Dita tidak menyerah begitu saja, Dita mencoba bersabar dan mengabaikan perangai buruk mertuanya. Dengan berat hati Dita ke dapur dan memasak seadanya dengan air mata yang mengalir di pipinya.
“Kamu itu dari dulu memang bukan mantu yang ibu inginkan. Entah kenapa Rizal mau menikahimu. Wanita tidak berpendidikan dan tidak memiliki karir. Bodoh sekali.” Dita hanya menahan isakan dan rasa sesaknya di dada. Ia kira dengan mengalihkan diri memasak, bisa menghentikan hinaan dari mertuanya.
“Selama ini kamu tuh hanya dianggap budak saja. Tidak lebih. Apalagi kamu anak yatim piatu. Malu ibu kalau harus mengenalkan kamu ke luar sana.”
“Maaf bu..” gumam Dita sambil mematikan kompornya. Dita tidak sempat lagi merasakan masakannya, karena rasanya dia sudah lelah dan muak mendengar mertuanya menjelek jelekan dirinya.
“Sudah sana ke kamar. Ibu lapar! Ibu udah enek liat muka kamu di rumah ini.” Dita pun bergegas ke kamar dan menutup pintu kamar. Dita menatap ke foto pernikahannya dengan Rizal di atas tempat tidur. Ia kira Rizal lah pangeran berkudanya yang bisa membuat hidupnya bahagia, ternyata ia salah.
Prangg!!
“DITAAA!!!” Suara menggelegar terdengar dari arah dapur, Dita segera kembali ke dapur dan melihat pecahan piring tersebar dimana mana.
“Ada apa bu?”
“Ada apa, katamu? Kamu cobain sana masakan kamu! Asin banget! Kamu mau buat saya, hipertensi dan mati ya? Dasar mantu, gak tahu diuntung! Udah numpang tinggal, masak aja gak bisa! Apa si yang becus dari kamu?” Dita mengambil sendok dan mencicipinya. Benar saja, rasa masakannya begitu asin. Dita pun segera mengambil pecahan beling yang tersebar itu pelan pelan.
“Setelah merapihkan pecahan beling ini! Cepat beli makan malam! Nanti Rizal kelaparan!” Terdengar suara langkah kaki datang.
“Kok berantakan si bu dapurnya?” tanya Rizal dengan suara tidak bersalahnya.
“Itu loh istri kamu Zal! Masak aja gak becus. Asin banget. Dia kayanya mau buat ibu mati deh!” Cibir Bu Salim. Rizal memandang Dita tajam.
“Kamu ini! Udah aku kasih makan, tempat tinggal masih aja gak bener.”
“Pantes lah Dita, kalau suami kamu malah selingkuh sama perempuan lain.” Dita mengepal tangannya kencang, menahan rasa marah dan sedihnya yang menjadi satu.
“Kamu itu sudah banyak yang ‘pakai’ kan di luar sana? Makanya aku gak sudi menyentuh kamu!” bentak Rizal.
“Kamu main dukun kan, buat ngegoda Rizal?” sergah Bu Salim dengan menunjuk wajah Dita yang sedari tadi menunduk.
“Gak begitu bu…” Dita menatap Rizal, berharap suaminya itu bisa membelanya. Tapi, itu hanyalah harapan kosong.
“Gini nih kalau ngobrol sama orang miskin gak berpendidikan! Jadi susah!” Usai mengatakan itu Bu Salim meninggalkan Dita yang terduduk lemas. Semua tenaga dan pikirannya rasanya sudah habis terkuras hari ini.
Dita kembali masuk ke kamarnya dan mendapati suaminya duduk di kasur, sibuk memainkan ponselnya.
“Mas…” panggil Dita lemah.
“Apalagi si? Kamu jangan tidur di sini! Sofa aja sana! Aku gak mau sekamar sama kamu!” Dita menggelengkan kepalanya.
“Mas, apa tidak ada rasa bersalah sedikitpun, setelah kamu berselingkuh dengan wanita lain?”
