menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Ellard yang duduk manis di sofa seraya memperhatikannya.“Aku tidak keberatan, hanya saja kita juga memiliki rumah,” Ellard beralasan. Faktanya ia memang tidak menyukai harus tinggal di dalam satu atap bersama Rebecca.“Rumahnya sudah kujual,” cicit Emily dengan wajah memelas.Ellard mengerjap, mencoba mencerna kalimat yang baru saja dicetuskan oleh Emily.“Apa kau mengatakan bahwa kau sudah menjual rumah kita, sayang?”Emily menganggukkan kepala, “Aku sudah pernah mengatakan bahwa aku kesepian. Rumah itu selalu