Share

Jatuh Terlalu Jauh
Jatuh Terlalu Jauh
Author: Win

Pertemuan Pertama

Truk bercampur lumpur pada ban yang kupakai telah kuparkir di samping rumah yang sedang berpesta itu. Tidak ada mobil mahal disini. tempat ini paling tidak memuat setidaknya 20 mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk. aku memarkir truk tua berusia 15 tahun milik ibuku di lapangan berumput, jadi aku tidak akan menghalangi siapa pun. ayah tidak bilang padaku kalau malam ini dia akan mengadakan pesta. Dia tidak bicara banyak padaku.

Dia juga tidak hadir pada pemakaman ibu. Jika aku tidak butuh tempat tinggal, aku tidak mau berada disini. aku sudah menjual rumah mungil yang  ditinggalkan nenekku untuk membayar tagihan akhir dari biaya pengobatan ibu. Yang tersisa hanyalah baju dan truk ini. Menelpon ayahku, setelah dia tidak pernah datang walaupun hanya sekali selama 3 tahun, ibuku berjuang melawan penyakit kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah satu-satunya keluarga yang aku miliki.

Aku menatap pada rumah besar 3 lantai yang mengarah langsung pada pasir putih pantai Kuta, Bali. Ini adalah rumah baru ayahku. Keluarga barunya. Aku tidak cocok hidup disini.

Pintu trukku tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, aku meraih pistol dan mengayunkannya, mengarahkannya pada penyusup itu, memegang senjata itu dengan kedua tanganku siap untuk menarik pelatukknya.

"Whoa.. Aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan padaku asalkan jauhkan senjata itu." Seorang pria dengan rambut coklat berdiri di sisi depan senjataku dengan kedua tangan terangkat dan mata yang melebar.

Aku menatapnya bingung dan tetap mengancungkan senjataku. Aku masih tidak tahu siapa pria ini. "Tidak, kupikir aku tidak tersesat. Apakah ini rumah Azri Adira?"

Pria itu menelan ludah dengan gugup. "Uh, aku tidak bisa berpikir jika senjata itu masih diarahkan ke wajahku. Kau membuatku sangat gugup. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum terjadi kecelakaan?"

Kecelakaan? Benarkah? "Aku tidak mengenalmu. Diluar gelap dan aku di tempat asing, sendirian. Jadi maafkan aku jika kau tidak merasa nyaman saat ini. Kau bisa mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi kecelakaan. Aku bisa memakai senjata dengan sangat baik."

Pria itu kelihatannya tidak percaya padaku dan sekarang setelah aku melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun aku belum siap untuk menurunkan senjataku.

"Azri?" Dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan kepalanya kemudian berhenti. "Tunggu, Om Azri adalah ayah tiri baru Rudy. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Tante Diva pergi ke London."

London? Rudy? Apa?  Aku menunggu penjelasan lebih tetapi pria itu terus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. aku menurunkan senjataku dan memastikan mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum menyimpan senjata di bawah kursiku. Mungkin dengan begitu pria ini bisa fokus dan menjelaskan.

"Kau punya surat ijin untuk memliki senjata?" Tanyanya ragu.

Aku sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjataku. Aku butuh jawaban.

"Azri Adira di London?" Tanyaku. Dia tahu akan datang hari ini. Kami sudah membicarakannya beberapa minggu yang lalu setelah aku menjual rumah.

Pria itu mengangguk pelan dan bersikap santai. "Kau mengenalnya?"

Tidak juga. Aku menemuinya 2 kali sejak dia meninggalkan ibuku dan aku 5 tahun yang lalu. Aku ingat ayah datang ke pertandingan bulu tangkisku dan memanggang ikan di luar rumah untuk kami. Ayah yang selalu aku miliki hingga hari ini dimana saudara kembarku Freya tewas dalam kecelakaan. Ayahku yang mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Pria yang tidak menelponku untuk memastikan aku baik-baik saja sementara aku menjaga ibuku yang sakit, aku tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.

"Aku putrinya, Aileen."

