Pentas di Art Center.
Suara gamelan terdengar sangat indah membahana, Dayu terlihat sedang mengikuti gladi resik pentas tari di sebuah panggung terbuka.
Tempat itu terlihat sangat sibuk. Adanya kunjungan beberapa pejabat penting pada sore itu, membuat pengamanan di tempat itu dilipat gandakan. Terlihat ada banyak aparat polisi yang berjaga di pintu masuk.
Ketika matahari sudah terbenam, Dayu dan Gek Trisha sedang bersolek bersama beberapa penari lain di ruang rias.
Mereka sedang bersiap untuk menarikan Tari Pendet, tarian pembuka pada pentas malam itu.
Gek Trisha adalah sahabat karib Dayu sejak SMA. Ia adalah seorang bangsawan keturunan langsung dari Puri Ngawetan, yang dulunya merupakan sebuah kerajaan kecil di pulau yang terkenal indah itu.
Kedua gadis yang berasal dari golongan kasta yang sangat dihormati itu memiliki hobi yang sama, yaitu menari. Terkadang mereka ikut mementaskan tarian tradisional, terkadang pula mereka juga pergi ke beberapa klub dansa yang ada di Pantai Kuta.
"Banyak sekali aparat yang berjaga, apakah presiden yang datang?" tanya Gek Trisha.
“Bukan, sepertinya ini pentas untuk beberapa pejabat daerah lain yang sedang berkunjung.” jawab Dayu yang sedang sibuk menancapkan bunga bunga berwarna emas pada sanggulnya.
Lalu gadis itu melirik kearah gelang yang dipakai Gek Trisha. Gelang yang terlihat kuno itu, menarik perhatiannya.
"Gelang baru?" tanya Dayu
"Iya, Ajik memberikannya kepadaku kemarin malam, Apakah kamu mau lihat?"
"Oh jadi itu pemberian Ayahmu, bagus sekali! eem… boleh aku lihat sebentar?" pinta Dayu sambil menengadahkan tangannya.
Gek Trisha melepaskan gelang yang terbuat dari emas itu dan menyerahkan nya kepada sahabatnya.
Dayu mengusap gelang itu, Tiba-tiba saja, ia merasakan hawa dingin yang menyergap nya.
Lalu badannya terasa ringan seolah ia sedang melayang, kemudian Ia melihat sebuah kejadian;
Seorang Mpu sedang menempa sebuah gelang. Tak lama kemudian datanglah seorang pria muda mengenakan baju bangsawan.
"Apakah gelang pesanan ku sudah jadi?"
"Sudah Tuan Gusti Chandra, mohon tunggu sebentar."
Setelah itu, kakek tua tersebut mencelupkan gelang itu ke dalam air, lalu ia mengeringkannya dengan kain yang lembut. Terlihat lah gelang emas yang sangat sederhana, berbentuk sebuah ular yang melingkar. Pandai Emas itu menyerahkannya kepada bangsawan itu.
"Bagus sekali, calon istri saya pasti menyukainya." ucap ksatria muda itu sambil. menyerahkan beberapa keping uang VOC.
Setelah pandai emas menerima uang itu, bangsawan muda itu pergi.
Perlahan, Dayu merasa seperti di tarik kembali dari suatu tempat, dan ia sadarkan diri di depan meja rias.
"Dayu… Dayu, kamu tidak apa-apa kan?" ucap Gek Trisha sambil mengguncangkan pundak sahabatnya yang hampir terbaring lunglai.
"Eeemmm, maaf aku hampir tertidur," jawab Dayu sambil berusaha duduk tegak.
Ia meraih botol air minum di meja nya, dan meneguk nya. Setelah bernafas lega, ia mengembalikan gelang itu.
"Apa yang kamu lihat? apakah itu kejadian baik atau buruk?" tanya Gek Trisha harap-harap cemas.
Sebagai sahabat baiknya, ia adalah salah satu dari segelintir orang yang mengetahui kemampuan unik Dayu.
