Share

KASTA HARTA DAN CINTA
KASTA HARTA DAN CINTA
Penulis: Dwik Novel

Bab 1. Peganglah Janjimu

"Luh…." rintihan pedih seorang pemuda. 

Tubuhnya penuh penuh luka, Ia merangkak mendekati seorang gadis yang terkapar bersimbah darah. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, pemuda itu menggenggam tangan gadis itu dan berkata;

"L-Luh…. j-jangan lupakan j-janjimu, a-ayo… kita bertemu di dunia tanpa kasta… "

“Aaaah!” jerit Dayu terbangun dari tidurnya.

Gadis yang tersengal-sengal itu, segera meraih gelas berisi air yang ada di sebelah tempat tidurnya. Setelah meneguk beberapa kali, ia menghembuskan nafasnya.

Lalu, ia membaringkan kembali tubuhnya diatas tempat tidur untuk menenangkan diri.

“Sungguh mimpi yang menyeramkan, siapa pemuda itu? kenapa kamu muncul lagi Iluh, siapa kamu? andaikan saja ada 1 benda yang berkaitan denganmu, aku pasti dapat menemukanmu,” gumamnya lirih. 

Ida Ayu Suci, itulah nama lengkap gadis keturunan kasta Brahmana itu.

Ia bukanlah gadis biasa, selain ia cantik dan molek, ia memiliki bakat yang unik, yaitu ia dapat melihat peristiwa masa lalu melalui sebuah artefak.

Kemampuan yang ia dapatkan sejak berumur 13 tahun itu, telah membawanya melihat berbagai macam kejadian di masa lampau yang tidak tercatat didalam buku sejarah manapun.

Karena bakat itu jugalah, Dayu mulai jatuh cinta kepada dunia kuno dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang dosen sejarah di salah satu universitas yang terkenal di pulau Bali.

Namun, walaupun ia memiliki segudang pengetahuan dan bakat yang unik itu, ternyata ia tidak mampu memecahkan misteri sederetan mimpi yang ia alami.

Sudah selama beberapa pekan, ia kerap memimpikan seorang gadis bernama Iluh. Terkadang ia melihat gadis itu pergi ke sawah, pada malam yang lain ia melihatnya memberi makan babi, dan ia juga pernah melihat perempuan itu bersembahyang di pura.

Dayu tidak mengenal gadis itu, namun yang pasti, wajah Iluh sangat mirip dengannya. 

Jam menunjukkan pukul 4 dini hari. Setelah terjaga selama hampir satu jam lamanya, gadis itu akhirnya tertidur kembali.

Beberapa jam setelahnya, terdengar suara kokok ayam, anjing yang menggonggong, dan suara kendaraan bermotor di kejauhan. Cakrawala sudah naik sangat tinggi, akhirnya wanita cantik itu terbangun dari tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya.

Ia menguap,menggeliat dan kemudian melihat ke arah sekelilingnya. 

Ia tidak mendapati siapapun di rumah itu. Rupanya orang tuanya sudah berangkat ke hotel untuk bekerja. Sedangkan adiknya sudah berangkat kuliah.

Tak lama kemudian, gadis itu berjalan menyusuri taman bunga yang terletak di tengah komplek bangunan rumah tersebut.

Setelah melewati jembatan lotus, ia sampai di dapur dan segera menyiapkan sarapan.

Sesaat kemudian wanita itu terlihat duduk di teras dapur sambil menikmati makanannya. 

Matanya berkeliling melihat suasana rumah itu. 

Griya, atau rumah keluarga pendeta itu, memanglah tergolong mewah. 

Kamar tidur orang tua, kamar tidur anak, ruang dapur dan pura keluarga, semuanya dibangun terpisah-pisah. 

Setiap ruangan dibuat dengan batu bata merah dan dihiasi dengan ukiran yang sangat detail pada pintu dan pilar-pilar nya.

Bunga yang bermekaran di depan setiap teras kamar, membuat tempat tinggal keluarga Brahmana itu terkesan indah bagaikan istana para raja di masa lalu. 

"Apakah aku memang berhak tinggal di istana seperti ini?" gumam gadis itu sambil mendesah perlahan, lalu ia meneguk segelas air putih. 

Selesai sarapan, gadis itu pergi ke kamar untuk membersihkan dirinya. 

Tak lama kemudian, ia sudah keluar lagi dari biliknya dengan mengenakan kebaya dan kain batik yang menutupi tubuhnya hingga tungkai kakinya yang putih bersih.  

Setelah meraih keranjang berisi sesaji, ia berjalan memasuki bangunan griya lain. Seorang pendeta berpakaian serba putih terlihat menyambutnya. 

“Eh Dayu, kemarilah!” 

“Iya kakek,” gadis itu menaiki anak tangga teras, kemudian duduk di sebelah kakeknya.

“Tumben kamu kemari sepagi ini ada apa?”

"Saya memiliki deretan mimpi aneh kakek."

"Mimpi? seperti apa?"

"Belakangan ini ada gadis yang bernama Iluh sering muncul sebagai kembang tidur saya. Saya dapat melihatnya ke sawah, mandi, menjual kayu, menari… " Dayu tak melanjutkan ceritanya, ia menghela nafas, kemudian   tertunduk. 