Mata pria itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke belakang dan tertawa. Apakah itu lucu? "Ayo Aileen, aku ingin kau bertemu dengan seseorang, Dia akan menyukaimu."

Aku menatap tangannya dan meraih tasku.

"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu? Haruskah aku memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada menggoda di suaranya menjauhkanku dari berkata kasar.

"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk, Aku ketakutan."

"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengancungkan senjata pada seseorang? Dari mana asalmu? Kebanyakan gadis akan menjerit atau semacamnya."

Kebanyakan gadis tidak terpaksa melindungi dirinya hampir selama 3 tahun. Aku punya seorang ibu yang sakit untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun yang menjagaku. "Aku dari Karangasem." jawabku dan melangkah keluar dari truk.

Angin sepoi pantai membelai wajahku dan bau asin dari laut terasa begitu nyata. Aku belum pernah melihat laut sebelumnya. Paling tidak belum secara langsung. Aku melihatnya di film. Tapi baunya, bena-benar seperti apa yang aku harapkan. Aku pergi kebelakang truk untuk mengeluarkan koper dan sebuah kotak kardus.

"Sini biar aku saja." Ia berjalan mengitariku kemudian meraih koper besae ibuku di bagasi truk yang tersimpan di lemarinya untuk 'perjalanan jauh' yang tidak pernah kami lakukan. Dia selalu berbicara tentang bagaimana kami akan mengemudi dan kemudian menuju pantai suatu hari nanti. 

"Terima kasih, uh.. aku belum tahu namamu."

Pria itu menarik koper keluar kemudian berpaling padaku. "Apa? kau lupa untuk bertanya setelah kau mengarhakn senjata padaku?"

Aku mendesah.

"Aku Jafin. teman Rudy."

"Rudy?" Nama itu lagi. Siapa dia?

Jafin tersenyum lebar. "Kau tidak tahu siapa dia?" Dia benar-benar gembira. "Aku sangat senang kau datang malam ini." Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah. "Ayo aku akan memperkenalkanmu."

Aku berjalan disampingnya saat dia membawaku menuju rumah. Musik dalam rumah itu begitu keras saat kami mendekat. Jika ayahku tidak ada disini, lalu siapa disana? Aku tahu Diva adalah istri barunya tetapi hanya itu saja yang aku tahu. Apakah ini pesta anaknya? Berapa usia mereka? Ayah tidak  memberitahuku dengan jelas, dia hanya bilang aku akan menyukai keluarga baruku tetapi dia tidak bilang siapa keluarga baru itu.

"Jadi, Rudy tinggal disini?" Tanyaku.

"Ya, dia tinggal disini, saat musim panas. Dia pindah ke rumahnya yang lain sesuai musim berganti."

"Rumahnya yang lain?"

Jafin tertawa. "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga baru ayahmu kan?"

Aku menggelengkan kepala.

"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan." katanya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menatapku. "Rudy Adhitama adalah kakak tirimu. Dia adalah anak tunggal dari artis terkenal  Kenzo Adhitama. Orang tuanya tidak pernah menikah. Ibunya, Tante Diva adalah salah satu penggemarnya saat itu.Ini rumahnya. Ibunya bisa tinggal disini karena dia mengijinkannya." Jafin berhenti dan melihat ke belakang pintu da membukanya.

Seorang cewek tinggi, berambut pirang strawberry yang seperti baru saja di cat, langsing memakai gaun mahal pendek berwarna biru dan sepasang heels yang jika aku mencoba untuk memakainya akan mematahkan leherku berdiri menatapku. Aku tidak mengenal orang seperti ini tapi aku tahu tempat belanja bajuku bukanlah sesuatu yang dia datangi.

"Well, halo Grizelle." Sapa Jafin.

"Siapa dia?" Gadis itu bertanya, mengalihkan pandangannya pada Jafin.

"Teman, Hapus ancaman dari wajahmu G, itu terlihat tidak cocok untukmu." Jawabnya dan meraih tanganku, mendorongku masuk kedalam rumah.