"Tenang saja, Gusti Chandra membelinya dengan harga pantas, itu adalah hadiah pertunangan untuk nenek buyutmu," ucap Dayu sambil melanjutkan aktivitas riasnya.
"Wah kamu hebat! eh bagaimana? apakah mendiang kakek buyutku tampan?" tanya Gek Trisha sambil tersenyum antusias.
"Lumayan lah, Ayahmu sangat mirip dengan beliau."
"Oh, pantas saja nenek buyut menyerahkan gelang ini kepada Ajik dan beliau mewariskannya kepadaku." jawab Gek Trisha sambil mengelus gelang itu lalu memakainya kembali.
Waktu menjelang malam, pentas pun telah di mulai. Cahaya lampu sorot menyinari panggung itu dengan terang.
Di belakang tempat pentas itu terlihat indahnya pohon bunga jepun yang berumur sangat tua. Ranting-ranting pohonnya tidak berdaun terlihat indah dengan segerombol bunga berwarna kuning di setiap ujungnya.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi gamelan yang dimainkan secara langsung oleh sekelompok pria yang berbusana adat Bali.
Para penari wanita pun mulai keluar dari balik gapura panggung dan mulai memperlihatkan lemah gemulainya tarian sakral itu.
Seorang pemuda tampan, berbadan tinggi dan berbahu lebar, mengenakan setelan
jas hitam berdiri memperhatikan situasi di tempat itu dari balik deretan kursi tamu VIP.
Dia adalah De Arya, seorang kapten polisi berumur sekitar 32 tahun.
Ia sedang melakukan pengawalan khusus terhadap seorang pejabat dari Flores.
"Lapor komandan! Bapak Petrus merasa tidak enak badan, beliau akan kembali ke hotel setelah Tari Pendet," ujar Parto, salah satu ajudannya yang berasal dari Jawa.
"Sayang sekali, padahal ada gadis cantik malam ini… " ujar komandan polisi itu sambil memperhatikan seorang penari yang terlihat cantik diatas panggung.
"Yang mana komandan?" Parto memicingkan mata nya.
"Yang itu, yang paling tengah, yang tinggi semampai. Aih… cantik sekali! badannya juga sangat sexy. Ah sayang! aku tidak akan bisa berkenalan dengannya… "
Mata pemuda itu tertuju kepada Dayu, yang saat itu tengah menikmati tariannya, senyum tersungging di bibirnya yang cantik.
Kostum penari pendet yang berwarna kuning emas membalut tubuhnya, mahkota emas menutupi kepalanya, dan bunga jepun kuning menghiasi rambutnya yang terjuntai.
Semua itu membuat kecantikannya benar- benar terlihat sempurna. Ia bagaikan bidadari yang turun dari kayangan.
Mata kapten polisi itu tak bisa lepas dari penampilan gadis elok itu. Ia merasakan kekaguman yang amat sangat, Ia merasa seperti jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Pergilah ke belakang panggung, cari tahu nama dan nomor gadis itu sekarang. Cepatlah! karena kita harus segera pergi setelah tari ini selesai."
"Siap, laksanakan komandan!" Parto segera berlalu dan menghilang di balik panggung.
Setelah tarian itu usai, kapten polisi itu mendekati seorang pejabat yang bertubuh gempal dan berambut keriting. Kemudian mereka bangkit, dan mendekati beberapa pejabat lain untuk berpamitan dengan mereka.
Lalu mereka berdua terlihat meninggalkan tempat itu dengan dikawal beberapa pengawal ber jas hitam.
Sementara itu, setelah turun dari panggung. Dayu dan Gek Trisha terlihat sedang melepas hiasan kepala mereka di ruang rias.
"Gek, besok sore ada acara?" Dayu memulai pembicaraan.
"Tidak, memang nya kenapa?"
"Kakek menyuruhku jalan-jalan dipantai, katanya aku harus belajar santai…."
"Masalah mimpi-mimpi itu lagi?"
