LOGIN
Mobil hitam itu meluncur laju di jalanan berliku Pulau Serenova, sebuah pulau kecil yang tersembunyi di tenggara negeri itu. Walau pun pulau ini jarang disebut dalam peta wisata, keindahannya membuat siapa pun yang datang ingin tinggal lebih lama. Jalan raya yang dilalui membelah kawasan hijau, melewati pekan-pekan kecil yang tampak sederhana tapi cukup maju. Rumah-rumah kayu berwarna pastel berdiri rapi di tepi jalan, dihiasi bunga kertas dan lampu jalan bergaya retro yang menambah pesona desa modern itu.
Di sisi kanan jalan, laut biru kehijauan terbentang luas sejauh mata memandang. Batu-batu besar di pinggir pantai menambah keindahan pemandangan, seolah melindungi laut dari amukan ombak. Cahaya matahari sore memantul di permukaan air, menciptakan kilauan keemasan yang menenangkan. Di sisi kiri, pohon-pohon cemara dan kelapa berjejer rapat, menciptakan lorong hijau yang membuat perjalanan terasa sejuk dan damai. “Cantiknya pemandangan di sini. Asik, kan, kalau bisa lebih lama di sini?” ujar Venesa, memecahkan kesunyian yang hanya diiringi deru mesin dan deburan ombak di kejauhan. Konsentrasi Velery, yang sedang memegang setir, sedikit teralihkan. Ia melirik kakaknya sekilas, lalu tersenyum kecil. “Ayo dong, Kak. Tinggal aja terus di sini. Nyaman, kok. Ya, walaupun pekannya kecil dan nggak ada perusahaan internasional kayak tempat kerja Kakak sekarang, tapi enak loh. Bikin usaha sendiri — kafe, kedai bunga, apa aja lah… asal bisa menikmati hidup yang tenang.” Venesa tertawa kecil mendengar rayuan adiknya. “Kamu ngomongnya gampang, Vel. Hidup itu nggak sesederhana itu. Semua butuh rencana.” “Tapi Kakak juga butuh bahagia,” sahut Velery sambil mengedip nakal. “Dari dulu kerja mulu. Coba sekali-sekali pikirin diri sendiri.” Venesa hanya tersenyum tanpa menjawab. Pandangannya kembali jatuh ke luar jendela, menikmati pemandangan laut yang perlahan mulai tertutup oleh barisan perumahan kecil di tepi jalan. Perjalanan mereka dari bandara menuju vila yang disewa Velery memakan waktu hampir satu jam. Venesa dikenal di kotanya sebagai seorang perunding pelaburan di perusahaan internasional ternama. Di usia tiga puluh tahun, ia sudah memiliki reputasi sebagai pekerja keras, disiplin, dan sangat kompeten. Wajahnya cantik, tubuhnya terawat, tutur katanya selalu terukur. Tapi di balik semua kesempurnaan itu, Venesa menyimpan kekosongan yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Beberapa kali ia jatuh cinta — dan setiap kali pula ia disakiti. Mungkin, pikirnya dalam hati, wanita berkarier sepertinya memang ditakdirkan untuk sendiri. Lelaki datang dan pergi, sebagian kagum pada pencapaiannya, tapi mundur perlahan setelah merasa tak mampu menandingi dirinya. Velery, adiknya yang baru berusia dua puluh tahun, adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Mereka kehilangan kedua orang tua dalam kecelakaan jalan raya dua belas tahun lalu. Saat itu Venesa baru menginjak delapan belas tahun, sementara Velery masih anak kecil berusia delapan tahun yang belum mengerti arti kehilangan. Sejak hari itu, Venesa mengambil alih peran sebagai ibu sekaligus ayah. Ia bekerja sambilan di restoran, menjadi tutor privat, bahkan menjual kue buatan sendiri demi biaya hidup dan pendidikan Velery. Semua ia lakukan sambil tetap melanjutkan kuliah di jurusan keuangan. Malam-malam panjang ia lewati dengan begadang, menghitung lembar demi lembar angka di laptop, sementara Velery tertidur pulas di sisinya. Ia pernah menangis diam-diam, bukan karena lelah, tapi karena takut tak sanggup mempertahankan satu-satunya keluarga yang tersisa. Kini, melihat Velery tumbuh menjadi gadis ceria dan penuh semangat, hati Venesa menghangat. Mungkin benar kata adiknya — hidup tak melulu soal kerja dan karier. Mungkin sudah saatnya ia mencari arti lain dari kata tenang. Kereta perlahan menurunkan laju saat papan bertuliskan “Selamat Datang ke Desa Mirandora” muncul di tepi