Ruangan itu tidak seramai yang aku bayangkan. saat kami melewati ruang tamu yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung mengarah ke tempat yang aku kira adalah ruang tengah. Meskipun begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirku atau rumah yang pernah menjadi rumahku.  2 pintu kaca berdiri dengan pemandangan laut yang mempesona. Aku ingin melihatnya lebih dekat.

"Sebelah sini."Ajak Jafin sambil berjalan menuju sebuah bar. Bar? Yang benar saja? Ada bar di dalam rumah?

Aku menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti saat itu juga dan menatapku sekilas.

"Rudy, kenalkan Aileen. Aku yakin dia adalah milikmu. Aku menemukannya di luar dan terlihat sedkit tersesat." Ucap Jafin dan aku mengalihkan tatapanku dari kumpulan orang-orang untuk melihat siapa itu Rudy.

Oh. My.

"Oh ya?" Jawab Rudy dengan malas dan maju dari posisi santainya di sofa dengan bis ditangannya. "Dia menarik tapi masih muda. Tidak bisa dikatakan dia milikku."

"Oh, dia memang milikmu. Ayahnya pergi ke London dengan ibumu selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar ditempatku jika kau mau.Hanya saja jika dia berjanji untuk meninggalkan senjata mematikannya di truk."

Rudy mengerutkan alisnya dan mengamatiku lebih dekat. Matanya berwarna indah. Menarik namun ganjil. Warnanya bukan cokelat.Bukan juga hitam. Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. 

"Bukan berarti dia milikku." Akhirnya dia menjawab dan bersandar lagi di sofa dimana dia berbaring saat kami muncul.

"Kau bercanda kan?"

Rudy tidak menjawab. malah dia minum dari botol berleher tinggi di tangannya. Tatapannya bergeser pada Jafin dan aku bisa melihat pernigatan disana. Aku ingin segera pergi. tidak bagus. Aku hanya punya seratus ribu di dompetku dan aku hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual semua yang aku miliki. Ketika aku menelpon ayahku aku bilang kalau aku membutuhkan tempat tinggal hingga aku dapat kerja dan menghasilkan cukup uang untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberiku alamat ini mengatakan padaku dia akan sangat senang jika aku mau tinggal bersamanya.

Perhatian Rudy kembali padaku. Dia menungguku untuk mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk aku katakan? sebuah senyum tipis terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata padaku.

"Aku punya banya tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh." Dia mengalihkan tatapannya pada Jafin. "Kupikir lebih baik kita membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa menghubungi ayahnya."

Rasa jijik di lidahnya saat dia mengatakan kata 'ayah', aku tidak bisa menyalahkannya. Ini bukan salahnya. Ayahku yang mengirimku kemari. 

Aku meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Jafin. "Dia benar. Aku seharusnya pergi." Aku menarik keras koper  dan dia melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat mataku saat aku sadar aku merindukan rumah mulai menusukku.

Berbalik, aku menuju pintu, menahan kesedihanku. AKu mendengar jafin berdebat dengan Rudy tapi aku mengabaikannya. Aku tidak mau mendengar apa yang dikatakan pria tampan itu tentangku. Itu terlihat sangat jelas. Ayahku nampaknya bukanlah anggota keluarga yang diharapkan.

"Kau akan segera pergi?" Sebuah suara lembut bertanya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat senyum gembira pada gadis sebelumnya. Dia juga tidak ingin melihatku disini. Apakah aku menjijikan bagi semua orang? AKu langsung menjatuhkan tatapanku ke lantai dan membuka pintu. Aku masih punya banyak harga diri untuk tidak membiarkan gadis itu melihatku menangis.

Saat aku sampai di luar rumah, aku menangis terisak dan berjalan menuju trukku. Jika aku tidak membawa koper aku akan lari. AKu harus mencari perlindungan. AKu masuk ke dalam trukku, bukan di dalam rumah itu dengan orang-orang sombong. Aku rindu rumah. Aku rindu ibuku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status