"Iya, sebaiknya kita ke pantai mana ya?" Tanya Dayu.
"Yang dekat kampus saja," jawab Gek Trisha.
Dayu cuma mengangguk.
Tak lama kemudian, segerombol penari yang baru saja selesai berpentas memasuki ruang itu.
"Dayu! tadi ada yang menanyakan kamu lho," ujar Rini, salah satu penari yang baru saja keluar dari panggung.
"Oh ya, siapa?"
"Saya tidak tahu, dia bilang kalau dia seorang polisi, dan katanya, komandan nya ingin berkenalan denganmu..."
"Terus, kamu bilang apa?"
"Aku bilang nama kamu Dayu, tapi untuk nomor, aku menyuruhnya untuk meminta secara langsung kepadamu."
"Wah, untungnya kamu tidak membocorkan nomerku, terima kasih Rini," ujar Dayu dengan tersenyum
"Cie cie.. yang dapat penggemar rahasia, seorang komandan lagi…" Gek Trisha menggoda.
"Kamu kan sudah tahu kalau aku bukan penggemar aparat." jawab Dayu sambil membereskan pakaiannya.
"Kenapa begitu?" Trisha bertanya.
"Tidak tahu, aku kurang suka saja... mereka selalu dalam bahaya, sering ditugaskan di tempat jauh, aku rasa...berkencan dengan aparat akan sangat menguras kesabaran."
Mendengar alasan itu, Gek Trisha mengangguk angguk.
Hiruk pikuk mewarnai ruang rias itu. Penari yang datang dan pergi dari panggung seperti tiada habisnya. Di tempat parkir, terlihat mobil Dayu dan Gek Trisa perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
"Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya Mang Selly."Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit melamun," jawab Gung Yoga sambil tersenyum kecil. Lalu, pria itu mengambil sepotong roti bakar, mengoleskannya dengan selai, lalu mulai menikmatinya.Mang Selly melakukan hal yang sama dan mulai menikmati sarapannya. Namun, gadis itu mengunyah lebih cepat daripada pria di depannya.Baru beberapa menit saja, ia sudah menghabiskan dua potong roti dan akan mengambil yang ketiga.Gung Yoga memelototi gadis itu. Dengan segera, ia meraih tangan Mang Selly untuk mencegahnya mengambil sepotong roti."Apa yang kau lakukan?" tanya Mang Selly dengan wajah heran."Ini roti panggang! Kalau kamu mau lagi, buat sendiri sana!" gertaknya."Aih… kamu pelit sekali! Lagi pula, ini kan rotiku yang kamu ambil dari kulkas?" tanya Mang Selly tak mau mengalah."Eh, aku membuat sarapan ini susah payah, ya! Asal kamu tahu saja, aku terbiasa dilayani. Ini pertama kali aku membuat sarapanku sendiri. Jadi, jangan sentuh rot
Melihat tubuh yang molek, ranum, lekuk yang indah dan tak mengenakan sehelai benang pun bergerak condong ke arahnya dan mulai membuka kancing baju yang ia kenakan satu per satu. Gung Yoga segera merengkuh tubuh gadis itu dan mencium bibirnya dan tangannya membelai kulit halusnya. Wanita yang sudah dibutakan nafsu itu membalas ciuman itu dengan semangat. "Ayo, kita bersenang-senang malam ini, sebagai pembalasan atas perbuatan mereka, puaskanlah aku Gung Yoga, malam ini aku milikmu… " kata Mang Selly dengan nafasnya yang memburu.Tanpa pikir panjang lagi, Gung Yoga segera melucuti pakaiannya dengan dibantu oleh gadis itu. Setelahnya, keduanya berciuman, berpelukan sambil berbansa menikmati musik romantis yang mengalun pelan bagaikan dua insan yang jatuh cinta. Ruangan gelap yang dihiasi kelap kelip lampu diskotik, membuat suasana tempat itu menjadi tempat yang sempurna untuk bercinta. Setelah puas berdansa, Gung Yoga mengangkat tubuh wanita itu, dan membaringkannya di sofa. Mang Sel
Melihat kemesraan De Arya dan Dayu, hati pria yang duduk di bangku taman yang gelap di kebun hotel King Lotus bergejolak penuh amarah.Setelah yakin bahwa kedua orang yang diamati nya tidak menyadari kehadirannya. Pria itu pergi meninggalkan tempat itu.Dengan mobil mewahnya, ia keluar dari parkiran hotel King Lotus dengan ugal-ugalan.Mobil sport berkecepatan tinggi itu melaju kencang.Gung Yoga duduk di balik kursi kemudian itu marah, dan air mata yang berderai.Tak sanggup mengendalikan amarah.Pria itu menepi dan menendang ban mobilnya.