jalan. Velery menepuk bahu kakaknya lembut. “Kita hampir sampai. Vila yang aku sewa di depan bukit kecil itu, Kak.” Venesa menoleh, menatap pemandangan yang makin memukau — rumah-rumah putih beratap merah di kaki bukit, dikelilingi ladang bunga liar yang sedang bermekaran. Hatinya berdesir aneh, seolah tempat itu menyimpan sesuatu yang menantinya. Di kejauhan, burung-burung beterbangan rendah, seperti menandai senja yang mulai turun. Jalan menuju vila melewati jembatan kecil dari kayu tua yang sedikit berdecit saat roda mobil melintas. Venesa sempat menatap air sungai jernih di bawahnya — tenang, tapi entah kenapa terasa asing. Velery menurunkan kaca jendela, membiarkan angin sore masuk. “Wangi banget, ya. Kayak aroma bunga liar yang Kakak suka.” Venesa tersenyum tipis. “Iya… tapi aneh, aku merasa pernah mencium aroma ini sebelumnya.” Velery mengerutkan kening. “Pernah ke sini sebelumnya?” Venesa menggeleng pelan. “Nggak. Setahuku belum pernah…” jawabnya, tapi suaranya menurun di akhir kalimat. Ada sesuatu di ujung ingatannya, samar, seperti bayangan masa lalu yang tak mau sepenuhnya muncul ke permukaan. Mobil terus menanjak pelan ke arah bukit. Di depan sana, tampak vila putih berdiri tenang di antara pepohonan. Cahaya jingga sore jatuh di dindingnya, membuatnya tampak hangat dan mengundang. Velery menepikan mobil dan mematikan mesin. “Kita sampai, Kak!” serunya riang. Venesa turun perlahan. Angin sore menyapa wajahnya lembut. Ia mengedarkan pandangan — halaman vila itu luas dan tenang, hanya ada suara jangkrik dari balik rerumputan. Hatinya berdesir aneh, seolah tempat itu menyimpan sesuatu yang menantinya. Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Venesa merasa... ia tak keberatan kalau perjalanan ini tidak berakhir terlalu cepat.Mentari pagi menanjak perlahan di langit Emerald Reef, menyinari permukaan laut kehijauan yang tenang. Sisa embun di udara membawa aroma asin laut, berpadu dengan angin hangat yang lembut menyentuh kulit. Dari kejauhan, suara camar terdengar samar-samar, seolah menyanyikan lagu perpisahan bagi dua jiwa yang baru saja tenggelam dalam cinta. Ben berdiri di dek kapal layar, menatap Vennesa yang sedang merapikan rambutnya yang masih basah. Mata wanita itu berkilat tenang, senyumnya sederhana namun mampu menggetarkan hati. Dalam sinar matahari pagi, wajahnya seperti memantulkan damai yang Ben sudah lama lupakan. “Kita pulang sekarang?” tanya Vennesa pelan. Ben mengangguk. “Ya. Tapi... aku berharap waktu berhenti dulu di sini.” Vennesa hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam kabin mengganti pakaian yang sudah ben siapkan untuknya.. Kapal layar itu bergerak meninggalkan Emerald Reef, meninggalkan kenangan malam dan pagi yang mungkin tak akan terulang. Saat mereka tiba di pelabuhan, Ben mem
Air laut berkilau di bawah cahaya mentari yang condong ke barat. Ombak kecil berkejaran lembut di sisi kapal layar, memantulkan cahaya keperakan ke wajah Ben dan Vennesa yang masih berada di permukaan air.Vennesa tertawa kecil, menepis percikan air ke arah Ben. “Kamu berenangnya payah banget,” godanya.Ben tersenyum, berenang mendekat. “Aku cuma mau berenang di dekat kamu, bukan balapan.”Vennesa hendak menjauh, tapi tangan Ben lebih cepat menangkap jemarinya. Genggamannya hangat meski air laut menyejukkan kulit. Mereka saling berpandangan — sejenak dunia terasa berhenti berputar. Hanya ada desiran air, suara napas mereka, dan jarak yang makin tipis di antara dua hati yang mulai menyatu.Ben menarik Vennesa perlahan ke arahnya. Tubuh mereka berdekatan, hanyut di permukaan laut yang tenang. Air yang jernih memantulkan bayangan mereka berdua di bawah sana, seolah lautan pun ikut menyaksikan kisah cinta yang sedang tumbuh.“Vennesa…” suara Ben serak, lembut tapi dalam. “Kalau waktu bisa