“Cih! Buat apa aku menyesal? Jelas Liza lebih cantik, pintar, punya masa depan! Bukan yang tiap hari bau dapur kayak kamu.”
“Tapi, aku mencoba menjadi istri yang baik untuk kamu mas.”
“Banyak omong kamu Dita! Sejak kapan, kamu berani membantah omonganku! Istri itu harus tunduk dengan suaminya!” Sebuah tamparan melayang ke pipi Dita. Dita duduk tersungkur.
“Pergi kamu dari rumah ini! Buat apa lagi kamu bertahan di rumah ini?? Tidak ada gunanya!”
“Mas… Jangan seperti ini..” Rizal memasukan baju secara kasar ke dalam tas dan menarik Dita kasar keluar rumah. Rizal melemparkan tas Dita keluar dan mendorong kasar tubuh Dita.“Jangan pernah kembali ke rumah ini!”
“Kamu di sini cuma jadi benalu!” tambah bu Salim dan menutup pintu kayu dengan kasar.
Dita mengelap bibirnya dengan serbet yang halus. Matanya melirik ke arah Dika. Dika, dengan wajah tenangnya, sedang meneguk jus dengan tenang, seperti tak terlalu banyak pikiran yang mengganggunya."Ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan malam ini, Pak Dika?"Dika membalas senyuman Dita dengan santai, kemudian berkata, "Ya, sebenarnya ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan. Salah satunya adalah tentang peningkatan gaji untukmu."Sorot wajah Dita berubah, pipinya sedikit kemerahan."Tapi, saya baru bekerja di sini selama lima bulan, Pak," ujarnya dengan nada yang masih mencerminkan rasa tidak percaya.Dika tertawa ringan."Ya, tapi peranmu di sini sungguh berarti bagi perusahaan kita, Dita. Kamu telah berkontribusi besar dalam meningkatkan penjualan barang-barang kita dalam sebulan terakhir."Senyuman merekah di wajah Dita, dia merasa bangga dan dihargai."Terima kasih, Pak Dika. Say
Dita melangkah mundur, memandang dua potongan pakaian yang telah ia pilih. Blus lavender dengan leher tinggi dan rok hitam panjang yang merayap ke lantai. Ia memutuskan untuk mencoba kombinasi itu. Saat ia mengenakan pakaian tersebut, Dita merasa seperti bintang yang bersinar di langit malam.Kemudian, ia memeriksa dirinya di cermin.Blus satin melingkari lehernya dengan lembut, memberikan sentuhan romantis. Rok hitam panjang menyorot anggunnya, menciptakan siluet yang mempesona. Dita tersenyum puas, namun kegelisahannya masih menyelinap di dalam hatinya.Dia membuka lemari lagi dan melirik dress hitam yang selalu menjadi andalannya. Meski sederhana, dress itu selalu berhasil menonjolkan kecantikan alaminya. Setetes keringat dingin mengelilingi keningnya saat dia memutuskan untuk tetap dengan pilihan pertamanya.Ponsel Dita berdering dengan lembut, menciptakan getaran kecil di udara. Pandangannya langsung tertuju pada ponsel yang tergeletak di a
Dita bangkit dengan cepat, seraya mencoba menjelaskan bahwa itu adalah kebetulan dan dia hanya mencoba merapikan uang yang jatuh. Namun, sorakan dan bisikan-bisikan di antara rekan-rekannya semakin memperparah keadaan.Meskipun Dita berusaha membela diri, tuduhan itu membuatnya terlihat bersalah di mata sebagian besar teman kerjanya. Liza, dengan senyuman licik di wajahnya, memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Dita lebih dalam lagi."Tidak bisa! Kalau harus berbicara dengan bos mengenai hal ini," ucap salah satu rekan kerjanya dan melaporkan situasi itu kepada bos mereka.Dengan wajah yang berat, Dika memanggil Dita ke dalam ruangan kecil tempatnya biasa mengurus berbagai masalah karyawan. Dita mengikutinya dengan langkah gemetar, hatinya penuh rasa gelisah. Ruangan itu terasa begitu kecil dan udara juga terasa lebih berat dan sesak.Dika duduk di meja kecilnya, menatap Dita dengan tatapan penuh pertanyaan. Sejenak, ruangan itu hanya diisi dengan suara langkah dan detik-detik wak