Malam itu, De Arya dan Dayu terlihat duduk berdua diatas tempat tidur hotel King Lotus. Sesaat keduanya terlihat saling memandang mesra. Kedua tangan mereka saling bergenggaman. Kemudian mereka saling berpelukan. "Dayu, aku bahagia sekali bisa kembali padamu," kata De Arya. "Aku juga De Arya, aku sangat sedih ketika kau meninggalkan aku seperti itu. Tolong… jangan pernah lagi, percayalah, hatiku sepenuhnya milikmu," kata Dayu dengan memeluk pria itu erat. Setelah puas saling melepas rindu. Dayu meraih beberapa benda dari tasnya. Benda benda kecil itu dibungkus dengan kertas tissue. Lalu ia membukanya satu persatu dan menaruhnya di atas tempat tidur. De Arya menatap deretan koin dan cincin itu dengan heran. Benda-benda itu tampak kusam dan kuno. "Coba lihat dan pegang benda ini, katakanlah padaku kalau kau ingat sesuatu," kata Dayu. De Arya meraih satu per satu benda itu, tetapi dia tidak menunjukkan expresi apapun. "Jujur Dayu… aku tidak mengenali benda- benda ini, maaf… ," k
"Om Swastiastu! benarkan ini rumah De Raga?" terdengar suara pak Bagus."Ayah! mengapa dia kemari?" sahut Dayu panik."Akulah yang menghubungi bos, anak gadis satu-satunya pingsan di rumah orang, tentu saja aku hari memberi kabar kan?" jawab Robertus.Dayu bergegas bangkit dari kamar itu dan keluar untuk menyambut ayahnya yang sudah bersama De Raga."Ayah… !" serunya."Dayu! apakah kamu tidak apa-apa?" sahut pria itu sambil memeluk putri satu-satunya.Pria tua itu mengelus pundak Dayu dengan penuh kasih sayang. Namun ketika tatapan matanya menangkap sosok
Mang Selly membiarkan dirinya sekali lagi didalam pelukan Gung Yoga. Entah mengapa ia juga tidak ingin menolak pria itu yang sepertinya sangat peduli dengan perasaannya. Setelah puas menangis, perlahan gadis itu melepaskan diri dan menyeka air matanya. "Aku mau pulang dulu Gung Yoga, aku harus mengurus usaha ku. Sampai ketemu lagi.""Berhati-hatilah, bila kau perlu teman bercerita hubungi saja aku. Aku berjanji hal seperti semalam tidak akan terjadi lagi," kata pria itu sambil memasukkan tangan kedalam saku baju tidur nya. Mang selly mengangguk, lalu kemudian berlalu dari tempat itu. ***Ditempat yang jauh, tampak Dayu yang berdiri disamping De Raga sedang menyaksikan upacara Ngaben kakek dari Mang Arini. Suasana upacara yang terjadi di kuburan yang sama sejak ratusan tahun lalu itu, telah membuatnya teringat akan beberapa kejadian yang telah terjadi dimasa lampau. Ia masih ingat ketika neneknya, pamannya, dan beberapa orang lain yang telah lebih dahulu meninggal daripada dia, s