Setelah sarapan pagi yang hangat, Ben berjalan menuju kabin bawah kapal layar mewah itu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sesuatu di tangannya — sebuah bikini berwarna biru laut, masih tergantung dengan tag harga yang belum dilepas. Ia menyerahkannya pada Vennesa dengan senyum samar.“Ganti baju renang. Ayo kita berenang di bawah, lihat ikan dan cangkang unik. Airnya lagi sejuk banget,” katanya ringan.Vennesa menatap bikini itu lama. Potongannya elegan, bahannya mahal — jelas bukan pembelian biasa. Logo kecil merek internasional tersemat di tali halusnya. Ia sempat bertanya dalam hati, dari mana Ben punya semua ini?Kapal layar ini, dari kamar hingga dapurnya, semuanya serba lengkap. Ada pakaian ganti berbagai ukuran, perlengkapan mandi berlabel hotel bintang lima, hingga set alat selam. Bahkan ada lemari kecil berisi berbagai minuman dan perlengkapan pribadi yang tampak… terlalu siap untuk perjalanan singkat.Tapi Ben tak memberi waktu untuk bertanya. “Cepat ganti, nanti matahar
Aroma mentega yang meleleh di atas wajan menyebar lembut, menembus hingga ke kamar dan menggoda indera penciuman. Vennesa mengerjap pelan, matanya terbuka sedikit demi sedikit, menikmati keharuman itu yang terasa hangat dan menenangkan. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak lama, dengan rambut yang masih sedikit basah, ia keluar perlahan dan mengintip ke arah dapur kapal. Pandangannya langsung terpaku pada sosok Ben. Lelaki itu berdiri tegap di depan kompor gas, mengenakan celemek abu-abu, tampak serius menuang adonan pancake di atas wajan. Gerakannya tenang, berirama, seolah sudah terbiasa.Senyum kecil muncul di bibir Vennesa tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang memikat dari pemandangan itu — seorang lelaki berwajah tegas dan maskulin, namun sedang sibuk menyiapkan sarapan dengan penuh perhatian. Dari mesin kopi di sudut meja, terdengar suara lembut aliran air panas. Aroma kopi hitam pekat berpadu dengan
Ben menatap wajah Vennesa yang masih berbaring di sisinya. Cahaya matahari pagi memantul lembut di rambut gadis itu, menimbulkan kilau keemasan yang menenangkan hati. Ia menunduk perlahan, mengecup dahi Vennesa dengan lembut — ciuman yang sarat makna, seolah ingin menyalurkan semua rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Pelan-pelan, Ben menarik Vennesa ke dalam pelukannya. Tubuh gadis itu terasa hangat, lembut, dan nyata — sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak bertahun-tahun. Hidungnya menempel di rambut Vennesa, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Wangi itu… samar, lembut, dan menenangkan, seperti perpaduan laut dan bunga. Ia ingin mengingatnya. Ia ingin mengukir aroma itu dalam memorinya, menanamnya di lubuk hati terdalam. Seandainya suatu hari mereka harus berpisah — entah karena takdir, atau karena dunia yang kejam — Ben ingin aroma ini menjadi pengingat terakhir tentang seorang wanita yang benar-benar membuatnya hidup. “Kalau pun maut nanti datang menjemputku,” p
Pagi itu, cahaya matahari perlahan menembus masuk ke dalam kamar kabin kapal layar. Sinar keemasan menyusup melalui sela tirai yang terbuka sedikit, menimpa wajah Vennesa yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, meringis kecil karena silau. Udara laut yang lembap dan sejuk menyentuh kulitnya lembut, sementara suara riak air terdengar samar di luar sana. Dengan mata yang mulai terbuka penuh, Vennesa menoleh ke sisi ranjang — dan pandangannya langsung terpaku. Di hadapannya kini, terbentang pemandangan yang membuat jantungnya berdetak pelan namun dalam. Ben, pria yang semalam menemaninya melewati malam penuh kehangatan, sedang tertidur pulas di sampingnya. Wajahnya begitu tenang. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, kulitnya bersih tanpa sehelai pun jambang atau kumis. Benar-benar tampan, seolah ukiran sempurna dari tangan Tuhan. Vennesa menatapnya tanpa berkedip, seolah takut pemandangan itu akan lenyap jika ia berkedip. Jemarinya terangkat pelan, menyusuri wajah Ben dengan hati-hati