"Bukankah itu mimpi yang lazim? masalahnya dimana?" tanya pendeta tua itu. 

"Setiap kali orang memanggilnya Iluh, entah mengapa, mereka seperti memanggil saya… seolah-olah Iluh itu adalah saya Kek," ucap gadis itu sambil memandang wajah kakeknya.

Pendeta tua itu hanya terdiam, Ia mengelus rambut janggutnya yang putih. 

"Kek, saya tidak berani menanyakan ini kepada Ayah atau Ibu, tapi… " Dayu tidak berani melanjutkan perkataannya. Ia kembali tertunduk. 

"Tapi apa?" sahut pria berjanggut putih itu. 

"Apakah saya anak angkat? apakah saya sebenarnya orang jaba? " tanya Dayu dengan perasaan yang harap-harap cemas. 

Ia sedang menebak seandainya dia sebenarnya bukanlah anak keturunan keluarga itu, melainkan keturunan orang jaba atau orang dengan kasta yang paling rendah. 

"Omong kosong apa itu? tentu saja kamu adalah darah daging kami, rupanya kembang tidur itu telah meracuni pemikiranmu.

Ayo! katakan padaku, apalagi yang kamu lihat?" tanya pendeta itu dengan raut wajah serius. 

"Tadi malam, saya memimpikan seorang pemuda yang sedang sekarat, sekujur tubuhnya penuh luka berdarah.

Sebelum ia mati, ia meminta Iluh untuk menepati janjinya.

Mimpi itu menakutkan sekali Kek, saya juga merasa… merasa bahwa saya juga sedang sekarat disana… "ucap gadis itu dengan suara gemetar.

Mendengar kalimat yang terakhir itu, sang kakek mengangguk- angguk.  Lalu ia berkata;

“ Kemarikan canang itu!” perintahnya. 

Dayu segera meraih keranjang sesaji dan mengeluarkan beberapa buah canang, yaitu kotak yang terbuat dari daun kelapa dan berisi berbagai macam bunga diatasnya. 

Setelah menambahkan dupa, gadis itu menyerahkannya kepada pria yang sangat dihormatinya tersebut.

Lalu, mereka berdua berjalan menuju bangunan pura milik keluarga itu kemudian duduk bersila dan mulai berdoa.

Tak lama kemudian, Pendeta tua itu bangkit dengan membawa cawan kecil berisi air suci dan memercikkannya diatas ubun-ubun cucu perempuannya itu. Setelah itu, mereka kembali ke teras dan melanjutkan pembicaraan mereka. 

“Kamu memiliki hutang masa lalu yang belum terbayarkan, pemuda itu mencarimu,” ungkap pendeta itu.

“Mencariku?” tanya Dayu kaget. 

Lelaki tua itu hanya menatap gadis itu dan menganggukkan kepalanya.

“Tapi aku tidak mengenal orangnya, bagaimana mungkin aku berhutang kepadanya?” sambung Dayu. 

"Seperti yang saya katakan tadi, itu adalah hutang dari kehidupanmu yang sebelumnya, bukan hutang dari kehidupan yang sekarang."

Mendengar penjelasan pendeta itu, Dayu terdiam. Sebagai umat Hindu ia memang percaya akan adanya sebuah reinkarnasi. 

Dan rupanya, dirinya memiliki hutang dari kehidupan sebelumnya yang harus ia bayar pada kehidupan yang sekarang. 

"Apa kah kakek tahu kira-kira siapa orangnya?"

“Kakek tidak tahu siapa,atau dimana  orangnya. Tapi kamu akan segera mengenalinya,” pendeta itu berbicara dengan nada datar. 

Melihat wajah kakeknya yang tenang tanpa ekspresi itu, malah membuat Dayu merasa resah. Mengingat mimpi terakhirnya yang sangat mengerikan, ia mulai bertanya- tanya, apakah dia harus membayar hutangnya dengan nyawa?

“Apakah dia akan membunuhku?” tanya gadis itu dengan penuh kekhawatiran. 

Mendengar pertanyaan itu, lelaki tua itu hanya tersenyum, lalu ia memegang tangan cucu kesayangannya itu.

“Itu sebuah hutang yang indah, jangan khawatir…” katanya dengan lembut. 

Ucapan itu membuat Dayu bernafas lega. 

“Pergilah ke pantai dan carilah udara segar, kamu perlu belajar menenangkan diri,” perintah pendeta itu.

“Baik Kek, tapi saya tidak bisa pergi hari ini,” 

“Memangnya, kamu mau kemana sore ini?” tanya pendeta itu.

“Malam ini saya ada pentas tari di Art Centre,”

Mendengar jawaban itu, sang Kakek terdiam, ia seperti sedang menerka- nerka sesuatu. Tangannya yang keriput, membelai belai jenggotnya yang memutih.

“Baiklah, tapi besok sore kamu harus ke pantai ya, jangan ditunda. Malam ini pergilah pentas, ingat! jangan pulang terlalu larut.”

“Iya Kek, matur suksma, terima kasih,” ucap gadis itu dengan menghaturkan sembah. 

Lelaki tua itu hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.

Tak lama kemudian gadis itu pergi meninggalkan tempat itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status