"Lihat, dia mengambil uangnya! Dia mencuri dari mesin kasir!"Dita bangkit dengan cepat, seraya mencoba menjelaskan bahwa itu adalah kebetulan dan dia hanya mencoba merapikan uang yang jatuh. Namun, sorakan dan bisikan-bisikan di antara rekan-rekannya semakin memperparah keadaan.Meskipun Dita berusaha membela diri, tuduhan itu membuatnya terlihat bersalah di mata sebagian besar teman kerjanya. Liza, dengan senyuman licik di wajahnya, memanfaatkan kesempatan untuk menjatuhkan Dita lebih dalam lagi. "Tidak bisa! Kalau harus berbicara dengan bos mengenai hal ini," ucap salah satu rekan kerjanya dan melaporkan situasi itu kepada bos mereka.Dengan wajah yang berat, Dika memanggil Dita ke dalam ruangan kecil tempatnya biasa mengurus berbagai masalah karyawan. Dita mengikutinya dengan langkah gemetar, hatinya penuh rasa gelisah. Ruangan itu terasa begitu kecil dan udara juga terasa lebih berat dan sesak.Dika duduk di meja kecilnya, menatap Dita dengan tatapan penuh pertanyaan. Sejenak, r
Tidak terasa Dita sudah bekerja selama 3 bulan di Super store. Dita membawa banyak hal baik. Karena kesungguhannya dalam bekerja. Dika duduk di ruangannya, terfokus pada layar komputer yang menampilkan hasil penjualan bulan ini. Senyumnya mengembang, penuh kepuasan. Sejak kedatangan Dita ke perusahaan, tampaknya ada perubahan positif yang terjadi, terutama dalam pencapaian penjualan. Penghasilan bulan ini menunjukkan peningkatan yang signifikan, dan Dika tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia merasa bangga atas kontribusi Dita dan tim marketing dalam mencapai pencapaian tersebut. Dari sanalah Dika memutuskan untuk berbicara langsung dengan Dita, seakan tak bisa menahan hasratnya untuk memberi apresiasi. Tanpa ragu, dia meninggalkan ruangannya dan menuju ke lokasi supermarket. Semua karyawan terkejut melihatnya, tetapi Dika dengan tegas mengatakan bahwa dia hanya ingin berbicara dengan Dita pada saat ini. Bertemu di tengah ruangan, Dika melihat Dita. "Tolong, ikut aku sebe
Setelah beberapa kali telfon itu diabaikan, sebuah pesan masuk. "Baguslah kamu pergi dari rumah ini.. Dasarnya kamu memang hanya sebuah beban saja di sini! Memang menjadi liar itu kan keinginanmu!" Dita membaca pesan itu dengan mata sedih. Teganya Rizal mengiriminya pesan seperti itu, mereka seperti orang asing yang tidak pernah dipersatukan oleh pernikahan. “Kenapa Dit?” tanya Dika membuyarkan lamunan Dita. Dita memasukan ponselnya ke dalam tas. “Gak ada apa apa, ini ada penawaran pinjaman uang.” “Kamu lagi butuh uang?” “Engga, tabungan saya masih ada kok.” Dita turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih. Dalam hati Dita, berharap kalau ia bisa diterima kerja di tempat Dika dan menyusun hidupnya kembali. ** Dita terbangun karena suara dari ponselnya, Dita mengecek pesan masuk yang memang ia sudah nantikan.“Selamat kepada kandidat Dita. Silakan mulaI bekerja hari ini pukul 10.00 pagi.” Dita bergegas bangun dan bersiap siap berangkat kerja. Dita yakin ini adalah permulaan bai